3- Pesona Dosen Killer

1334 Words
Queeny bangun dari tidurnya. Dia mengerang saat merasakan telapak tangannya perih. Dia sadar apa yang terjadi semalam. Seorang pria asing yang mengantarnya sampai di sini membuatnya mengalami mimpi indah. Queeny meraih ponsel dan menemukan pesan dari Furqon yang meminta maaf dengan berbagai alasan tak masuk akalnya. Pesan lain berasal dari Umi yang menanyakan bagaimana keadaannya. Queeny membalas Umi dan menghapus pesan dari Furqon tanpa membacanya lebih dulu. Hari ini ada jadwal kuliah. Queeny harus bangun untuk bersiap. Teman satu kostnya, Marlina, pasti akan segera mengetuk pintu untuk mengajaknya berangkat bareng. Tepat pukul delapan pagi, Queeny siap sudah siap dengan telapak tangan terluka yang ditempeli perban. Dia sudah berpakaian rapi. Membawa tas selempang yang membawa serta buku pelajaran serta alat lain. Benar saja, gadis itu sudah menunggu Queeny di mobilnya. "Semalem gue denger lo ngobrol sama cowok. Furqon?" Queeny menggeleng. Masuk ke dalam mobil dan menutup pintunya dengan gerakan kesal. Moodnya langsung hancur setelah mendengar nama itu. "Lah, terus siapa kalau bukan Furqon?" "Nggak tahu!" "Hah?" Marlina terperangah. "Semalam, ada orang yang nggak sengaja nabrak aku di trotoar, dia yang antar aku sampai pulang." Marlina mengerling keheranan sambil menjalankan mobilnya. "Kok, bisa? Emangnya lo nggak sama Furqon?" "Enggak," sahut Queeny. Cemberut. "Katanya lo keluar sama dia." "Iya, gue keluar sama Furqon, tapi baliknya nggak sama dia. Berhenti ngomongin Furqon deh, Mar. Gue lagi marah sama dia!" tegas Queeny membuat Marlina mengerling kikuk. Mobil melaju semakin cepat. Queeny mulai merasa mood-nya menjadi lebih baik setelah melihat pemandangan di luar mobil yang memanjakan mata. Dia mulai membuka topik yang lebih asyik dengan Marlina, seperti menggunjingkan ibu kost, atau rencana siang nanti mau masak apa. Mereka sampai di kampus dan bertemu teman-teman yang lain. Queeny senang dengan mudahnya dia bisa melupakan konfliknya dengan Furqon. Jam masuk kuliah masih sekitar setengah jam lagi. Queeny dan Marlina menyempatkan duduk di taman. Keduanya mengerjakan tugas atau sekedar membaca materi yang akan segera mereka pelajari di kelas sambil menikmati sebotol minuman dingin. Ponsel Queeny berbunyi beberapa kali membuat Marlina penasaran siapa yang berusaha menelepon Queeny. "Seneng ya, punya nyokap perhatian." Queeny tertawa. "Kata siapa seneng? Sebel, iya." "Kok sebel, sih?" Queeny menggeleng frustasi. "Perhatian membuat lo terkekang. Percaya, deh!" "Jangan bilang lo kuliah di sini biar bisa bebas dari kekangan mereka?" "Nah, itu bener banget." Marlina menggeleng tak menyangka. "Ada juga, ya. Anak yang kabur dari rumah biar nggak diperhatiin." Saat itu juga, Furqon muncul dari jalan setapak dengan seragam khas anak teknik membalut kemeja kotak-kotaknya. "Queeny!" sapa Furqon membuat Queeny seketika menoleh. "Kok lo ngeblokir nomor gue?" Queeny menatap terheran. "Kenapa emangnya?" "Ya, karena kita pacaran. Gimana gue bisa nelpon lo kalau lo ngeblokir nomor gue?" Queeny bangkit dari duduknya dengan ekspresi emosi. "Kalau kita pacaran, lo nggak seharusnya ninggalin gue sendirian!" "Ninggalin lo? Siapa yang ninggalin lo?" "Lupa ingatan, ya?!" bentak Queeny membuat Marlina membelalak di belakang sepasang kekasih itu. "Semalam lo ninggalin gue sendirian!" "Bukannya lo yang ninggalin gue?" sahut Furqon dengan nada menantang. "Karena lo kelamaan di kamar mandi, bego! Lo ngapain di kamar mandi? Tidur? Atau godain cewek orang?" Furqon menghela napas dan matanya membulat, kepalanya menjadi kaku, kemudian ia menggeleng frustasi. "Queen ... denger!" "Gue nggak tahu lo maunya apa. Kita udah pacaran dari dulu. Seharusnya lo ngertiin gue, tapi lo tetep ngajak gue ke tempat kayak semalam!" tegas Queeny. Furqon mengerling tak terima. "Gue berusaha ngertiin lo, lo harus tau! Gue tau lo pengen bebas, makannya gue ajak lo ke sana biar lo bisa tahu gimana rasanya bebas." "Mau ngajak gue ngerasain bebas atau mau seneng-seneng sama ceweknya orang?" selidik Queeny sarkas membuat Furqon sekali lagi menggeleng tak terima. "Intinya, lo buka blokir nomor gue sekarang juga!" "Kenapa gue mesti buka blokir lo?" Furqon menatap frustasi. "Serius, lo marah sama gue?" Queeny tertawa miris. "Lo belum sadar, gue marah sama lo sejak semalam?" Furqon kehilangan kata-kata. Keras kepala Queeny selalu mengalahkan skill public speaking-nya. Apalagi jika gadis ini sudah berteriak-teriak marah seperti tadi. Dia semakin yakin dengan kalimat yang mengatakan 'cewek selalu benar'. Queeny meninggalkan Furqon sendirian. dia langsung meraih tasnya dan mengajak Marlina pergi dari sana. "Queen! Lo beneran nggak mau buka blokirnya?" Queeny tidak menghentikan langkah, bahkan menoleh, membuat Furqon semakin putus asa. Bergabung dengan kerumunan mahasiswa lain membuat amarah Queeny perlahan mereda. Di sampingnya, Marlina sedang memastikan Queeny sudah bisa diajak bicara. Marlina menghela napas. "Tadi Furqon kelihatan nyesel banget, loh, Queen." "Biarin dulu dia nyesel. Gue suka lihat dia ngemis-ngemis minta balikan." "Emangnya lo putusin dia?" Marlina mengerling. "Nggak juga, sih. Tapi kalau udah marah-marahan kayak gini endingnya pasti bakalan putus." Marlina mengerling bingung. "Lo sebenarnya sayang nggak sih, sama dia?" Queeny menghela napas panjang. "Gue sayang sama dia, Mar. Tapi gue capek ditarik ulur terus kayak layangan. Furqon gitu terus dari dulu. Buat masalah, putus, habis itu balik lagi." Marlina mengangguk mengerti. Ada ekspresi takjub dari sorotan matanya. "Jadi, kalian putus nyambung terus?" "Lo nggak akan sanggup hitung udah berapa kali gue sama Furqon putus nyambung." "Serius?" Marlina membelalak. "Dia playboy, Mar." "Lah, lo mau aja sama modelan playboy kayak dia." "Gue itu pacaran tadinya coba-coba doang, andai Abi sama Umi tahu, aduh mampus aku, Mar!" "Gue nggak habis pikir sama jalan pikiran lo, Queeny! Kenapa masih bertahan? Emangnya lo cari apaan sih di cowok itu?" Queeny tertawa miris. "Andaikan ada cowok lain, gue udah putusin dia dari dulu, Mar. Tahu sendiri aku sama dia itu pesantren, kita aja pacaran ngumpet-ngumpet." jelas Queeny tepat saat mereka masuk ke ruangan tempat mereka akan melakukan jadwal kuliah. Ini adalah kelas baru bagi Queeny sejak masuk ke kampus ini. Meskipun begitu, dia sudah mendengar kabar dari teman-temannya bahwa kelas ini sangat asyik karena dosennya yang menyenangkan dan tampan. Queeny baru duduk di kursinya saat menyadari sosok yang berdiri di belakang meja dosen. Kedua matanya membelalak tegang. Dia jelas tidak salah lihat. Dosen yang akan segera mengajarnya di kelas ini adalah laki-laki yang menolongnya semalam. Queeny tidak mengerti apakah dia harus merasa senang karena akhirnya dipertemukan dengan pria tampan itu lagi, atau justru takut karena dia pernah berinteraksi dengan pria itu. "Lo kenapa, Queen?" Marlina menoyor lengan Queeny dengan bolpoinnya. Queeny mengalihkan pandangan dan menelan saliva kuat-kuat. Kemudian dia menatap Marlina untuk menggeleng pelan. "Terpesona sama Pak Dosen, ya?" Queeny menggeleng. Marlina terlambat menanyakannya, dia lebih dulu terpesona saat pertama kali bertemu pria itu, tepatnya semalam. "Ngaku aja, banyak kok yang kayak gitu pas pertama kali masuk kelas ini." Queeny menggeleng sekali lagi. Sebisa mungkin menahan rasa gugupnya. 'Astaga beneran ini nggak mimpi?' batin Queeny ketika melihat sosok pria yang kini telah berdiri di depan kelas. "Selamat pagi semuanya! Saya Yusuf, satu semester ini saya menjadi dosen di mata kuliah Pengantar Ilmu Komunikasi. Oke saya absen terlebih dulu ya!" terangnya. "Aduh … gue gugup banget, dia adalah yang nganterin aku semalam, Mar!" bisik Queeny kepada Marlina. "Apa?!" teriak Marlina hingga menggelegarkan seisi ruangan. Semua mata tertuju pada Marlina dan juga Queeny. Sorot mata Yusuf menyelidik ke arah Marlina, dan tatapannya terhenti pada Queeny. Yusuf merasa biasa saja dengan pertemuannya semalam, bahkan tidak ada tanda-tanda bahwa dia mengenal Queeny. Mungkin Yusuf sedang berpura-pura. "Siapa namamu?" tanya Yusuf kepada Marlina. "Marlina, Pak." "Yang di samping kamu?" tanya Yusuf lagi. "Sa-ya Queeny el Qorny." Yusuf mencatat nama tersebut dengan catatn hadir. Kemudian, Yusuf melanjutkan absensi tersebut. Queeny menyenggol sikut Marlina, lalu Queeny menggelengkan kepala. "Oke, saya sudah selesai melakukan absensi. Baik, saya akan memulai materi." Materi berlangsung selama satu setengah jam, semua mahasiswa fokus pada materi yang disampaikan oleh Yusuf. "Materi sudah selesai. Saya mau memberikan tugas, yaitu membuat jurnal mengenai mata kuliah saya. Dan tugasnya harus dikumpulkan besok, mengerti?" ucap Yusuf. Seketika mahasiswa terkejut dengan ucapan Yusuf. Mereka saling berpandangan satu sama lain dengan teman sampingnya. Mereka tidak menyangka akan diberikan tugas begitu cepat dengan tenggat waktu yang singkat. "Bapak serius?" tanya Queeny polos. "Memangnya muka saya terlihat bercanda?" tanya Yusuf menantang Queeny. "Semua diam berarti setuju! Oke, saya pamit dari kelas ini! Sampai jumpa besok dikumpulkan di ruangan saya jam 10 yang telat akan tahu akibatnya!" jelas Yusuf seraya membereskan laptop dan segera keluar kelas.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD