1- Jakarta, I am Coming

1247 Words
Baru tiga minggu yang lalu Queeny menangis terharu karena berhasil lolos di kampus dan jurusan impian. Hari ini dia sudah berkemas dan siap berangkat ke Jakarta, tempat kampusnya berada. Queeny tidak bisa menahan rasa bahagianya karena akan meniti kehidupan sebagai seorang mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi di Universitas Swasta. Ia juga sudah survey lokasi kost yang akan dia tinggali di sana. "Masih ada yang kurang?" tanya seorang wanita berjilbab biru dari depan lemari. Queeny menoleh ke arahnya. Wanita itu adalah ibunya. "Enggak, Umi. Sudah semua," sahutnya seraya mengambil ponsel yang saat itu berdering. Terdapat sebuah pesan dari nomor bernama Furqon. Queeny langsung tersenyum-senyum membaca pesan di layar ponselnya. "Ingat pesan Abi, ya! Berteman sama orang-orang yang baik, yang bisa buat kamu semakin maju dan berkembang." Umi menaikkan sebelah alisnya. "Queeny!" serunya membuat Queeny mengalihkan pandangan dari ponsel dan menciutkan senyum. "Kamu dengar Umi bilang apa barusan?" "Iya, dengar," sahut Queeny. Kembali berkutat ke ponselnya untuk membalas chat pacarnya. "Apa yang baru saja Umi katakan?" Queeny justru tersenyum-senyum ke arah ponselnya. Mengabaikan koper di atas tempat tidur yang masih terbuka dan seruan ibunya. "Queeny, kalau orang lain sedang bicara sama kamu, jangan mengalihkan perhatian. Itu namanya tidak sopan!" pesan ibunya dengan nada tegas dan lantang. Queeny langsung cemberut. Mematikan ponselnya dan menghadap ke arah ibunya. "Tadi Umi bilang, jangan temenan sama orang nggak bener," jelas Queeny. Umi menghela napas. "Dan jangan lupa makan tepat waktu. Jaga kesehatan. Kalau ada apa-apa langsung telepon. Oke?" Queeny mengangguk. Sudah tak sabar ibunya pergi dari ruangan ini dan dia bisa chatan dengan pacarnya dengan puas. "Jangan lupa salat lima waktu. Itu wajib." Queeny nengangguk tegas. "Iya, Umi. Queeny akan ingat." "Bagus. Abi kamu lagi di pesantren. Dia akan pulang nanti sore. Kalau mau pamitan sama Abi, yang sopan. Jangan sambil mainan hape!" Queeny menghela napas panjang sekali lagi. "Iya, Umi." Terkadang, perlindungan super protektif dari ibunya membuatnya lebih bosan daripada mendengarkan penjelasan guru killer di pesantren. Ya, Queeny punya sebuah pondok pesantren milik keluarganya. Ayahnya adalah seorang kyai yang sederhana. Sebagai seorang anak kyai yang taat akan hukum agama, seharusnya Queeny lebih menjaga pergaulannya. Tetapi gadis itu justru berpacaran dengan seorang laki-laki tanpa pengetahuan orang tuanya yang ternyata adalah kakak kelasnya waktu di pesantren. Saat Umi keluar dari kamar, Queeny langsung meraih ponselnya dan menemukan tiga pesan dari Furqon. Dia memencet tombol telepon. Kurang dari satu detik, cowok itu mengangkat panggilannya. "Halo, Sayang!" sapa Furqon membuat Queeny tersenyum meleleh. "Gimana? Besok jadi berangkat bareng, 'kan?" Queeny menatap pintu kamarnya yang tertutup. Dia yakin ibunya sudah pergi dari sana dan dia bisa bicara sekeras yang ia mau tanpa perlu khawatir ibunya akan mendengarnya. "Belum tahu. Katanya, Abi yang mau nganter aku besok. Tapi, aku akan cari cara biar aku bisa berangkat sama kamu." "Beneran?" tanya Furqon terdengar tak percaya. "Iya. Lagian, nggak asyik berangkat sama mereka. Kalau berangkat sama kamu, kan, jadi nggak bosen." Queeny terkekeh kecil. Sebaliknya, dari seberang Furqon sedang tersenyum puas. "Aku jadi nggak sabar. Pengen langsung berangkat," curhat Queeny dengan nada antusias. "Kamu pikir kita mau ngapain di Jakarta? Liburan?" sarkas Furqon. "Kuliah, lah." "Kuliah tu pusing, nggak melulu soal bebas dari orang tua terus bisa kemana-mana sesuka hati." Queeny menggumam tak percaya. "Apa salahnya, sih bayangin yang enak-enak. Kalau kita cuma kuliah mulu ya emang pusing. Makannya sambil healing. Jangan sampai waktu bebasmu sia-sia. Betul, nggak?" "Terserah, lah," sahut Furqon putus asa. "Kalau besok berangkat bareng, telpon lagi. Oke?" "Iya," sahut Queeny dengan nada lembut. Telepon dimatikan lima detik kemudian. Queeny tiduran di atas ranjang. Pakaian berceceran di sekelilingnya. Dia baru sadar, dia belum selesai mengemasi pakaian-pakaian yang harus dia bawa besok. Queeny bangkit lagi untuk mengemasi seluruh pakaian itu. Kedua matanya menatap ke arah jam dinding yang sudah menunjukkan pukul empat lebih seperempat. Sudah asar, sebentar lagi abinya akan pulang. Queeny harus punya kesabaran di atas rata-rata untuk menghadapi beliau. Selain seorang ayah, abinya juga seorang kiyai. *** Selepas isya, Queeny melepas mukenanya. Dia menemukan suara obrolan dari arah ruang tamu dan merasa sangat yakin abinya sudah pulang. Dia buru-buru melipat mukenanya. Mengenakan kerudung dan keluar dari kamar untuk menuju ruang tamu. Benar saja, abinya sudah berada di rumah dan supir pribadi yang baru saja mengobrol dengan beliau sudah keluar. Ini waktu emas bagi Queeny. Dia harus cepat-cepat minta izin. "Assalamualaikum, Abi!" sapa Queeny. Duduk di atas sofa lain di samping abinya. Pria berusia lebih dari setengah abad yang rambut putihnya tertutup kopiah itu mengerling. Kumisnya melintang di atas bibir yang membengkok ke atas. Ada kerutan di ujung kedua matanya. Kerutan itu adalah hal pertama yang Queeny lihat saat menatap wajah ayahnya. "Waalaikumsalam," sahut Abi dengan nada serak-serak seperti suaranya ketika mengajar mengaji. "Abi, besok Queeny mau berangkat kuliah." "Alhamdulillah," sahut laki-laki bersarung itu. "Queeny mau ... mau minta izin berangkat sendiri. Boleh, kan, Abi?" Saat itu juga, Umi yang lewat di belakang sofa, langsung terperangah mendengar izin dari Queeny. Abi pun mengerling keheranan, menambah kerutan di wajahnya. "Berangkat sendiri?" tanya Umi sambil mendekati Queeny dan menatap kebingungan ke arah suaminya. "Abi sampai batalin jadwal ngaji gara-gara mau ngaterin kamu, loh." Queeny menunduk dalam-dalam. Dia tidak punya alasan lain yang bisa dikatakan. Jika Umi dan Abi membujuknya sekali lagi, dia mungkin tak akan punya kesempatan berangkat dengan Furqon. Tidak seperti yang Queeny duga, Abi tersenyum. "Nggak papa, Umi," katanya, menepis kekesalan Umi. "Berangkat sendiri atau sama temen?" Queeny menelan salivanya. Dia tidak pernah diajari berbohong, dan dia memang tidak ingin berbohong. "Sama ... sama temen Queeny, Abi." "Pakai mobil temen kamu?" Queeny menggeleng. Ini dia, dia sudah berbohong. "P-pakai kereta." Umi menghela napas panjang. "Syukurlah. Temenmu cewek, 'kan?" Queeny terpaksa mengangguk. "Queeny janji akan jaga diri. Queeny cuma nggak mau ngerepotin Umi sama Abi." Abi terkekeh pelan. "Ya sudah. Jaga diri baik-baik di negeri orang, ya. Jaga hati jaga iman. Ya Allah, anak Abi satu-satunya sudah besar. Queeny yakin nggak tinggal di pesantren aja sambil kuliah?" tanyanya seraya mengelus puncak kepala Queeny. "Abi … Queeny pengen kali ini benar-benar keinginan aku, aku bosan pesantren terus dari SD," keluh Queeny. Malik—ayahnya Queeny terkekeh mendengar perkataan anak gadisnya itu. "Iya … iya deh. Awas jangan lupa kalau ada apa-apa hubungi Abi sama Umi," seru Malik dengan memeluk tubuh Queeny dengan erat. Queeny mengangguk puas. Hatinya merasa lega. Besok dia akan berangkat dengan Furqon. Dia akan berangkat dengan pacarnya! Queeny sama sekali tidak percaya. *** Queeny melancarkan rencananya. Dia keluar dari rumah menggunakan mobil pribadi. Lalu berhenti di stasiun. Sarifah—ibunya yang mengantarnya sampai di sana, memberinya ciuman di dahi dan memberikan pesan-pesan membosankan yang selalu beliau ucapkan. Queeny terpaksa setuju. Dia mencium punggung tangan ibunya dan meninggalkan sang ibu dengan berbaur ke kerumunan orang di stasiun. Setelah mengawasi ibunya telah pergi dari sana, Queeny menelepon Furqon. Cowok itu sedang melambaikan tangan dari arah parkiran. "Furqon!" seru Queeny. Menarik kopernya susah payah. Laki-laki tinggi berjaket hitam itu tersenyum hangat ke arah Queeny yang langsung meraih bahunya untuk dipeluk singkat. "Kangen, ya?" tanya Furqon sambil menaikkan kedua alisnya. Queeny hanya tersenyum malu. Keduanya langsung masuk ke dalam mobil dan melaju di bawah terik matahari pagi. Queeny sangat bahagia. Akhirnya dia sampai di Jakarta, bertemu teman baru yang kebetulan ia teman satu kampus dan satu jurusan dengan Queeny, ia lebih asyik daripada teman-temannya di pesantren, tinggal sendirian di kos tanpa khawatir dibangunin Umi tiap jam tiga pagi, dan sering jalan bareng pacar—ini adalah bagian favorit Queeny setelah sampai di Jakarta. Dulu, Queeny sering diam-diam bertemu dengan Furqon di pesantren. Sekarang dia lebih bebas bertemu setiap saat dengan Furqon.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD