11. Mimpi Buruk — Nightmare

1697 Words
"Hal yang paling mengerikan buatku adalah tidur. Di mana aku sama sekali tidak punya kuasa atas tubuh dan pikiran alam bawah sadarku. Aku kira aku paling kuat karena bisa mengendalikan segala hal. Tapi dalam mimpi ... aku hanya bayi lemah yang terus merengek saat terlelap. Aku benci malam. Aku benci tidur." ZEKRION A. LAITH ⠀ 2009 — Rion Memory ⠀ "Kanaya ... aku pulang .... Cinta .... Kamu di mana?" Binar mata Rion berpendar ceria menatap ruang tamu yang sunyi. Senyumnya merekah bahagia mencari sosok yang teramat ia sayang. Bertemu lagi dengan istri terkasihnya setelah sekian lama memendam rindu. Rasanya sungguh tak tertahankan. Kejutan ini pasti akan membuat Kanayanya terharu. Ia menyeret kopernya dengan satu tangan, sementara tangan yang lain mendekap buket bunga. Tersenyum, ia menaiki tangga menuju lantai atas. Jadwal pelatihan yang seharusnya 6 bulan, dimajukan dua hari. Jadi Rion bisa pulang lebih cepat. Ia sengaja tidak mengabari Kanaya karena ia sudah membawa kejutan romantis buat wanita kesayangannya itu. "Kanaya, Cinta ...." Rion membuka pintu kamar. Ia tersenyum lagi saat mendengar bunyi kucuran shower dari dalam kamar mandi. Sepertinya Kanaya sedang berendam di bathtub. Rion juga mendengar suara musik klasik Für Elise/ For Elise - Ludwig van Beethoven di dalam sana. Kebiasaan wanita itu! Kanaya suka sekali memutar lagu itu di ponselnya. Bakalan lama, nih, pikir Rion. Rion menaruh kopernya di dekat lemari dan buket bunga di atas meja rias. Nanti saja ia membongkar pakaiannya. Namun ia mengeluarkan kotak kayu berbentuk peti harta karun berukir, seukuran 25 cm x 20 cm x 15 cm dari dalam koper. Menaruhnya di samping buket tadi sambil tersenyum puas. Ia yakin bahwa Kanaya akan melompat-lompat gembira kalau melihat apa yang ia bawa. Wanita itu sangat menyukai benda ini, apalagi bentuknya yang unik bisa menjadi tambahan koleksi wanita itu. Rion menunggu sambil membaringkan tubuhnya yang penat setelah perjalanan panjang di ranjang. Ia melirik pintu kamar mandi. Lebih baik ia tidur sejenak. Kanaya paling tidak suka kalau diganggu ritualnya saat mandi. Mungkin setengah jam lagi wanita itu akan keluar. Ia memejamkan mata. ⠀ Detik, menit, jam. Rion tersentak saat mendengar dering ponselnya. Masih memejamkan mata, ia mengangkat telepon itu. "Bro, loe udah nyampe?" Sepupunya, Mosen, menyapa dari seberang. "Ya." "Gue mampir ke sono, ya." "Loe di mana?" "Hampir nyampe rumah loe." "Okay," sahut Rion lagi. Percakapan singkat sangat khas mereka berdua. Sebelumnya mereka memang sudah janjian untuk bertemu setelah Rion pulang pelatihan. Rion mengusap matanya, menatap langit-langit kamar, lalu ke arah jam dinding. Sudah pukul 8 malam. Delapan malam ...???! Rion tercengang. Bisa-bisanya dia ketiduran berjam-jam. Kanaya juga tidak membangunkannya! Ck. Mungkin wanita itu kasihan melihat Rion terkapar kelelahan. Hah! Gagal sudah kejutannya! Tapi ... tunggu dulu!!! Kenapa tirai kamar belum ditutup? Suara shower di kamar mandi juga belum mati. Jantung Rion mulai berdentam tidak karuan. Ia melompat ke arah kamar mandi. Genangan air merembes dari sela-sela pintu ke dalam kamar semakin membuatnya bertambah gelisah. "Naya ... sayang, kamu masih di dalam?" Rion mengayun handle pintu. Terkunci. Apa istrinya pingsan di kamar mandi? Ya Tuhan! Tanpa pikir panjang Rion langsung mendobrak pintu beberapa kali. Begitu pintu rubuh, Rion menatap nanar pemandangan mengerikan di dalam sana. Shower masih menyala, tapi Kanaya tidak menggunakan kucuran shower itu. Bunga mungil berwarna merah dengan bagian tengah keorangean tersebar di seluruh penjuru ruangan. Sejak kapan Kanaya suka bunga ini? Biasanya wanita itu selalu menghidupkan lilin aroma terapi bunga tanjang. Bukan bunga yang tidak ia kenal ini. Noda merah apa itu yang berceceran di lantai? Dada Rion semakin berkecamuk seiring langkah cepatnya menuju bathtub. Semoga bayangan buruk di pikirannya tidak benar-benar terjadi. Ia menyingkap tirai. Tidak! Air mata mengalir deras di pipinya. Tidak! Tidak mungkin. Ini pasti mampi. "Kanaya ...," ucap Rion terbata. Ia mengangkat tubuh yang terbenam di dalam bathtub. Air di dalamnya sudah sepenuhnya kental memerah. Bau amis darah. Tolong ... jangan bilang ini darah Kanayanya. Rion tersedu. "Naya! Bangun, sayang ...," Rion terisak. Ia mengusap wajah Kanaya yang digenangi darah. Merasakan tidak ada lagi hembusan napas di sana. Rion mengangkat tubuh istrinya yang mungil dari dalam bathtub dan menaruhnya ke lantai kamar mandi yang dingin. Ia menelan ludah sambil menekan-nekan d**a Kanaya. Berharap bisa membuat wanita itu bernapas kembali. Isak Rion berubah menjadi rintihan perih karena mengetahui usahanya pasti sia-sia. Wanita ini sudah memucat. Tampak kehabisan darah. Rion memberi napas buatan. Tapi tidak ada keajaiban yang terjadi. "Kanaya ... banguuunnn ...!!! Sayang, aku pulang ...," rintihnya pilu. Ia mendekap tubuh Kanaya yang telah kaku dan dingin. "Kanaya apa yang terjadi? Cinta? Kanapa jadi begini ...?" Air matanya mengalir deras. Pikirannya berkelana. Bukankah mereka masih baik-baik saja saat teleponan beberapa waktu lalu? Apa yang terjadi sebenarnya? "Kenapa, Kanaya ....?" "Sayang ... Kanaya .... Bangunlah. Aku mohon ...." "Kenapa jadi begini?" "Apa salahku?" "Kanaya ... aku mohon. Kamu menghancurkan hatiku. Kamu tahu, cinta?" "Sayang .... Ini mimpi, 'kan? Kamu bercanda, 'kan? Bangunlah. Aku mohon. Aku pulang, Kanaya. Aku di sini. Buka matamu!" "KANAYAAAA ....!!! BANGUUUN ...!!! JANGAN TINGGALKAN AKU ....!" "KANAYAAAAA ...!!!" "Aku mohon .... Bangun, sayang ...." ⠀ 2018 Penthouse — ZALcorp Building ⠀ "KANAYAAAAA ...!!!" Rion tersentak. Tangannya menggapai-gapai udara. Ia menoleh cepat meraba sesuatu di pangkuannya. Tidak ada siapa-siapa. Hanya ada kehampaan yang berhasil ia raba. Bahunya berguncang hebat dengan butiran embun berderai di pelupuk matanya. Rion meraung, merenggut rambutnya. Merasakan kemarahan menggelegak dalam dirinya. Jantungnya berdentam-dentam, seakan ada singa yang ingin keluar merobek semua musuh-musuhnya. Ia mengusap air mata bercampur keringat di wajahnya. Meninju ranjang, melepaskan emosi dan kemarahan di dadanya. Namun ia tidak puas. Ia tidak akan pernah merasa puas sampai semua dendamnya terbalaskan. Ia menatap marah lukisan di dinding kamar yang gelap. Bias cahaya hanya masuk dari jendela balkon yang lupa ia tutup tirainya. Lukisan wanita tersenyum menatapnya balik. Ia beranjak menuju lukisan itu. Luar biasa murka. Wajah itu seakan menertawakan kesedihannya. Ia menarik kotak kayu dari dalam laci. Kotak hadiah yang ingin ia berikan pada Kanaya. Hadiah yang tidak sempat Kanaya lihat. Rion membuka kotak yang serupa peti harta karun itu. Bunyi alunan piano musik klasik langsung terdengar di sana. Ya, itu adalah kotak musik. Kanayanya sangat suka mengoleksi kotak musik. Rion meraup boneka mini dari laci kecil kotak tadi. Menaruhnya di bagian atas. Boneka mini dengan magnet di kakinya itu berdansa dengan pasangannya. Iris mata cokelat Rion membara. Gara-gara pria iblis itu, ia kehilangan harta paling berharga dalam hidupnya. Maka pria itu juga harus membayarnya kembali dengan semua yang berharga pula baginya. Rion mengusap kasar air mata di pipinya. "Aku berjanji. Aku akan membalas dendam untukmu, Kanaya. Dendam kita. Aku akan menghancurkannya. Menghukum mereka semua. Aku tidak akan pernah berhenti. Tidak akan! Sampai semuanya tercapai. Adam Reyes harus merasakan sakit seperti yang aku rasakan!" Kembali matanya menatap tajam ke arah lukisan. Mendengus benci. "Ceisya Reyes, aku berjanji akan membuat hidupmu berakhir menyedihkan. Selamanya kamu tidak akan pernah bisa tersenyum lagi!" ⠀ Davies Living Park Hotel ⠀ Ceisya mengerang merasakan tangan-tangan yang mengguncang tubuhnya. Barusan ia merasakan tubuhnya seakan tenggelam dalam genangan darah. Lalu ada sosok besar yang merangkulnya. Menekan-nekan dadanya. Berteriak padanya dengan suara penuh kesedihan dan putus asa. Air mata Ceisya berderai, ia tidak sanggup mendengar ratapan pilu itu. "Bangun! Bangunlah, sayang! Aku mohon ...." Namun, pemandangan itu berganti. Sosok asing itu tiba-tiba mencekik lehernya. Menggeram marah. Ceisya tersedak memukul-mukul lengan kuat yang berusaha menutup jalur napasnya. "Time to pay!" ucap pria itu dingin. Ceisya menendang-nendang. Merasakan napasnya seakan segera berhenti. Air matanya berderai. Ingin sekali ia berteriak minta tolong, tapi ia bahkan tidak bisa bersuara. Ia terbatuk. Kenapa sosok berhati lembut tadi tiba-tiba berubah jahat padanya? Tadi seakan pria itu teramat mencintainya. Lalu mengapa berganti menyerang dan mencekiknya tanpa aba-aba? Tolong jangan begitu. Tolong lepaskan aku. Ia merasa dadanya seolah ditekan kuat berkali-kali. Sesak. Kenapa sangat sesak? Tolong .... ⠀ "CEISYAAAAAA ...!!!" ⠀ Ceisya tersentak. Ia membuka matanya, mengejap karena cahaya yang begitu silau menyerang netranya. Tubuhnya gemetar, ia rasa menggigil. Napasnya masih begitu sesak. Ia terbatuk, menghirup udara sebanyak mungkin. Lalu menatap nanar wajah-wajah panik yang mengelilinginya. Ketiga teman sekamarnya tampak berurai air mata. "A-apa yang terjadi?" ucap Ceisya lirih. Lica dan Aqila langsung menghambur memeluk Ceisya. Sementara itu Tera terduduk menghembuskan napas lega. Ternyata sejak tadi wanita itu berjongkok di sisi ranjangnya. "Gue takut banget, Ceis ...," Ratap Lica dengan linangan air mata. "Gue kira kita bakalan kehilangan loe." "Jangan gitu lagi ya, Ceis. Loe nakutin kita ...." Aqila ikut meratap pilu. "Kalian kenapa? Tadi gue mimpi, ya?" Qila melepas pelukannya. "Awalnya loe mimpi buruk. Mengerang, menangis. Terus gue bangunin. Tapi loe nggak bangun-bangun. Terus loe kesedak gitu, kelojotan nggak jelas. Lica sama Tera juga ikut bangunin loe. Tiba-tiba loe berhenti napas, Ceis ...." Qila terisak memeluk lututnya. "Bener-bener nggak ada napas sama sekali ...." "Untung ada Tera yang terus nekan-nekan d**a loe. Kalau gue ... pasti udah langsung panik," sambung Lica histeris. Ia mengusap butiran bening yang masih terus mengalir di pipinya. Ceisya tercengang. Sampai sebegitunya? "Loe mimpi apa sampai kayak gitu banget, huh?" tanya Tera bingung. Ceisya menggeleng. "Gue sering mimpi buruk waktu gue kecil. Gue selalu mimpi yang sama. Cuma, setelah SMP, mimpi itu mulai berkurang. Dan bisa dibilang hilang." "Mimpi tentang?" tanya Qila yang mulai tenang. Menerima tissue yang disodorkan Tera. Ceisya menceritakan mimpinya barusan. "Dulu, gue cuma mimpi sampai sosok itu menangis, minta gue bangun. Tapi tadi beda. Sosok itu malah mencekik gue. Beda banget dibanding sebelumnya." Ceisya terdiam sejenak. "Gue cuma ingat, dia bilang 'time to pay', gitu." Teman-temannya saling berpandangan. "Apa mungkin itu karena kita kemarin terlalu banyak ngomongin Dark Knigt itu kali, ya?" tukas Qila berasumsi. "Makanya kebawa sampai alam bawah sadar, loe, Ceis." Ceisya menghembuskan napas. "Mungkin juga." "Kalau gitu kita nggak usah ngomongin itu lagi, deh. Kita anggap aja, dia itu cuma orang gila di live streaming. Nggak usah dipikirin lagi, ya, bebz," Lica mencibir mengusap air matanya. Ceisya merangkul sahabat-sahabatnya. Mereka berempat berpelukan. "Lebih baik kita fokus study tour ini aja, yuk," ujar Tera lembut. Mereka mengangguk bersamaan. "Tidur lagi, ya. Masih jam 3 malam," ujar Qila. "Besok masih harus ikut kegiatan pagi-pagi." "Kalian tidur aja. Gue mau sholat malam dulu," sahut Ceisya. Ia beranjak menuju kamar mandi. Berpikir, lebih baik ia menenangkan diri, bercerita pada Sang Pencipta dalam sholatnya. Cuma Tuhan yang bisa menyelamatkannya dari segala takdir buruk. Cuma Tuhan tempatnya berlindung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD