Three Cheers

1170 Words
"Emma.. Emma.., sini, Sayang. Makan dulu!" teriak Layvi yang sudah menyiapkan telur mata sapi ditambah kecap kesukaan Emma. "Wah telor ceplok, aku suka, Kak!" pekik gadis bermata coklat cerah itu. Layvi hanya tersenyum menanggapinya. "Cepet habisan makanannya setelah itu kakak anter kamu ke panti!" titah Layvi seraya mencium pucuk kepala Emma, lalu ia pergi membereskan dapur sisa memasak tadi. Layviandi. Pemuda 23 tahun yang memiliki 3 orang adik tiri, saat ini Layvi merupakan mahasiswa disalah satu universitas negara. Biasanya setelah pulang kuliah Layvi akan bekerja part time di tiga tempat mungkin bisa lebih dalam sehari dan ia tidak pernah merasa keberatan. Sebenarnya adik Layvi, Erin sudah cukup dewasa untuk ikut bekerja, tapi Layvi tak ingin Erin membagi pikirannya antara sekolah dan pekerjaan. Ia juga terkadang membawa adik bungsunya itu ke panti dekat rumahnya, agar Emma memiliki banyak kawan disana. sementara Erin dan Erick bisa belajar maksimal. "Gak usah, Kak. Biar Emma di rumah saja! tugas sekolahku udah selesai kok, nanti kalau aku mau berangkat baru Emma aku titipkan ke panti," sahut Erick, yang juga adik Layvi usianya baru 13 tahun. Dan saat ini Erick sudah kelas 1 SMP. Layvi hanya mengangguk, karena Erick memang bersekolah disiang hari. Jadi gak akan masalah untuknya meninggalkan Emma dengan Erick. "Kalau gitu kakak pergi dulu,ya," balas Layvi sambil menyodorkan tangannya untuk dicium kedua adiknya itu. Layvi berangkat ke tempatnya menimba ilmu dengan menggunakan vespa tua peninggalan almarhum pamannya. Ayah Layvi.., almarhum Rusdi telah meninggal 6 tahun yang lalu. Disusul dengan kepergian Wiwid, ibu tirinya setelah melahirkan Emma. Sementara ibu kandung Layvi sudah lebih dulu pergi selamanya sejak usianya 12 tahun. setelahnya, Layvi dan adik-adiknya harus menumpang di rumah pamannya adik dari ayahnya. Tapi sayang pamannya itu juga meninggal 3 bulan setelah mereka menumpang. Banyak para warga yang berguncing soal Emma yang dianggap pembawa maut. Konyol memang! Bukankah setiap manusia tahu jika hidup dan mati telah diatur oleh yang maha kuasa, tetapi terkadang masih banyak juga ucapan nakal dari orang lain. Seolah mereka tahu penentu kehidupan seseorang. Tapi Layvi tidak ingin peduli, ia memutuskan untuk membawa adik-adiknya pergi dari rumah pamannya dan mulai hidup mandiri dengan hasil jerih payahnya sendiri. Layvi bisa sedikit bernafas lega karena soal biaya kuliahnya ia tidak perlu dipusing,'kan karena Layvi masuk menggunakan jalur beasiswa. Ia hanya cukup belajar giat untuk mempertahankan beasiswanya. *** “Kak Erick.., pensil warna Emma patah!" adu Emma. Erick hanya memandangi pensil yang sudah mengecil dan yang pastinya akan sulit untuk digunakan. “Ya sudah biar kakak beli yang baru,ya," ucap Erick pengertian. “Boleh sekalian beliin Emma es gak, Kak?" tawar Emma malu-malu gadis itu tersenyum dengan menampilkan gigi ginsulnya yang membuatnya terlihat semakin manis. Erick hanya menggeleng-gelengkan kepalanya atas tingkah polos adiknya. “Ya sudah, yuk!” ajak Erick. Sebelum ke toko ATK Erick lebih dulu membelikan Emma es kesukaannya. “Yuk kita ke toko ATK," ucap Erick seraya menyodorkan tangannya. Emma menggeleng karena ia tengah asik menjilati es. “Ya sudah Kakak saja yang kesana, tapi kamu jangan kemana-mana!" titah Erick, karena toko ATK tidak jauh dari sana. “Duuh.., panas banget,sih. Mana haus lagi!” runtuk Yesha dari dalam mobil. Ia langsung memarkirkan mobilnya saat melihat toko klontong pinggir jalan. “Beli minum, Pak!” teriaknya karena tak ada satu orang pun penjaga yang terlihat. Emma terus memperhatikan Yesha seksama entah mengapa anak kecil itu langsung menyukai Yesha yang dinilainya sangat cantik. Bibirnya mungilnya tersenyum, tatapannya membuat Yesha jadi kikuk sendiri. “Kenapa lihat-lihat?!” ketusnya. Ia memang orang yang sulit untuk bersosialisasi dengan orang lain. Tidak heran diusianya yang menginjak 26 tahun, Yesha baru sekali berpacaran. “Tante cantik!” jujur Emma. Yesha hanya mencibik tak suka. Tante katanya "Aku masih muda!" tegas Yesha, mendengar balasan Yesha membuat Emma takut, mata gadis itu berkaca-kaca. "Duh.., kenapa nih anak?" gumam Yesha, ia melihat sekelilingnya, "Mana mamanya?" tambahnya. "Dek.., mana mama kamu?" tanya Yesha saat tak menemui satu pun orang di sana. "Mama? aku gak punya mama, Kak. Mama aku pergi setelah melahirkan aku," sahut Emma semakin sedih. Spontan Yesha berjongkok menyamai tinggi Emma. Ia membelai kepala Emma sayang. Tiba-tiba saja hatinya begitu merasakan kegundahan hati yang Emma rasakan sekarang. "Udah gak usah nangis. Kita beli es krim yuk!" ajak Yesha bersamaan datangnya penjaga warung. "Pak, saya beli air mineral sekalian es krimnya." Yesha sudah memilihkan Emma es krim meski gadis itu belum bilang mau. Setelahnya Yesha pamit ke Emma. Karena ia harus cepat kembali ke kantor "Dek, tadi siapa yang ngobrol sama kamu?!" tanya Erick yang baru kembali. tadi toko ATK memang sedang ramai pengunjung. "Gak tahu, Kak. Terus Emma juga dibeliin ini!" sahut Emma menunjukkan es krim di tangannya. Meski bingung tapi Erick memutuskan langsung mengajak Emma pulang. *** "Lo kemana aja, sih, pacar lo tuh tungguin!" sarkas Arletta sahabat sekaligus sekertaris pribadi Yesha. "Pacar gue siapa?!" tanya Yesha seraya menyeritkan alisnya bingung. "Siapa lagi kalau bukan tuan Barry yang terhormat," jawab Arletta seraya terkekeh geli. Karena sungguh seorang Barry sangat ingin dirinya diagungkan orang lain. "Diiih.., mimpi kali!" sahut Yesha kesal. Yesha memilih ke pantry, ia tak langsung ke ruangannya. Rasanya begitu malas bertemu dengan lelaki itu. Baginya lebih baik mengobrol dengan para OB dikantor daripada mendengarkan Barry bercuap-cuap tentang semua kekayaan yang ia miliki. *** Setelah selesai kuliah Layvi langsung berangkat ke tempat les. Ia memang menjadi pengajar cabutan untuk beberapa murid SD. Salah satu pekerjaan part time yang ia gandrungi. "Kak Layvi.., aku boleh tanya gak ?" ucap Kyra malu-malu. "Iyah boleh. Tanya saja, Sayang," sahut Layvi lembut seraya membelai rambut Kyra. "Kak Layvi kok pinter banget sih? aku gak bisa sepinter kakak atau sepinter oppa aku," balas gadis kecil itu. Layvi hanya tersenyum masih terus membelai kepala Kyra. "Kamu gak usah minder gitu. Kyra juga bisa kok jadi pinter asal mau tekun belajar. Lagi Kyra bisa minta diajarin sama Oppa Kyra di rumah!" nasihatnya ke Kyra, lelaki itu langsung teringat dengan Emma adiknya. "Tapi Oppa udah gak tinggal sama aku lagi, Kak," balas Kyra. Bibirnya spontan cemberut. "Ya sudah.., gimana kalau kapan-kapan Kyra belajar di rumah kakak. Sekalian Kyra bisa main sama Emma, adik kakak." "Mau kak.. Kyra mau Hore!" pekik Kyra kegirangan. Layvi langsung mencubit gemas pipi Kyra. Setelahnya Layvi kembali pergi, ia tidak bisa berlama-lama ditempat les meskipun ia sangat ingin. Karena Layvi yang memang menyukai anak-anak. Untuk pekerjaan kedua ia memilih pekerjaan yang membuat siapapun yang melihatnya akan tersenyum bahagia. Layvi memang sengaja memilih pekerjaan itu, karena selain mendapatkan gaji ia merasa bisa terhibur hanya dengan mendengar gelak tawa dari para pengunjung. Yah.., Layvi memilih menjadi badut disebuah restoran cepat saji. Tugasnya membagikan balon di tangan. Tapi hati dan pikirannya kadang masih terus diperas untuk memikirkan kehidupan keluarga selanjutnya. Karena meski tiga pekerjaan ia lakoni tiap hari, tapi Layvi masih sering kekurangan uang dan ia tak ingin sampai adik-adiknya tahu hal itu. Malam hari lelaki itu masih belum mau berisitrahat, kebetulan ia memiliki kawan yang bekerja di pusat service ac, saat orderan sedang penuh maka Layvi akan dipanggil untuk membantunya dan beruntung Layvi memiliki pengalaman yang banyak, jika soal membersihkan AC ia pasti bisa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD