13

1134 Words
Ruang makan--- pagi hari Di meja makan suasana terasa cangung, Faten memperhatikan Taran, Adrian mengamati mereka berdua Makanan tertata di atas meja sejak pagi Ibu Siti dan Rina sibuk di dapur memasak, Taran bangung kesiangan hanya menunduk menghindari Faten, Rina, Bu Siti dan Adrian Di sebelah Taran duduk Rina yang terdengar mendengus beberapa kali sambari bermain ponsel dan melihat Taran dari ujung kaki sampai kepala "Gaun tidurnya sexy juga mba, Mau godain siapa?" Rina meletakan siku di atas meja dan ke 2 telapak tanggan menyangah dagu Bu Siti tiba-tiba meletakan sendok dengan bunyi yang cukup keras Ting, Ibu Siti: "Lima tahun menikah… masih belum ada tanda-tanda cucu. Makanan bergizi sudah Ibu siapkan setiap hari, tapi kalau tidak ada usaha… ya bagaimana mau hamil." Taran hanya diam sendok yang awalnya akan menyuap untuk ke 3xnya di letakan kepalanya tertunduk, jemarinya saling meremass kuku Suasana jadi hening hingga Faten "Bu..," Rina memotong ucapan kakaknya sambil menunjukan ponsel artikel perempuan mandul "Mau pake baju kayak gimanapun juga ngak bakal hamil Bu, bukanya ganti baju malah pake baju kayak mau ke club malam aja," Rina segera melirik Taran dengan sinis " Mba kan tau Kak Faten itu dokter, kalo ngak bisa hamil minimal bisa dong jaga martabat suami, mentang-mentang cantik suka buka-bukaan," Ketika Faten akan membela istrinya, Adrian menarik lengan Faten Adrian "Faten, tidak sekarang." Suaranya rendah, memperingatkan ​ Ibu Siti menghembuskan napas keras Ibu Siti: "Ibu cuma berharap keluarga ini tidak malu. Kalau masih belum bisa kasih keturunan, ya tolong paling tidak jaga sikap sebagai wanita yang..." Sebelum Bu Siti menyelesaikan ucapannya, Taran berdiri dari kursi terlihat jelas tetesan air mata yang sudah ngak bisa ia bendung, bibirnya bergetar halus "Maaf gue udah kenyang," ia berbalik dan berlari menaiki tangga menuju kamar dengan ke 2 telapak tangan berusaha membersihkan air mata Faten: "Taran! Sayang...!" Faten hendak bangkit dan menyusul tapi Adrian buru- buru menahan dan menghalangi Faten marah dengan bentakan keras dia mendorong sahabatnya " MINGGIR, ADRIAN ! ISTRIKU BUTUH AKU!" Adrian menarik lengan Faten "Justru itu, kita bicara sebentar," Faten menepis dan mendorong hingga sahabatnya tersungkur ke lantai " AKU HARUS LIHAT ISTRIKU!" Adrian tegas, suara dokter berbicara "Dan sebagai suami kamu perlu tahu kapan menolong dan kapan menjadi penyebab luka. Kamu tidak sadar, tapi tekanan terbesar Taran justru datang dari kalian di rumah ini." Faten terpaku tak bisa berkata apapun, Adrian segera bangkit dan menariknya ke halaman rumah yang jauh dari Ibu Siti dan Rina Bu Siti dan Rina saling perpandangan Faten menatap jendela kamarnya "Aku tidak pernah bermaksud menyakitinya." Adrian berjalan mendekati pot bunga "Aku tahu. Tapi ibumu tidak berhenti menyindir soal anak. Rina selalu mengomentari tubuh dan pakaian Taran. Dan kamu… kamu selalu berharap Taran kuat. Padahal dia sudah sampai Disosiatif Amnesia," Faten terduduk di lantai dadaanya terasa sesak dan penuh "Aku hanya ingin..." Adrian mengambil pot bunga dan dengan lembut " Bunga ini tumbuh dengan baik, dengan cahaya dan asupan air sehingga bisa berfotosintesis, dan bunga ini sama seperti istrimu kalau kamu benar-benar ingin Taran bahagia, dia harus jauh dari ibu dan Rina. Setidaknya dia bisa menjadi gadis remaja usia 13 tahun bukan sebagai menantu dan istrimu," Suasana hening sesa'at Faten mengangkat kepala, air mata memenuhi mata "Kalau harus memilih antara istriku dan keluargaku… kamu sudah tahu jawabannya." Faten masuk kembali dengan wajah datar terlihat ia menyeka sudut mata, Adrian terlihat di ambang pintu masuk, tidak bergerak, hanya mengamati Ibu Siti berpura-pura lembut dengan wajah ketus "Sudah selesai dramanya? Istrimu di kamar macam anak kecil. Kamu harus ajari dia bersikap..." "Kami akan pindah Bu," duduk di meja makan sambil menyuap nasi Rina mendekati kakaknya " Hah? Apa-apaan sih kak, kok pindah?" Ibu Siti menunjuk putranya dengan guratan halus di pelipis "Tidak. Kamu tidak ke mana-mana. Rumah ini milik keluarga. Kamu anak sulung, tanggung jawab kamu di sini." Faten meletakan sendok "Tanggung jawabku adalah menjaga istriku. Dan dia tidak aman di rumah ini." Rina segera mendekati Ibu Siti memegang bahu dan mengoyang-goyang bahu Ibunya "Jadi gara-gara dia, kakak mau ninggalin keluarga? Istri kakak itu cuma lebay. Cengeng banget. Baru disindir sedikit sudah lari. Bukan salah kita dong kalau dia nggak bisa ngasih anak!" Faten berdiri tatapanya datar, mata yang biasanya lembut pada Ibu dan Adik perempuan satu-satunya "Ulangi kalimat terakhirmu dan kita selesai sebagai saudara." Rina terdiam beberapa detik, namun egonya menolak kalah "Aku cuma bilang yang semua orang pikirkan! Apa kakak mau pura-pura Taran nggak mandul!" "CUKUP," Suara Faten meledak membuat Rina terkejut hingga mundur berlindung di belakang Bu Siti Ibu Siti maju menggantikannya Rina suara tinggi dan penuh otoritas, dengan jarinya menunjuk dahi putranya "Taran memang cantik, tapi cantik tanpa mampu memberi keturunan sama saja percuma! Kamu buta oleh cinta! Kamu pikir dunia hanya kalian berdua? Kamu lupa siapa yang membesarkanmu? Siapa yang membayar pendidikanmu sampai kamu jadi dokter?" Faten menutup mata sebentar sembari sedikit tersenyum, dia tahu itu serangan yang sering dipakai ibunya untuk membuatnya merasa bersalah. "Haruskah aku berterima kasih dengan membiarkan istriku dihina setiap hari. Taran adalah wanita yang datang ke rumah ini untuk menjadi istriku, bukan menantu yang sempurna untuk Ibu atau ipar idaman untuk Rina," Ibu Siti mengeluarkan ultimatum terakhir "Kalau kamu pergi, jangan pernah kembali, angap saja Ibumu sudah mati!" Rina yang tau jika dengan 1 kalimat ini kakaknya biasanya akan tunduk dan mengalah menambahi "Dan jangan bawa perempuan itu ke sini lagi. Rumah ini bukan rumah bordirr." Faten merasakan itulah kalimat terakhir yang tak bisa ia Maafkan, ia maju mendekati Rina "Mulai hari ini Taran datang ke rumah ini sebagai istriku, jangan minta dia menjadi menantu sempurna di mata Ibu," Ibu Siti menunjuk pintu dengan tangan gemetar karena marah. "Baik! Silakan pergi! Selama kamu tetap dengan perempuan itu, kamu bukan anakku!" Faten menarik nafas panjang dan rasanya berat, keadaan hening sesa'at "Kalau itu harga yang harus kubayar agar orang yang kucintai tidak di sakiti… aku akan melakukanya." Di ambang pintu, Adrian tetap berdiri diam, tidak mengucap sepatah kata pun, tapi ekspresinya jelas ia mendukung pilihan Faten tanpa perlu ikut campur Faten menaiki anak tangga menuju kamar, begitu mendengar suara langkah Faten, Taran mengangkat wajah matanya sembab, pipinya basah "Ma'af...om...gue...bikin om susah...gue...cuma...cuma..." Taran terbata-bata mencoba menyusun kalimat dengan suara serak, Ke dua tanganya gemetar mengusap pipi Faten langsung berlutut dan memeluk Taran "Kamu tidak bersalah, kamu tidak pernah melakukan kesalahan," Taran menangis makin keras di bahunya, suara sesenggukan memenuhi ruangan "Kalau gue bisa hamil… kalau gue bisa kasih om anak… mungkin mereka tidak akan benci sama om…" Faten segera mengangkat wajah istrinya dan menggeleng pelan "Lihat aku," Taran berusaha menatap, walau pandangannya kabur oleh air mata "Ada anak atau tidak… kamu adalah istriku. Kamu adalah kesayanganku. Aku membawa kamu ke duniaku. Bukan karena kamu bisa memberi sesuatu, tapi karena kamu adalah kamu." Faten berdiri dan membuka lemari, mulai mengambil koper. Dengan satu tangan ia menarik pakaian, dengan tangan lain ia tetap menggenggam tangan Taran ​
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD