Bab 4

1465 Words
Keesokan pagi Hali terbangun dari tidurnya. Akibat tidur di sofa, semua badannya sekali. Ini semua karena dia tak mau pulang ke rumah, alasannya sebab Della. Hali tak mau jika kemarahannya membuat masalah besar. Hali memiliki adik yang usianya cukup terpaut jauh. Tak baik bertengkar di depan anak pra remaja seperti adiknya. Hali melihat layar ponsel memastikan jam berapa dan pergi ke kamar mandi yang letaknya di luar ruang kerja. Sebisa mungkin Hali berpenampilan rapi. Untuk keperluan mandi dan baju, segalanya sudah disiapkan. Hali tinggal membersihkan badan. Segera ia menuju kantor. Ada beberapa pekerjaan yang harus diselesaikan barulah nanti memikirkan bagaimana caranya merayu Marisa. Tangan Hali hendak meraih gagang namun entah kenapa pintu tersebut terdorong ke depan. Tidak sempat menghindar, wajah tampannya langsung menabrak pintu kaca tersebut. Spontan Hali mengaduh kesakitan sedang seorang wanita yang tak lain adalah Syifa terkejut mendapati pria itu. "Maafkan saya Pak, saya tidak tahu kalau anda di balik pintu," ucap Syifa cemas. Hali langsung menatap tajam pada Syifa. Walau takut wanita di depannya ini berani menatap tepat ke mata Hali. "Siapa kau? Kenapa kau ada di kantorku?" Syifa tampak gusar. Dia mau menjelaskan namun segera datang sekretaris Erwin. "Baguslah kalian berdua ada di sini, Pak Erwin ingin kalian berdua menghadap padanya." Hali mendelik ke arah Syifa sesaat lalu berjalan mengikuti Faruan. Sampai di ruangan Erwin bingung sebab wajah Hali merah sedang Syifa tampak khawatir. "Sepertinya kalian sudah bertemu. Hali, perkenalkan ini sekretaris barumu Syifa. Soal pekerjaan Ayah rasa dia bisa diandalkan." Syifa menoleh ke arah Hali. Ternyata pria galak ini adalah anaknya Erwin. Sungguh sifatnya berbeda sekali. "Orang ini? Dia hampir saja mematahkan hidungku dari tadi!" omel Hali menunjuk Syifa. "Pak saya nggak sengaja, saya tidak tahu kalau Pak Hali ada di balik pintu." Syifa membela cepat. Erwin melihat lagi Hali. Tatapannya jelas dia mau membela siapa. "Hali maklumilah Syifa, ini adalah hari pertama bekerja." Dugaan Hali benar. "Saya harap kalian berdua bisa bekerja sama dengan baik. Hanya itu saja, silakan ke tempat masing-masing." Hali melengos pergi lebih dulu. Sebelumnya Syifa mengucapkan terima kasih dan pergi mengikut Hali dari belakang. "Pak tunggu Pak!" Hali maunya berjalan lebih cepat tapi dia sadar melarikan diri bukanlah sifatnya. Langkah kaki menjadi lambat. Dia menoleh ke belakang di mana Syifa berjalan mendekat. "Ini untuk anda." Syifa memberikan sebuah plester untuk Hali. "Tutupi luka anda di hidung." Hali menerimanya. Tidak mengucapkan terima kasih dia pergi begitu saja. Hari itu mood Hali tidak baik bahkan dia melupakan begitu saja rencananya. Hari-hari berlalu kendati Syifa mengerjakan tugasnya dengan baik Hali tetap menyimpan ketidaksukaannya kepada wanita itu. Bukan hanya kejadian tempo hari. Hali menyadari Syifa sangat dekat dengan Erwin, Ayahnya. Keduanya sering berbicara sangat lama saat istirahat bahkan keduanya saling tertawa melempar candaan. Hali jadi curiga dengan kedekatan mereka. Setahunya Erwin tak pernah dekat dengan karyawan wanita yang lain. Sepulang dari kantor Hali meminta Adwan untuk pergi bersamanya menggunakan mobil sahabatnya itu. "Hali, aku tahu kau memiliki masalah dengan sekretarismu tapi kau gila memikirkan jika ayahmu berselingkuh dengan Syifa." Adwan berkomentar. Keduanya berada di mobil Adwan melaju mengikuti bus yang ditumpangi Syifa. Hali sendiri tak ambil pusing. Dia malah bingung. Rute jalan di hadapannya tidaklah asing tapi Hali terus mengikuti hingga Syifa berhenti di salah satu halte. Setelah berjalan beberapa menit dia berjalan memasuki pintu jeruji kecil. Baik Hali maupun Adwan kaget setengah mati. Pasalnya rumah yang dimasuki halamannya oleh Syifa adalah rumah Hali sendiri. Hali tak mampu menahan kemarahan sekarang. Dia langsung turun tanpa mau mendengar seruan Adwan. Keduanya masuk melalui pintu yang sama dilewati oleh Syifa. Langkahnya semakin dipercepat begitu juga Adwan mengejar sahabatnya dari belakang Tibalah mereka di rumah belakang. Tempat tersebut awalnya adalah gudang kini beralih fungsi menjadi tempat tinggal. Hali tak terima segera mendobrak pintu. "Syifa keluar kamu!" bentak Hali. "Hua!!!" Syifa yang berada di dapur, tergopoh-gopoh mendengar anaknya menangis. Matanya mengerjap dua kali melihat dia kedatangan tamu. Hali dan Adwan. "Bunda!" Tangisan pilu dari Rey lantas sukses menyita perhatian dari Syifa. Rey segera mendekat dan Syifa langsung memeluk putranya itu. "Tidak apa-apa Rey, itu hanya tamu saja." Suasana canggung sangat terasa. Dari perasaan marah berganti dengan tidak nyaman karena telah membuat anak orang menangis. "Silakan masuk Pak Hali." Adwan dan Hali menatap satu sama lain kemudian masuk bersamaan. Keduanya duduk tenang seraya menunggu Syifa yang membuatkan teh untuk mereka berdua sementara Rey dengan matanya yang memerah memasang wajah sedih sambil sesekali menatap kedua tamu itu. "Ini tehnya silakan minum." Hali mengambil teh tersebut dan menyesapnya pelan. Diperhatikannya baik-baik Syifa yang kembali merangkul Rey penuh cinta. "Maaf anakku ini memang ketakutan sama orang asing. Ada perlu apa ya datang ke sini?" Sontak Adwan menoleh pada Hali berharap bahwa pria itu yang mengatakan maksud kedatangannya. Tapi mata Hali tertuju pada Rey. Bocah itu kembali melihat pada Hali. Sadar akan tatapan Hali Rey kembali menangis dengan suara yang keras. "Tenang Rey, mereka tak melakukan apa-apa sama kamu." Hali makin tertekan. Apa dia sangat menakutkan untuk bocah kecil itu? Jelasnya, hati Hali terluka sekarang. "Ayah jahat, Ayah jahat." Suara mungil dari Rey membuat mereka terperanjat. Dari tadi Rey mengatakan Ayah bukan? Syifa melepas pelukan dan menatap tepat pada Rey yang masih menangis. "Jahat? Siapa yang jahat Rey?" Dengan telunjuk kecilnya Rey menunjuk Hali. "Ayah jahat Bunda ... Dia belteliak (berteriak) memanggil nama Bunda ... Belteliak (berteriak) ... Wajahnya juga ... menakutkan." ucap Rey terbata-bata. Syifa lalu memandang pada Hali dengan tatapan melotot. "Oh pantas anakku menangis Pak Hali membentak Rey rupanya, sekarang ayo minta maaf pada Rey." mata Hali membulat. "Meminta maaf? Harusnya kamu yang minta maaf padaku, karena kau selingkuhan Papaku!" kata Hali terpancing emosi. "Selingkuhan? Apa kau gila?! Aku tahu diri! Tak mungkin aku selingkuh sama Pak Erwin! Toh, aku juga punya anak dan prioritasku adalah Rey." balas Syifa bernada keras. "Lalu kenapa kau bisa ada di sini?" "Karena aku menyelamatkan uang perusahaan dari seorang pencuri. Sebagai rasa terima kasihnya dia memberikanku tempat tinggal. Jika saja Papamu tak memberikan semua ini mungkin aku dan anakku masih tinggal di jalanan. Sekarang ayo minta maaf pada Rey!" Hali dan Arwan sama-sama tak bisa membuka suara. Ada perasaan sesal dalam hati keduanya, terutama Hali terhadap Rey. "Mmm ... Rey ... Paman minta maaf ya," kata Hali. Dia melihat tak ada perubahan pada Rey yang membuat Syifa jengah. "Rey, Paman ...." "Pergi sekarang dari rumahku." perintah Syifa seraya membuka pintu. Mau tak mau kedua pria harus pergi meninggalkan mereka berdua. Begitu mereka menuruti perintah Syifa, lantas wanita itu menutup dengan keras pintu yang awalnya terbuka. "Ayah ... Jangan pelgi (pergi)!" rengek anak kecil itu. Tangannya yang kecil ingin menggapai tangan Hali tapi dia kalah cepat dari Syifa yang menyebabkan dia menangis sekali lagi dan lebih keras. "Rey, jangan menangis terus. Bunda sedih lihat anak kesayangan Bunda nangis terus," ucap Syifa dengan nada sedih. "Bunda ... Bunda jahat! Kenapa usil (usir) Ayah?!" "Karena dia nakal lagi pula Rey dengarkan Bunda dulu," Syifa menarik Rey agar mendekat lalu dihadapkan tubuhnya pada Syifa. "Dia bukan Ayah Rey. Ayah Rey sudah lama meninggalkan kita, dia sudah ada di surga." Rey menggelengkan kepala. "Itu Ayah! Dia ayah Ley (Rey)!" "Rey, Bunda sudah bilang dia bukan Ayah Rey. Rey hanya punya Bunda begitu juga sebaliknya, tolong jangan buat Bunda sedih." Syifa lalu memeluk anak kecil itu seraya menarik napas berat. ❤❤❤❤ Keesokan harinya Hali pergi ke kantor dan berpapasan dengan Syifa yang memang sekretarisnya. Hali terlihat tak enak mengingat kejadian kemarin. Sesekali dia melirik pada wanita itu untuk bertanya di mana putranya namun melihat wajah muram Syifa, Hali mengurungkan niatnya. Syifa menyadari jika dia selalu dilihat oleh pria itu tapi dia menunjukkan wajah tak peduli untuk memperingati bosnya sampai tiba-tiba saja Hali menghampiri dirinya. Dia berdehem sebentar kemudian memanggil nama Syifa. "Syifa ...." Syifa tak menggubris. Dia terus mengerjakan tugasnya tanpa ambil pusing Ucapan Hali. "Aku mau minta maaf. Karena aku telah menuduhmu tak benar. Lalu bagaimana dengan Rey? Apa kau membawanya?" Sontak, Syifa melempar pandangan dingin. "Bukan urusanmu." Sebagai balasan Hali mendengus dan masuk ke ruangannya. Hari sudah sore saat Hali pulang ke kantor beserta para karyawan. Di sana dia menemukan Syifa menggandeng tangan Rey yang memilih berdiri untuk menunggu bus terminal. Untuk beberapa saat Hali terdiam melihat punggung keduanya. Sampai saat Rey memutar tubuhnya melihat padanya. Senyuman tampak di bibir mungilnya. "Ayah!" Tangan Syifa dilepaskan dan anak itu berlari ke arah Hali. Hali tak tahu apa yang seharusnya dia lakukan begitu Rey memeluk kakinya. Mata polosnya menatap pada Hali dengan kepala yang dia dongakkan. "Ley (Rey) lindu (rindu) sama Ayah, apa Ayah tak lindu (rindu) sama Ley (Rey)?" Melihat tatapan polos dari Rey membuat Hali berjongkok menyamakan ketinggiannya dengan anak kecil itu. "Ayah rindu sama Rey juga kok, ke sini Ayah mau peluk." Rey tersenyum cerah. Dia pun mendekat namun sebelum itu terjadi Syifa menahan tubuh Rey untuk mendekat. ❤❤❤❤ See you in the next part!! Bye!!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD