Suatu Malam

1063 Words
Ada suara panggilan lagi. Kali ini lebih tegas dan jelas suara panggilannya. "Bungaaa!" Gayung yang berisi air jatuh menimpa kaki kanan. Refleks segera ia menjawab. "Iya, Tante sebentar. Kakak lagi mandi." Jawabnya dengan sedikit berteriak, berharap Tante Pinkan bisa mendengar jawaban darinya. Dengan terburu gadis itu menyelesaikan acara mandi pagi dan segera keluar. Sambil melilit rambut dengan sebuah handuk kecil, ia meminta maaf kepada Pinkan karena sudah menunggu. "Maaf Tan, tadi Kakak lagi mandi," katanya dengan sungguh-sungguh. Ketika ia mendongakkan kepala tidak ada siapa-siapa di sana. Ia mencoba positif thinking. Mungkin saja Tante Pinkan kembali lagi ke kantor. Namun, ada yang membuat dirinya ragu. Semisal memang ada seseorang yang turun dari mobil pasti akan terdengar suara pintu mobil di tutup. Suasana masih hening. Padahal itu di pagi hari. Angin tidak ada yang berkenan untuk mampir. Bunga masih berdiri terpaku di depan gudang saat ada seorang wanita paruh baya datang menyapa. "Assalamualaikum, Neng," ucap ibu itu ramah. "Waalaikumsalam," jawabnya sambil memindai dari ujung kaki sampai ujung kepala. Takut-takut kalau ibu itu kakinya tidak menapak di bumi. Bodoh memang. Ibu berambut kuncir kuda memperkenalkan diri. Ia bernama Maryam. Dirinya bekerja sebagai seorang petugas kebersihan di komplek perumahan. Sebenarnya Bunga sudah tahu, karena baju kaos lengan panjang putih yang dikenakannya memiliki semacam bordir pengenal di bagian dadanya. "Neng, gantinya Ratna, ya?" tanya ibu itu lagi sambil memarkirkan sepeda ontelnya di dekat jemuran. "Iya, Bu. Nama saya Bunga," jawabnya sambil mencoba tersenyum ramah. "Semoga betah ya, Neng. Ibu yang membantu mencuci dan menyetrika di sini." "Iya, Bu. InsyaAllah," ujarnya gamang dan mempersilakan Bu Maryam untuk masuk. Bunga masih bertanya di dalam hati. Apa mungkin Ibu Maryam yang memanggilnya tadi. Tapi itu hal yang mustahil karena baru beberapa detik dirinya dan Bu Maryam berkenalan. Bagaimana bisa ibu itu bisa mengetahui namanya. Daripada merasa bingung dan sakit kepala memikirkannya, gadis itu mencoba untuk melupakan kejadian siang itu. ... Hari-hari berlalu. Ia sudah merasa nyaman untuk mengobrol dan mencurahkan segala sesuatu yang mengganjal hati kepada wanita tua yang lemah lembut itu. Tanpa tedeng aling-aling ia mengajukan sebuah pertanyaan kepada Bu Maryam yang sedang menyetrika seragam sekolah Kevin dan Tasha. "Ibu, sudah berapa lama bekerja di sini?" tanyanya sambil membuatkan teh. "Mungkin sudah hampir sepuluh tahun. Kenapa kitu, Neng?" "Uhm, gak ada apa-apa sih?" jawabnya kikuk. "Kenapa, Ibu ndak tinggal di sini saja? Jadi kerjanya gak begitu jauh. Gak susah payah mengayuh sepeda dan kepanasan." "Di rumah, ibu masih memiliki anak yang masih kecil. Masih kolokan dan apa-apa maunya sama Ibu. Jadi, ya gitu Neng. Neng, paham kan?" Bunga mengangguk kecil dan menyodorkan segelas teh manis hangat dan beberapa keping roti gabin. Ia menghela nafas. Kemudian teringat ibunya yang malah tega meninggalkannya dengan Nini karena alasan pekerjaan. Berbeda sekali dengan Bu Maryam. Bunga juga berandai-andai, semisal Bu Maryam berkenan untuk menginap di sini, tentu ia tidak akan merasa kesepian. Menurutnya Bu Maryam orang yang baik, ramah dan lemah lembut. "Boleh nanya lagi gak, Bu? Selama ibu bekerja disini, pernah gak ngerasain hal yang aneh-aneh?" tanyanya dengan ragu-ragu. "Hal aneh-aneh gimana Neng, maksudnya?" jawab Bu Maryam sambil menyetrika seragam putih-biru kepunyaan Tasha. Bunga kemudian menceritakan panjang lebar kejadian mulai dari pertama kali ia datang, keadaan dingin saat membersihkan kamar depan. Sampai panggilan suara ketika di kamar mandi beberapa hari lalu. Sayangnya semua itu hanya dijawab dengan senyum simpul dari bibir Bu Maryam. Bunga tidak mengerti maksudnya apa. Walau begitu ia berusaha menikmati hari-harinya di sini. Takut, capek, terkadang juga kesal acap kali datang menyapa. Nini selalu berkata akan ada hasil yang sepadan jika kita mengerjakan segala sesuatu dengan sepenuh hati. Ia berharap juga begitu. Selain Bu Maryam, ia juga berkenalan banyak dengan orang-orang yang bekerja dengan keluarga Brotoasmoro. Pria berusia tiga puluh tahun yang sedang menyemir sepatu boot itu bernama Om Jojon. Tugasnya mengantar Kevin dan Tasha ke sekolah. Setelah beres ia juga harus mengantar Om Atmo ke kantor dan menemaninya sampai malam tiba. Kumis tipis dan jajaran gigi yang putih dan rapih merupakan salah satu ciri khasnya. Kesukaannya kopi s**u yang manis dan pisang goreng. Sopir keluarga Brotoasmoro bukan hanya Om Jojon saja. Ada juga Pak Arip. Ia berusia empat puluh lima tahun. Hobinya membaca surat kabar yang tentunya sudah terlebih dahulu di baca Om Atmo. Pria bertubuh tambun dengan kumis milik Pak Raden ini adalah seseorang yang sangat humoris. Setiap hari minggu ia akan balap sepeda dengan Kevin di seputaran komplek. Yang menang tentu saja harus membelikan es krim cake yang sedang booming sekali pada waktu itu. "Harus banyak sabar kerja di sini." Perkataan itu yang Bunga dapat, ketika pertama kali berjumpa dengan Pak Arip. Kemudian ia menepuk bahu Bunga berulang kali sambil menghela napas. Entah ada maksud apa di balik tindakannya itu. Ada kembar tampan, Kak Tinus dan Kak Wandra. Mereka berdua guru musik Kevin dan Tasha. Selain les pelajaran, anak-anak Pinkan juga dibekali dengan les bermusik. Sayangnya tidak pernah terlihat selama aku berada di sana, keluarga Brotoasmoro salat dan mengaji. Sebenarnya gadis itu ingin sekali mengajari Kevin dan Tasha mengaji. Lebih tepatnya belajar bersama. Namun, Tante Pinkan tidak pernah memintanya. Padahal rumah akan terasa indah dan hangat kalau dihiasi dengan lantunan ayat-ayat suci, pikir gadis manis itu. ... Hari itu, selasa malam rabu merupakan jadwal les musik Kevin dan Tasha. Jam setengah delapan malam mereka masih menunggu di ruang tengah sambil menonton TV. Acara yang lagi hits saat itu—film kesukaan Tasha 'Disini ada Setan.' Mereka hanya bertiga saja di rumah. Di luar sedang hujan deras dan gemuruh tak henti menampakkan kegarangannya. Entah apa yang ada di pikiran Tasha, disaat seperti itu ia malah ingin menonton film horor itu. Tante Pinkan dan Om Atmo sedang ada acara makan malam dengan teman-teman kantor. Biasanya akan pulang sekitar jam sebelas malam. Bunga yang sudah merasa tidak nyaman berkata kepada Tasha. "Matiin Dek televisinya! Lagi banyak geledek. Nanti ngabeleduk." Sebenarnya itu hanya alasannya saja. Bunga tahu betul Tasha itu penakut lebih dari pada dirinya. Yang menyebalkan gadis manja itu malah kekeuh ingin nonton sambil bersembunyi di belakang punggungnya. "Dek, masuk kamar, yuk! Kayaknya Kak Wandra dan Kak Tinus, gak datang deh." Kevin dan Tasha setuju. Mereka segera menuju ke kamar depan. Ruang tamu sangat gelap saat kilatan cahaya gemuruh memberikan sedikit penerangan. Mereka bertiga berjalan perlahan sambil sesekali mencuri pandang ke arah luar. Tentu saja mereka bisa melihat bagaimana keadaan malam itu di teras depan, pasalnya jendela dan pintu kaca hanya ditutup sebuah gorden brokat putih yang tipis dan transparan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD