3. Fuzzles

1109 Words
Ini hari senin, kami semua sudah siap untuk mengikuti upacara. Aku, Irene, Sonia dan Hazel. Kebetulan berada di bagian belakang. Mereka memang selalu berdiri tidak jauh dariku. "Si Arjuna itu ganteng juga ya?" Irene berkata, ia melirik ke arah lelaki aneh yang beberapa hari yang lalu aku siram. Dia dan temannya, saat ini sedang berada dipaling ujung. Sangat jauh jaraknya denganku. Kalau dilihat lagi, kelima laki-laki ini tidak pernah terlihat bercanda dengan yang lainnya. Mereka selalu serius, dengan tatapan tajamnya yang dalam. Ah, si Arjuna itu, dia melirik padaku. Membuatku segera mengalihkan tatapanku ke arah lain dengan takut. Jangan tanyakan bagaimana jantungku. Rasanya seperti akan loncat, kala mata tajam itu mengarah padaku. "Dia itu parah banget, masa iya gue gak pernah liat dia senyum," tambah Hazel, "Coba aja, dia senyum. Pasti para cewek bakal liat dia dengan sudut yang lain. Gak kaya liat hantu deh, kesannya." Aku masih mengalihkan tatapanku pada yang lain. Percayalah, aku masih merasakan tatapan dalam itu. Seolah lelaki itu  tahu kalu kami sedang membicarakannya. "Gue pernah denger dari temen sekelasnya. Kalau gak salah, namanya Irhen. Dia bilang, kelima lelaki itu tidak pernah mendapatkan nilai dibawah sembilan, setiap pelajaran. Dan wali kelas mereka sampe bingung, nentuin siapa yang peringkat pertama, diantara kelima lelaki itu." Aku menelan salivaku, nilai pelajaranku rata - rata enam. Pokoknya cukup deh, yang penting bisa lulus. Itu saja sudah mending, dengan otaku yang pas-pasan ini. Aku belajar semalaman pun, malah hasilnya tetap sama. "Ta, lo mau ikut ke rumahnya si Rizki gak? pulang sekolah. Dia mau masak - masak katanya," Irene mencolek pundaku. "Kita liat aja nanti, soalnya gue ada yang mau dilakuin," jawabku, dengan menatap langit di sana. Sepertinya matahari mulai mendung. Iya, di sana gelap. Tapi bukan awan yang memayungi. Seekor elang raksasa itu. Iya, dia ... Aku melirik ke kanan - kiriku, kalau elang raksasa itu ada. Berarti mereka juga akan melihatnya. Aku menyenggol Irene. "Lo liat langit deh," Irene menengadah. "Langitnya kenapa?" "Lo yakin gak liat apa-apa?" Irene terlihat menatapnya lebih lekat. "Awannya tebal, kayanya bakal hujan." Ok, ini yang aneh sepertinya mataku. Aku lebih sering delusional akhir-akhir ini. Apakah aku harus pergi ke Dokter mental? Aku melirik lelaki itu, dan dia masih saja menatapku. Kali ini dengan sebuah senyuman. Aku tidak tahu kenapa ia tersenyum sedemikian menawannya. Hingga kedua kaki dan tanganku gemetar melihatnya. Semakin lama aku melihatnya, aku semakin yakin pada kedua mata itu. Mata gelap dan menawan itu pernah aku lihat sebelumnya. Tapi di mana? Dan kapan? Kali ini senyumannya perlahan pudar, tergantikan dengan tatapan teduh yang aku sendiri tidak tahu apa artinya. Yang jelas ... Aku cemas, Dengan diriku, Dan perasaanku. *** Izinkan aku Untuk terakhir kalinya Semalam saja bersamamu Mengenang asmara kita Dan aku pun berharap Semoga kita tak berpisah Dan kau maafkan kesalahan Yang pernah kubuat Mmmmhh . Ingatkah 'kan dirimu Yang pernah menyakiti aku Kau kecewakan aku Tapi kumaafkan salahmu Kini berganti kisah 'Ku menyakiti dirimu Tapi apa yang terjadi Kau meninggalkanku Izinkan aku Untuk terakhir kalinya Semalam saja bersamamu Mengenang asmara kita Kami berlima bernyanyi, Rizki dan Irene duduk di bagian depan. Hazel, Sonia dan aku duduk dibagian belakang. Kami memang selalu bernyanyi riang sekali. Rizki adalah satu-satunya sahabat kami yang paling kaya. Tapi nasibnya paling menyedihkan. Dia ditinggalkan Ibunya, dan kini tinggal bersama Ibu tiri yang kadang sikapnya agak menyebalkan. Dia pernah bilang, hal yang amat disyukurinya adalah bertemu dengan kami bertiga. Dia kadang suka menangis seperti anak kecil. Atau kadang menjadi bodyguard yang seram. Kalau aku dan ketiga temanku dekat-dekat dengan lelaki yang tidak disetujuinya. Dia bilang, dia adalah Kakak lelaki untuk kami bertiga. Siapa pun lelaki yang mendekati kami bertiga. Harus lulus dari ujiannya. Memang lucu. "Tata, lo ngelamun aja." dari depan Rizki memanggil. Aku nyengir aja, "Emang dibolehin masak di rumah lo? Kalau nyokap lo marah kaya dulu gimana?" Ah, aku tidak pernah lupa, bagaimana Rizki ditampar oleh Mamah tirinya waktu kami mengotori taman belakang waktu itu. Rizki tersenyum, dan melirikku dari kaca spion. "Gue bukan anak kecil lagi Ta, gak usah takut." Aku menghela napas lega, dan menatap ke arah jendela. Di langit kembali mendung lagi, dan ... Lima elang raksasa lagi ... Mereka mengikuti mobil ini, atau mengikuti salah satu diantara kami? Ah, Sonia! Aku yakin sekali, dia mengikuti Sonia. Karena waktu itu dialah yang ditolong mahluk itu. Aku melirik diam-diam pada temanku itu, dia sedang fokus pada novel di tangannya. Dia penulis, jadi kerjaannya kalau tidak pegang laptop, ya baca buku. "Kenapa Ta?" Sonia sepertinya tahu kalau aku meliriknya. Aku menggeleng, "Enggak, lo udah makan Nia?" Pertanyaanku malah membuat semua temanku terbahak. "Amboy! Perhatiannya lo!" Ledek Rizki. "Tau tuh, dari kemarin Sonia mulu yang diperhatiin," sahut Irene. "Biasalah, kan wajah mereka agak - agak mirip gitu," celetuk Hazel. Aku saling melirik dengan Sonia, "Mirip dari mana nya?" Aku bertanya. "Mirip oonnya, kebanyakan halu!" Seloroh Rizki, membuat Sonia memukul pelan kepala laki-laki itu dengan novel ditangannya, "Nih, gue pindahin oonnya sama lo!" Kami kembali tertawa, kala sebuah truk datang dari arah yang berlawanan. Membuat mobil yang kami tumpangi berguling, bersamaan dengan teriakan kami berlima. Aku bisa melihat dengan jelas, kala Rizki beradu dengan stir di depannya. Membuat telingaku berdengung, kala darah keluar dari kepala dan hidungnya. Aku berteriak histeris, mereka terlihat tidak sadarkan diri. Lalu aku, bahkan sampai mobil ini berhenti berguling. Aku masih bisa melihat semuanya, dan rasanya sangat menyiksa. Aku segera menelepon ambulan di sela-sela napasku yang memburu dan kedua tanganku yang gemetar. Kala sebuah ketukan dari luar, lelaki bertopeng itu membuka pintu bagianku dengan sekali tarikan. Meraih diriku dan menggdongnya. Aku bisa melihat sorot kedua matanya yang memancarkan perasaan takut yang luar biasa. Mobilnya Rizki penyok, dan keempat temanku, mereka bersimpah darah semua. Aku histeris, Dia, lelaki bertopeng itu memeluk ku erat sekali menyebunyikan wajahku dibalik dadanya lama sekali, hingga aku tidak sadarkan diri. Lalu entah berapa lama aku tertidur. Aku mendapati diriku yang tengah dibangunkan oleh Sonia. "Ta! Bangun, kita udah sampe!" Aku membuka kedua mataku, menatap keempat sahabatku yang ternyata dalam keadaan baik-baik saja. Rasanya takut sekali. Aku tiba - tiba menangis, membuat keempatnya cemas. "Lo kenapa Ta?" Aku tidak menjawabnya, aku terus menangis. Aku bersyukur kalau itu memang hanyalah mimpi. Tapi pelukan itu ... Wangi pharfum itu ... Dan kedua lengan kokoh yang merengkuhku dengan tulus. Itu bukanlah sebuah delusional. Dan yang paling penting, adalah kedua mata gelap yang indah. Yang sampai saat ini masih membekas di ingatanku. "Tata ...." Sonia memelukku, "Lo mimpi apa sih?" Aku masih terdiam, namun mulai hari ini semuanya akan aku cari. Akan aku buktikan, kalau ini bukanlah hanya sekadar mimpi. Akan aku cari semuanya, Pelukan itu ... Kedua lengan kokoh itu ... Dan kedua mata gelap yang indah itu ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD