Bagian 2

768 Words
Agra berdiri kemudian menjabat tangan seorang klien yang akan menanamkan saham sekaligus membeli batu intan permatanya. Klien itu seumuran dengannya. “Maaf, sudah menunggu lama,” ujar pria itu. Agra tersenyum dan mengangguk. “Tidak apa-apa, Pak. Saya bisa memakluminya karena kita bertemu saat jam makan siang.” jawab Agra sambil merapikan jasnya. “Silakan duduk.” “Terima kasih. Saya tadi ada sedikit urusan dengan istri saya.” Lelaki itu duduk. “Jadi bagaimana? Saya dengar perusahaan Anda sangat terkenal dengan permata batu intan dan dari kisahnya saya tertarik untuk menanamkan saham saya di sini,” kata lelaki itu, Ethan Nathael Daniel Anthony atau biasa dipanggil Anggabaya Cakara. Agra mengangguk. Ia mengambil proposal dari tangan Jio. Lalu, memberikannya kepada Ethan yang langsung ia baca dengan jeli dan teliti. “Perusahaan kami masih baru karena saya mendirikannya baru tiga tahun. Namun, perkembangannya cukup pesat dan reputasi kami cukup baik,” jelas Agra, sementara Ethan mendengar sambil membalik lembar demi lembar proposal, Ia pun merespons dengan anggukan. “Permata intan kami kualitasnya baik. Proses pembuatannya pun secara alami. Kami tidak merusak lingkungan dan menghindari adanya limbah. Kami menambang permata-permata tersebut dari kedalaman 140 sampai 190 kilometer dari permukaan bumi agar intan yang kami ciptakan memiliki kejernihan mineral yang sangat alami. Untuk pengambilannya kami tidak menggunakan karyawan atau para penambang karena takut terjadi sesuatu jadi kami hanya menunggu ibarat buah yang masak ia akan jatuh dengan sendirinya. Jika permata itu sudah bisa diolah dia akan muncul ke permukaan dengan tekanan karbonad dari dalam tanah.“ Agra memiliki pemikiran yang matang dan cerdas. Ia menjelaskan dengan tutur yang lantang dan jelas. Ethan selesai membaca proposal. Ia telah yakin untuk menanam saham sekaligus membeli baru permata intan untuk istrinya. “Saya tertarik dengan perusahaan Anda, Pak Agra. Saya mau menanamkan saham saya 60% di sini dan keuntungannya saya ingin seperempat tambang Anda menjadi milik saya.” Agra tersenyum dan mengangguk. “Baiklah, Pak Ethan. Tidak masalah. Saya sangat senang bisa bekerja sama dengan Anthony Corp pemilik kebun kelapa sawit terbesar di dunia.” Ethan pun tersenyum. “Panggil saya Ethan saja, tapi lebih enak Angga sepertinya. ” Agra mengangguk. “Baiklah, Ga. Kalau begitu, panggil saya dengan nama juga. Sepertinya, kita seumuran.” “Oke. Saya juga ingin membeli batu intan permata yang paling bagus dan paling baik di perusahaanmu, Agra. Ada?” kata Ethan antusias. Agra pun mengangguk tak kalah antusias saat mengambil proposal lainnya, proposal khusus batu intan permata. Lalu, mereka larut dalam perbincangan seperti seorang teman lama hingga mendengar sesuatu yang cukup keras. “Apa itu?” tanya Agra. “Tolong!” pekik seorang pria dari luar ruangan. “Renno?” gumam Ethan. Ia seperti mendengar suara adiknya minta tolong “Siapa Renno?” “Renno sekretarisku sekaligus adik bungsuku.” jawabnya, tapi pria itu tidak beranjak dari tempat duduknya “Jio, lihat apa yang terjadi di sana.” Jio yang sedang terkantuk langsung berdiri cepat dan berlari. “Astaga, Tuan!” pekik Jio saat melihat apa yang terjadi di depannya. Agra dan Ethan langsung berdiri dan mendatagi Jio. Sementara, Jio sedang melerai Joy yang sedang mencekik Renno dan mengangkatnya ke dinding. “Astaga, Joy, hentikan. Kamu bisa membunuhnya,” kata Jio sambil memegang lengan Joy. “Dia kurang ajar, Jio. Makhluk seperti ini harus dimusnahkan,” ujar Joy penuh amarah. “Joy, lepaskan!” perintah Agra saat melihat pemandangan di depannya. Joy dengan sangat terpaksa langsung melepaskan cengkeramannya dari Renno, membuat pria itu langsung terjatuh ke lantai. Ethan mengulum senyum. Dalam hati, ia mencibir adiknya. “Apa kamu digoda olehnya hingga kamu membuat dirinya seperti itu, Nona?” “Maaf, tuan, saya bersikap kasar. Tapi, bukan hanya menggoda, melainkan melecehkan saya. Dengan kurang ajarnya dia memegang b****g saya dan mengatakan jika b****g saya rata,” Renno yang mendengar penuturan Joy mulai mengambil napas dan berusaha berdiri. Tampangnya sangat berantakan. Sudut bibirnya berdarah. “Memang pantatmu rata. Yang bilang bohay siapa?” elak Renno sambil mengusap darah di sudut bibirnya. Joy menatap Renno tajam. Ia menghampiri Renno, bersiap menyerangnya lagi. Namun, Jio menahannya. “Astaga, Joy, bersikaplah sopan. Kita sedang berada di depan bos,” desis Jio pelan. Joy menyerah, tetapi kilat kemarahannya masih jelas di mata tajamnya. “Jadi namamu Joy. Nama yang cocok dengan wanita sepertimu yang kasar dan jahat,” kata Renno enteng. Kini, ia sudah berlindung di balik kakaknya. Joy mengepalkan tangannya kuat. Jika saja tidak ada mereka, Joy sudah pastikan lelaki itu akan terbang ke neraka. “Sebaiknya, kita akhiri sampai di sini dulu pertemuannya, Ethan. Bawalah adikmu ke rumah sakit. Izinkan saya yang menanggung biayanya,” kata Agra. Sekilas Ethan melihat adiknya. “Tidak usah. Biarkan saja dia seperti itu. Adik saya memang badung, wajar jika diperlakukan seperti tadi.” Renno yang mendengar penuturan kakaknya langsung protes. “Kakak gimana, sih? Bukannya belain aku malah dibiarin.” Renno melengos pergi sambil memegang sudut bibirnya yang sakit. “Kalau begitu baiklah kami permisi.” Agra menjabat tangan Ethan kemudian pergi ke arah yang berlawanan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD