2-Lelaki Itu Lagi

1634 Words
Waktu telah menunjukkan pukul dua belas. Namun, gadis berpiama bunga-bunga berwarna hijau itu belum beranjak dari kesibukannya. Berteman dengan laptop, buku dan catatan kecilnya. Matanya memang mengantuk berat, tubuhnya telah terasa pegal tapi dia tetap memaksa untuk mengerjakan tugas itu. Besok jam sebelas siang dia harus menemui dosen untuk mengumpulkan desain maketnya. Harusnya tugas ini berkelompok. Namun, dua teman sekelompoknya selalu saja ada alasan. Dee si pengantin baru selalu beralasan mertua datang ke rumah, kalau tidak seperti itu beralasan suami mencarinya. Revila merasa jika kasusnya seperti itu tinggal bilang apa kesibukannya, pasti mertua dan suami Dee akan paham. Satu teman kelompok Revila yang juga ruwet bin mbulet adalah Lory. Lelaki berperawakan tinggi itu selalu memiliki masalah dengan sang pacar. Si pacar ngambeklah, nangislah, minta jemputlah. Revila merasa kalau Lory lebih pantas dianggap bucin. Karena mereka yang menurut Revila lebay dan selalu mengutamakan pasangan. Sedangkan Revila, tak ada masalah lain. Keluarganya baik-baik saja, orangtuanya sibuk bekerja dan sang adik sibuk kuliah semester dua. Soal urusan pacar, Revila belum punya. Di kesibukannya menjadi mahasiswa S2 semester dua super sibuk, dia tak punya waktu untuk mencari pacar. Atau lebih tepatnya dia masih enggan bersinggungan dengan urusan asmara. Dua teman sekelompoknya saja selalu ribet karena asmara. Cukup dia tak mau ikut-ikut. Apalagi sampai tugas akhir ini tak rampung dan membuat semester depannya keteteran. “Kak!” Seruan itu membuat Revila menoleh. Dia memperhatikan adiknya yang berjarak empat tahun darinya itu. Saat sang adik berbaring di ranjang, Revila kembali sibuk dengan desain maketnya. Dia sibuk mengotak-atik gambar kursi lalu menggerakkan mouse hingga posisi gambar itu pas. “Kak, nggak tidur?” Rena—adik Revila bersuara. Revila menyandarkan tubuh lalu mengangkat kedua tangan ke atas. Dia lalu menggeleng pelan. “Nanggung tinggal ini doang.” “Tapi kan besok Kakak mau ketemu dosen. Katanya harus presentasi, kan?” ingat Rena. Beberapa hari yang lalu kakaknya sempat bercerita. “Iya, sih. Tapi ini dikit lagi selesai. Baru deh bisa tidur terus besok bangun agak siangan.” Tidak ada respons dari Rena. Revila menoleh memastikan adiknya itu ketiduran atau apa. Namun, yang dia lihat Rena sedang tersenyum menatap ponsel, selfie. “Ren. Udah malem foto terus,” ejeknya sambil geleng-geleng. Rena menangkat wajah, memperhatikan kakaknya dari samping. “Itu loh si Ian minta fotoku.” “Penting emang?” “Pentinglah, Kak. Siapa tahu dia kangen.” Revila mengangguk pelan. Dia lalu mematikan laptop karena tugasnya telah rampung. Setelah itu dia beranjak menuju ranjang. Gue ngantuk, Ren,” ucapnya lalu menguap lebar. Rena meletakkan ponsel di atas nakas lalu berbaring terlentang. Dia melirik kakaknya yang memejamkan mata. Namun, kelopak mata itu masih bergerak-gerak. “Kak.” “Hmm.” Mau tidak mau Revila membuka mata. Jika adiknya memilih tidur di kamarnya, itu artinya ada sesuatu yang mengganggu gadis remaja itu. Revila berbaring miring, memperhatikan adiknya yang kesulitan berkata-kata. “Kenapa?” Perlahan Rena menoleh hanya sepersekian detik lalu kembali menatap langit-langit kamar. Gadis itu memejamkan mata lalu berkata. “Ian mau ngelamar aku.” “Apa?” Seketika Revila terduduk. Dia memperhatikan adiknya yang mengangguk dengan senyum malu-malu itu. Revila menggaruk kepala. Apa dia tidak salah dengar? Ini bukan bercandaa, kan? Melihat kakaknya yang terkaget itu, Rena ikut bangkit. Dia duduk bersandar dan menatap kakaknya. “Tadi siang, Ian ngomongin ini. Dia malu ngelamar aku.” Revila menarik napas panjang. Dia senang dengan berita bahagia ini. Namun, apa ini benar? Demi Tuhan, dua minggu lalu Rena baru genap berumur sembilan belas tahun. Yah, meski tidak ada salahnya menikah diusia segitu. “Terus lo bilang apa?” tanya Revila setelah rasa terkejutnya perlahan mereda. Rena menggeleng pelan lalu mengusap wajah dengan tangan. “Aku bilang mau tanya ke keluargaku dulu. Terus Ian nagih jawabannya besok.” “Terus lo udah ngomong papa sama mama?” Rena menggeleng. Terlihat sekali jika gadis itu bingung. Di satu sisi dia senang karena pacarnya berniat serius, tapi di satu sisi dia bingung. Umurnya masih terlalu muda. Dia tak berani bilang ke mama dan papanya. “Gue takut,” jawabnya dengan mata berkaca-kaca. Revila menarik adiknya ke dalam pelukan. Rena lebih sensitif dan mudah menangis jika dalam keadaan bingung. “Mending lo jujur ke mama sama papa,” bisiknya. “Dengerin nasihat mama sama papa nanti. Mereka jelas pengen yang terbaik buat lo.” Rena mengangguk. Dia mengeratkan pelukan lalu menumpahkan tangisannya. “Kenapa lo nangis?” Perlahan Revila melepas pelukannya. Dia melihat bibir adiknya itu mencebik. Mau tidak mau Revila tertawa. “Hahaha.” “Kenapa malah ketawa?” Rena memukul kakaknya sebal. Dia sedang bingung malah ditertawakan kakaknya. “Habis lo lucu. Dilamar malah mewek kayak gini.” Revila kembali berbaring, pun Rena. Kedua kakak beradik itu sama-sama menatap langit-langit kamar. “Kak. Kalau papa sama mama ngizinin dan gue yakin, nggak apa-apa kan gue ngelangkain lo?” tanya Rena hati-hati. Sontak Revila menoleh. Dia tahu adiknya itu pasti memikirkannya. Revila tersenyum lalu mengangguk pelan. “Jelas boleh. Jodoh itu nggak  tahu datangnya kapan. Kalau ditakdirkan lo dulu yang nikah gue jelas nggak masalah.” Meski mendengar kalimat itu, Rena belum sepenuhnya lega. Dia ikut sedih melihat kakaknya yang belum memiliki pasangan. Yah meski kakaknya selalu menganggap remeh hal itu, tapi tetap saja Rena kasihan. Bahkan kalau bisa Rena ingin mencarikan pendamping untuk kakaknya. Dari kecil Revila itu tumpuan keluarga. Gadis itu dituntut ini itu agar bisa memberi contoh dan membuat bahagia keluarga. Akibatnya masa remaja Revila dihabiskan dengan belajar, belajar dan belajar. Yah sesekali bermain, tapi jarang mendekati urusan asmara. “Udah jangan mikirin gue,” kata Revila sambil mengusap puncak kepala adiknya. “Lo siapin mental buat ngomong papa sama mama pas sarapan besok.” Revila memutar tubuh, berbaring miring memunggungi adiknya. Gadis itu tersenyum, tapi air matanya menetes. Antara senang dan sedih yang bersamaan. Bagaimanapun yang namanya gadis, jika melihat gadis lain dilamar pasti merasa iri. Revila juga seperti itu. Meski dia tahu urusan asmara belum menjadi prioritasnya.   ***   Pukul sebelas kurang lima belas menit, Revila sudah di dalam kelas. Di depan meja terdapat proposal rangkap tiga. Dia tidak sabar menanti kabar proposalnya. Jika di ACC maka Revila langsung membuat maket sebagai tugas akhir. Namun, jika tidak.. Revila membuang napas, dia yakin akan begadang lagi. “Rev. Gimana kemarin. Sorry ya mertua gue kemarin tiba-tiba dateng. Nyidak ini itu. Duh pusing gue.” Suara Dee yang cempereng terdengar di telinga Revila. Gadis itu menoleh dan melihat perempuan ber-make up tebal itu. “Iya. Dee. Lain kali jangan gini, ya.” Dee manggut-manggut. Dia lalu mencomot proposal di hadapannya. “Lo ngerjain ini sama Lory?” “Gue sendiri.” “Lory?” Belum sempat Revila menjawab seruan lain terdengar. “Rev, gimana proposalnya? Selesai, kan?” Revila mendongak, melihat tampang Lory yang terlihat cerah. Gadis itu lalu mengalihkan tatapan ke arah lain. Ucapan Lory mengusiknya. Seolah-olah lelaki itu tidak merasa bersalah karena tidak ikut kerja kelompok. Nasib! batin Revila kecut. “Nanti yang presentasi lo kan, Rev? Kan, lo yang lebih nguasain materi,” kata Lory setelah membaca proposal di tangannya. Sontak Revila menoleh. YANG BENER AJA? teriaknya dalam hati. Gadis itu membuang napas panjang. “Bertiga dong.” “Tapi, kan, tetep yang ngomong satu. Lo kan paham materinya. Gue sama Dee takut salah.” Lory tersenyum manis. Tak ada niatan apapun. Dia hanya ingin proposal ini di ACC. Kalau dia yang presentasi, dia tak yakin. Terlebih dia sering blibet jika berbicara di depan banyak orang. “Oke,” jawab Revila dengan berat. Oh ini kesialan apa lagi? Kemarin Revila mengerjakan sendiri. Nanti dia akan presentasi sendiri. Jika seperti ini namanya bukan kerja kelompok, tapi kerja individu. Revila menarik napas panjang, menghilangkan emosi yang mulai menguasai. Dia yakin, ini akan berbuah manis. “Emang lo kemarin ke mana nggak ikut kelompokan?” tanya Dee ke Lory. “Pacar gue ngambek. Sebelumnya kan pesan dia nggak gue bales. Lo sendiri kenapa nggak ikut?” Dee menutup proposal dan menggulung kertas itu. “Mertua gue datang. Sebel, deh. Gue jadi kena marah.” “Hahaha. Nasib lo.” Dua orang itu lalu tertawa terbahak, hanya Revila yang terdiam. Gadis itu tidak bisa ikut nimbrung diperbincangan Dee dan Lory yang tak jauh-jauh dari seputar asmara. Di antara tiga orang itu, hanya Revila yang sungguh-sungguh dengan studi S2 dan tugas akhirnya. Sedangkan Dee dan Lory terkesan santai. “Selamat siang.” Suara berat itu membuat ruangan yang semula gaduh kini sunyi. Mereka sama-sama menatap dosen berperawakan pendek dengan perut membuncit. Revila menarik napas panjang, optimis dengan proposalnya.   ***   Pulang kerja Noel langsung menuju kafe. Hari ini suntuk super suntuk, karena Bu Bos sepertinya sedang senstif. Pernah dengar kan kalimat “bos lo cewek? Kelar hidup lo!” dan Noel benar-benar kelar hidupnya. Dia sudah mempertahankan argumennya tapi dimarahi. Saat dia diam, juga kena marah. “Sore, Mas.” Bento menyapa bosnya. Noel mengangguk singkat lalu duduk di kursi dekat penggilingan kopi. Lelaki itu bertopang dagu. “Mau minum, Mas?” tawar Bento melihat wajah suntuk bosnya itu. “Boleh. Buatin jus alpukat, ya?” Seperi biasa, tanpa menjawab Bento langsung melaksanakan tugas. Dia menuju pantry belakang dan membuatkan bosnya minuman. Sedangkan Noel kini melipat kedua tangannya di atas meja lalu menyandarkan kepala di atas lipatan itu. Kantuk tiba-tiba menderanya. “Permisi!” Suara yang begitu dekat itu membuat Noel mengangkat wajah. Dia melihat gadis kemarin berdiri di depan kasir. Namun, meja kasir itu tidak ada yang berjaga. Noel seketika berdiri dengan raut penuh emosi. Di saat lelah seperti ini ada saja yang menguji kesabarannya. “Mau pesan apa?” tanya Noel. “Air putih kayak kemarin?” Revila memperhatikan lelaki berwajah lesu di depannya itu. Dia tidak begitu ingat dengan lelaki di depannya. Atau pelayan kemarin? “Saya pesan tenderloin. Minumnya jeruk hangat.” “Oke.” “Permisi, Pak. Biar saja saja.” Si penjaga kasir telah kembali. Noel langsung bergeser, membiarkan anak buahnya melakukan tugas. Dia memilih duduk di kursi terdekat. Lalu minumannya di letakkan Bento di meja itu. “Coba dulu, Mas. Kurang manis atau gimana,” kata Bento. Noel menyeruput minuman itu lalu menggeleng pelan. “Pas.” Revila yang masih berdiri di meja kasir mendengar percakapan itu. Dia merasa lelaki itu pemilik kafe. Revila lalu menoleh penasaran dengan wajah lelaki itu. Yah, dia tidak mudah menghafal wajah seseorang. “Kenapa lihat-lihat, Neng?” goda Noel saat melihat Revila menatap ke arahnya. “Apa sih,” gumam Revila yang tentu tidak didengar oleh Noel. “Ini kembaliannya, Kak. Silahkan tunggu.” Revila mengambil uang kembalian lalu duduk di meja dekat jendela. Dia mulai mengeluarkan proposal yang tadi telah di ACC dosennya. Yah meski ACC selalu ada catatan. “Hai.” Sapaan itu membuat Revila mengangkat wajah. Dia menatap Noel sekilas lalu sibuk membaca proposal di depannya. “Lo cewek kemarin, kan? Fil? Minyak refil bukan?” Kalimat itu membuat Revila melotot. Enak saja namanya disamakan dengan minyak refil. Gadis itu menutup proposalnya lalu menjawab. “Revila. Bukan minyak refil ataupun tinta refil.” Noel menggaruk tengkuk yang tak gatal. “Gue sulit hafal nama orang.” “Informasi yang nggak penting. Lo bisa tinggalin gue? Gue mau belajar.” Seketika Noel melongo. Gadis macam apa yang sedang dia hadapi sekarang?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD