Bag 3 - Naomi Menerima

1504 Words
"Ada apa, Nak Fandi?" tanya Ibu Temi, ketika melihat Fandi tengah melongo tak percaya, Fandi tak melihat sosok Naomi atau pun bawaan Naomi. "Apa Ibu melihat Naomi?" tanya Fandi. "Oh, Neng Naomi? Di teh sudah pergi daritadi," jawab Ibu Temi. "Apa? Pergi?" sesak menghampiri dadanya, rasanya ingin berteriak. Namun, ia tak mampu, terlalu berat dan terlalu sakit. "Katanya dia bakal balik ke Jakarta dan dia nitip ini untuk kamu." kata Ibu Temi, memberikan amplop berwarna putih pada Fandi. "Baiklah, Ibu permisi, ya." Fandi menatap amplop tersebut dan menitikkan air mata, perkataannya pada Naomi tentang keikhlasannya malah membawa sakit yang luar biasa pada hatinya dan hati Naomi, Fandi kembali melangkah menaiki tangga dan menuju ke kamarnya. Fandi membuka amplop tersebut dan melihat sebuah kertas dan juga sebuah cincin yang Fandi berikan untuk Naomi sebagai janjinya sebelum ia berangkat ke Bandung. *Maafkan aku, aku pergi, jika memang kamu mengikhlaskanku bersama pria lain, aku pun ikhlas melepas segala perjuanganku menunggumu selama 5 tahun ini, jangan berjuang untuk menghalalkanku jika berbicara pun sangat gampang bagimu, di dalam perjalanan menuju kemari, aku selalu berharap, kau akan menyambutku dengan baik dan menikahiku sebagai bukti cintamu, tapi ternyata, semuanya hanya harapan yang nggak terpenuhi, terima kasih atas segala harapan yang kau berikan, aku mengembalikan cincin pemberianmu, kamu pun pasti mengingatnya, bagaimana kamu mengatakan apa pun yang terjadi kamu tidak akan pernah melepaskanku dan memberikan cincin ini sebagai pengikat. Semoga kamu bahagia dan menemukan wanita yang lebih baik dariku. Maaf, karena aku nggak bisa menunggumu, cari saja wanita yang bisa menunggumu mempersiapkan segalanya sampai kamu siap. Selamat tinggal. Wassalam.* Sebagai pria, Fandi sangat malu, menangis terseduh-seduh ketika membaca surat Naomi. Perkataan ikhlas yang membuat Naomi merasa percuma meminta Fandi menikahinya. **** Malam menunjukkan pukul 8, Naomi sampai di rumahnya dan menyeret kopornya masuk kedalam rumahnya, Ibram dan Sinta yang melihat putrinya baru kembali, langsung melempar beberapa pertanyaan. "Kamu darimana? Apa Fandi berusaha menculikmu?" tanya Ibram. "Naomi mau istirahat," kata Naomi. "Jawab dulu pertanyaan Papa, kamu darimana? Jangan seperti anak kecil, Omi, kamu itu sudah dewasa, kenapa kamu kabur dari rumah?" "Biarkan Naomi istirahat dulu, Pa," kata Sinta, mencoba menghentikan pertanyaan suaminya, sedangkan Naomi berusaha diam. "Dia juga baru tiba." "Mama jangan berusaha terus membelanya." Ibram memberi jeda. "Papa yakin, Fandi memintanya kawin lari, karena itu dia membawa kopor," tambahnya. "Bukankah yang terpenting Naomi kembali? Dan, Papa jangan mengatakan hal jelek itu tentang Fandi, Fandi nggak pernah mengajak Naomi kawin lari, malah Naomi yang memaksanya menikahi Naomi meski tanpa restu Papa dan Mama, tapi Fandi malah memikirkan Mama dan Papa, Fandi mengikhlaskan Naomi demi Papa dan Mama. Karena itu, Naomi kembali meski berusaha kabur," kata Naomi. "Kemana harga dirimu? Meminta laki-laki menikahimu? Apa kamu sudah kehilangan harga diri, Ami?" bentak Ibram, membuat Naomi sudah terbiasa dengan bentakkan sang Papa, semenjak Naomi menentang perjodohan itu, sang Papa selalu saja membentaknya dengan alasan Naomi terlalu keras hati. "Naomi sudah kehilangan harga diri semenjak Papa menjodohkan Naomi dengan pria yang nggak Naomi cintai," sindir Naomi, lalu berlari menuju ke kamarnya, meninggalkan kopor yang sejak tadi menemaninya di depan sang Mama dan Papa. "Kenapa anak itu sangat susah di atur? Kita memberikan jodoh yang terbaik untuknya. Namun, dia menolak demi lelaki seperti Fandi," kata Ibram, kesal. "Menurut Mama, Fandi juga lelaki terbaik, Pa," kata Sinta. "Terbaik darimana? Yang hanya berjuang dan tak memberikan bukti? Lelaki yang berjuang akan tetap kalah dengan lelaki yang berani maju," kata Ibram, membuat Sinta menunduk. "Dan, Mama jangan berusaha membela Naomi dan memuji Fandi di depan Papa," sambung Ibram. "Mama hanya kasihan sama putri kita, Pa." "Kasihan pada diri kita juga, Ma, jika bukan Hartono, kita akan tinggal di jalanan," kata Ibram. "Tapi, sikap Papa ini, seperti menjual Naomi pada keluarga Hartono!" tekan Sinta. "Papa tidak pernah berniat menjual Naomi pada keluarga Hartono, Ma. Papa hanya menjodohkannya karena Papa tahu, sebaik apa keluarga itu," tepis Ibram, membuat sang istri menggeleng. "Ya sudah, kita tidak usah membahasnya lagi, Mama mau istirahat. Mama sudah tenang, karena Naomi sudah kembali," kata Sinta, berjalan meninggalkan suaminya. **** Esok paginya, Naomi masih di kamarnya, ia enggan beranjak dari ranjangnya dan masih bergulat dengan selimut peach kesayangannya, ia mengabaikan beberapa kali panggilan Bi Ayen untuk sarapan. Naomi tak memiliki tenaga sama sekali, semenjak pulang dari Bandung, yang ia kerjakan setiap waktu hanya lah menangis, terlalu banyak kenangan yang di sematkan Fandi pada dirinya sehingga mengingatnya pun begitu menyakitkan. Suara ketukan pintu kamar membuat Naomi memejamkan matanya, berpura-pura tidur. "Pagi, Naomi Cantika," sapa Weni, sahabatnya, Weni lalu menyibakkan tirai agar cahaya bisa masuk, sahabatnya itu malas-malassan di hari sibuk seperti ini. "Lo, Wen?" Naomi bangun dari pembaringannya dan bersandar di kepala ranjang, kepalanya begitu sakit karena harus menangis. "Apaan, sih? Lo nggak ke rumah sakit?" tanya Weni. "Kita itu sedang coass, gimana jika kita tidak mendapatkan gelar dokter hanya karena lo malesan kayak gini?” tambahnya. "Nggak, lagian gue juga udah mau nikah," jawab Naomi, enteng. "Jadi maksud lo, kalau lo udah nikah percuma buat kerja, gitu?" "Gue benar, 'kan?" "Lo salah, Naomi, lo nggak harus berpikiran kayak gitu, pernikahan bukan segalanya loh, yang bisa menghentikan mimpi lo menjadi seorang dokter. Kan, sayang banget kalau lo berhenti di saat masa coass lo bentar lagi selesei," kata Weni mengingatkan. "Ngapain lo bawa sarapan di kamar?" Naomi mengalihkan pembahasan tentang rumah sakit, Naomi belum sepenuhnya semangat untuk membahas pelajaran. "Nyokap bokap lo khawatir, mereka pikir lo itu bunuh diri di kamar, jadi gue bawa sarapan ini ke kamar, supaya kedua orang tua lo bisa tenang," jawab Weni. "Gue nggak sebodoh itu untuk bunuh diri," tepis Naomi. "Lagian, ya, jam segini lo baru bangun, anak gadis nggak baik loh bangun jam segini, rejeki dan jodohnya jauh kata orang mah, tapi karena lo bakal nikah jadi rejeki lo aja yang jauh," sindir Weni. "Semalam Fandi nelpon gue," tambah Weni, membuat ekspresi di wajah Naomi berubah sedih mendengar nama pria yang ia cintai. Namun, tak bisa ia miliki. "Gue nggak kepengen denger nama dia lagi, gue udah putusin buat ngelupain dia, karena dia pun ikhlas ngelepasin gue buat pria lain, apa yang harus gue pertahanin pada pria yang berjuang setengah-setengah? Gue ke Bandung, demi dia dan demi kelangsungan kita berdua. Namun, jawabannya beda," kata Naomi, menjelaskan, Weni tersenyum karena sebelum Naomi cerita, Fandi sudah menceritakannya terlebih dahulu pada Weni tentang apa yang terjadi. "Gue terlalu banyak menyimpan harapan pada dia, sedangkan dia hanya memberikan harapan yang kosong," sambung Naomi. "Gue, sih, bisa pastiin, ya, kalau Fandi itu hampir gila lo tinggal kemarin tanpa kata, dia hampir gila pas nelpon gue, gue sih kasihan sama dia, tapi yang ngejalanin, kan, kalian berdua, gue nggak bisa bantu apa-apa jika kalian berdua udah mutusin." "Gue emang udah mutusin buat ngelupain dia. Gue udah ngelupain harga diri gue nyusul dia ke Bandung, tapi harapan gue sia-sia aja," kata Naomi, penuh kekecewaaan di nada bicaranya. "Lo mustinya ngerti, Mi, kenapa Fandi kayak gitu." "Udah, gue udah nggak mau ngebahas dia lagi, itu hanya akan mancing air mata gue aja," kata Naomi, membuat Weni mendengkus. Weni menatap sahabatnya. "Terus, lo terima perjodohan ini? Dan, lo siap nikah minggu depan?" "Gue siap. Mau kemana lagi gue? Jika nggak siap? Gue udah nggak punya tujuan lari." jawab Naomi penuh keyakinan, meski hatinya sakit dan tak menerima semua ini. Naomi menyeka air matanya, berusaha memalingkan wajah agar Weni tak sampai menyadarinya. Namun, sebagai sahabat, Weni sangat tahu jiwa sahabatnya ketika sedang bersedih dan tak bisa memikul masalah yang di hadapj Naomi. Weni beranjak dari duduknya dan menghampiri ranjang, Weni duduk di tepian ranjang. "Lo nggak usah pura-pura kuat di depan gue," kata Weni, menarik sahabatnya ke pelukannya. Sesaat kemudian, tangis Naomi memecah hening kamarnya. Weni menepuk punggung Naomi agar bisa kuat menghadapi semuanya, memang tak mudah menjalani pernikahan dengan pria yang tidak kita inginkan. "Yang gue tangisi, gue kecewa banget sama Fandi, gue pikir dia mau memperjuangkan hubungan kami sampai akhir. Namun, ternyata penantian gue selama 4 tanun ini sia-sia. Gue sampai membuang harga diri gue demi menyusul dia, demi mempertahankan hubungan kami." Naomi serak, tangisnya tak bisa di bendung lagi, terlalu sakit dan membuat seluruh tubuhnya tak mampu saling menumpuh. "Gue terlalu bodoh, benar kata Papa, gue bodoh banget, gue terlalu berharap banyak pada Fandi yang hanya berjuang tanpa membuktikan apa pun." Naomi memberi jeda, Weni membiarkan sahabatnya itu curhat. Naomi menyeka air matanya. "Gue jadi merasa bersalah telah mencintai Fandi, meski dia menolak nikahin gue ketika gue minta, setidaknya jangan relain gue buat pria lain, setidaknya ia berjuang dan mendapatkan solusi yang terbaik meski tanpa menikah, alih-alih mencari solusi, dia malah jelas mengatakan bakal ngikhlasin gue. Oh Tuhan... sakit banget." Weni mendengkus. "Gue ngerti banget gimana perasaan lo, lo nangis aja, Mi, gue di sini kok nemenin lo." kata Weni, menepuk pundak sahabatnya. Naomi dikenal sebagai wanita yang periang, ia jarang sekali menangis, jika menangis itu artinya masalah yang tengah ia hadapi begitu berat dan tak bisa ia lalui. Weni sangat paham bagaimana perasaan Naomi saat ini, menikah dengan pria yang tidak di cintainya adalah hal yang tak semua wanita menginginkannya. Apalagi pria yang di cintai dan yang menjadi jodohnya berbeda.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD