Minggu pagi yang cerah. Ryan duduk di depan teras rumahnya dengan secangkir kopi hangat dan biskuit kaleng yang tersaji di sampingnya. Ia menyeruput kopi itu dengan tenang, lalu melihat para petani yang melintas di halaman rumahnya sedang membawa peralatan perbaikan.
Pada saat itu, Bapaknya Ryan tiba di depan pintu, berpapasan langsung dengan Ryan di teras. Ia membawa peralatan di panggulnya – peralatan yang sama dibawa oleh para petani itu.
Ia menoleh ke arah Ryan, lalu tersenyum tipis.
" Ryan..." suaranya pelan.
Ryan tertegun, lalu menoleh cepat.
"Iya, pak..." suaranya lirih.
"Kamu tidak siap-siap ke sawah hari ini?" tanya bapaknya pelan. "Hari ini ada perbaikan irigasi, soalnya ada kendala pada tempat aliran mengairi sawah."
Ryan terdiam sejenak. Ia baru mengingat bahwa hari ini ingin menemui Raini di bantaran sungai. Hatinya kembali bergetar, perasaan bimbang muncul untuk menentukan keputusan – mengikut ayahnya ke sawah atau menemui Raini di sungai. Ryan tidak bisa menolak ajakan bapaknya, namun di sisi lain ia tidak bisa membatalkan pertemuannya dengan Raini.
Ryan menoleh ke arah bapaknya.
"Aku akan menyusul nanti," jawabnya lirih.
Bapak menatapnya lama, seolah diri Ryan ada yang berbeda. Ia tidak sempat menanyakan hal ini lebih lama kepadanya. Ia mengenakan sendal suluh, lalu bergegas berangkat.
"Iya sudah. Nanti kamu temui bapak ya di sawah," suaranya lirih.
Ryan mengangguk pelan.
"Iya, pak," jawabnya pelan.
Beberapa menit kemudian, Ryan beranjak dari teras lalu hendak pergi ke bantaran sungai. Ia berjalan melewati petani sedang memperbaiki traktor.
Ryan tiba di bantaran sungai. Ia belum melihat keberadaan Raini di sekitarnya. Ia duduk di pinggiran sungai, lalu menatap langit cerah. Suara aliran sungai terdengar tenang, membuat suasana semakin tenang. Ryan menghirup udara segar, lalu memikirkan momen-momen kebersamaan dengan Raini.
Tak selang lama, sahutan Raini terdengar.
"Ryan..." suaranya kencang, lalu melambaikan tangan.
Ryan menoleh cepat ke arahnya, lalu tersenyum tipis.
"Raini..." bisiknya lirih.
Raini melangkah cepat ke arah Ryan. Ia duduk bersampingan dengan Ryan, sambil menatap ke depan.
"Maaf. Aku sudah membuatmu menunggu," ucapnya lirih.
Ryan menatap lama ke arahnya, lalu tersenyum tipis.
"Enggak apa-apa. Aku juga baru sampai selang 5 menit darimu," jawabnya pelan, namun tenang.
Raini terdiam sejenak. Hatinya kembali bergetar. Ia ingin mengatakan sesuatu, namun bibirnya kelu.
Ia menatap Ryan lama, lalu berusaha mengatakannya.
"Apa aku boleh cerita sesuatu padamu?" tanyanya lirih.
Ryan menatapnya lama, seakan ia menunggu ceritanya.
"Boleh," jawabnya pelan.
Raini terdiam sejenak. Pikirannya ragu, seakan ia belum siap menceritakannya. Namun hatinya mendorong untuk menceritakan. Perasaan bimbang muncul dalam dirinya.
Ia berusaha memberanikan diri untuk mengatakannya.
"Sebelumnya kamu pernah mengatakan kalau aku membuat dirimu berubah," ucapnya pelan, namun menusuk.
Ryan terdiam. Hatinya bergetar hebat bagaikan di hantam palu. Ia mengingat ucapannya pada saat mengembalikan foto keluarga Raini kemarin.
"Aku ingat ucapanku itu," suaranya lirih. "Entah kenapa diriku tiba-tiba seperti itu? Jujur saja, aku... memiliki perasaan yang begitu dekat denganmu: perasaan suka, takut, dan khawatir yang tercampur aduk dalam diriku."
Raini terdiam. Kata-kata itu menggoncangkan hatinya dengan keras seperti gempa. Ia menatap langit, menggoyangkan kaki hingga melipatkan kedua tangannya di bawah, seakan menyadari bahwa perasaan yang muncul diri Ryan sama yang sekarang ia alami.
"Sebenarnya aku juga memiliki perasaan yang sama seperti dirimu, Ryan," ucapnya lirih.
Ryan tertegun, lalu menoleh cepat ke arahnya. Ia hening, namun mendengar ucapan lirih Raini.
"Sudah lama aku ingin mengatakan hal ini, namun diriku masih bimbang untuk mengatakannya. Aku juga bingung... kenapa memori kita selalu terngiang-ngiang hal yang sama? Kita memang baru saling mengenal, tapi aku sudah terlalu akrab denganmu seperti temanku sendiri.
Ryan membeku. Ucapan itu bagaikan anak panah yang menancap di hatinya. Bibirnya tertutup rapat, pandangan ke arah sungai dengan tatapan kosong. Pikirannya kembali terngiang-ngiang tentang kebersamaan dengan Raini.
Raini menoleh ke arah Ryan. Memperhatikan dirinya sedang termenung. Ia mengalihkan pandangan ke sungai seperti Ryan lakukan. Ia menghela napas panjang, seolah meluapkan rasa yang terganjal dalam dirinya.
Menjelang tengah hari, Ryan tiba di sawah. Ia membawa perlengkapan tani: caping, cangkul, dan karung. Ia bersama dengan petani lainnya mulai menggali tanah hingga beberapa meter dari tempat ia berdiri – pinggir sawah hingga dekat gubuk tengah sawah. Keringat bercucuran, membasahi dirinya di bawah trik matahari.
Ryan istirahat di gubuk bersama petani lainnya. Ia minum segelas air putih, lalu makan bersama. Momen itu terdapat obrolan, canda, dan tawa petani itu. Namun Ryan termenung sambil menatap ke arah depan dengan pandangan kosong.
Bapaknya memperhatikan Ryan. Ia melihat bingung sikap Ryan berbeda. Biasanya Ryan anaknya suka ramah, selalu ikut bincang, berbaur, namun sekarang ia yang lihat sebagai anak pendiam.
Bapaknya mendekati Ryan, lalu duduk bersamanya.
"Kamu kenapa, Nak?" tanyanya lirih, sambil menepuk pundak Ryan pelan.
Ryan tertegun, menoleh cepat.
"Aku enggak apa-apa," jawabnya pelan.
Bapaknya menatapnya lama. Ia melihat sikap Ryan seperti ada yang di sembunyikan darinya.
"Kalau kamu ada masalah... jangan sungkan cerita sama bapak," ucapnya lirih.
Ryan terpaku. Jantungnya kembali terhantam, seakan bapaknya tahu masalahnya yang di alami. Ia tidak bisa mengatakan hal sebenarnya padanya.
Ryan berusaha terlihat tenang, lalu menoleh cepat ke arah bapaknya.
"Aku enggak apa-apa, pak. Hanya masalah PR saja yang belum aku kerjakan," ucapnya pelan, namun batinnya masih takut.
Bapak masih menatap Ryan. Ia tahu, Ryan sedang menutupi kebenaran. Ia tidak ingin menanyakan lebih dalam padanya. Ia menepuk pundak Ryan untuk menenangkan dirinya.
"Iya sudah. Jangan lupa kerjakan PR mu nanti malam," ucapnya lirih.
Ryan mengangguk pelan.
"Iya pak," jawabnya lirih.
Petang tiba, para petani hendak pulang dari sawah. Pada saat itu, Raini melihat Ryan yang sedang berjalan pelan menuju pulang – pakaian yang kotor, berkeringat, membawa alat tani.
Ia putar balik sepedanya, lalu menghampiri Ryan.
"Ryan..." sahutannya.
Ryan tertegun, lalu menoleh cepat ke arah belakang.
"Raini..." bisiknya lirih.
Raini tiba di hadapannya.
"Kamu habis pulang dari sawah?" tanya Raini lirih.
Ryan menunduk sekilas, lalu menatap Raini tersenyum tipis.
"Iya," jawabnya singkat. "Mumpung hari libur, jadi aku bantu bapakku bertani."
Raini terdiam. Ia menatap Ryan lama, namun hatinya kembali berguncang. Tatapannya yang lembut, seakan ia iba melihat Ryan yang bekerja keras.
"Kamu kelihatan lelah karena bertani seharian," ucapnya pelan, namun itu kesan perhatian.
Ryan tertunduk sekilas, lalu tersenyum tipis.
"Aku sudah terbiasa seperti ini. Semenjak dari awal SMP... aku selalu membantu bapakku bertani. Dulu aku sempat tidak dibolehin bertani sama orang tuaku karena aku masih kecil. Tetapi, aku ngeyel ingin membantu orang tuaku bertani hingga saat ini," ucap Ryan lirih.
Raini terdiam sejenak. Matanya berkaca-kaca, seolah ia terharu yang dilakukan Ryan selama ini. Ia merasakan ada perasaan yang timbul darinya – perasaan suka.
Ia menatap Ryan, lalu tersenyum tipis.
"Wah... kamu hebat banget. Kamu masih sekolah bisa membantu orang tua. Aku salut padamu, Ryan," ucapnya lirih, lalu memberikannya jempol.
Apresiasi itu membuat hati Ryan tiba-tiba terhenti bergetar. Ia menatapnya lama, lalu bibirnya terbuka kecil, seakan ingin mengucapkan sesuatu.
Ia mengangguk pelan, lalu tersenyum tipis.
"Terima kasih, Raini." bisiknya lirih.
Raini menatapnya, lalu tersenyum tipis.
"Sama-sama," jawabnya pelan.
Malam tiba yang cerah, Ryan berada di kamarnya. Ia duduk di depan meja belajar sambil bertopang dagu dengan tangannya yang menyatu. Bibir tertutup rapat, lalu memorinya mengingatkan kebersamaan dengan Raini hari ini. Hari ini merupakan momen awal kedekatannya dengan Raini, meskipun ia belum berani memulainya.