Bab 3

2270 Words
Cahaya yang masuk membangunkan Nila dari tidurnya. Membuka matanya yang terasa berat, Nila juga mulai merasakan tubuhnya yang terasa remuk. Ternyata ia tertidur di lantai. Mungkin karena kelelahan menangis semalam, menyebabkannya ketiduran dengan mata membengkak kini. Melirik jam di atas nakas, Nila menghela nafas. Ia benar-benar malas untuk berangkat kuliah saat ini. Bagaimana ia bisa kuliah jika pikirannya terus melayang kepada sang ibu. Lagi pula, untuk apa ia masih masuk kuliah. Bukankah ia sudah pasti akan dikeluarkan dari kampusnya karena tak bisa membayar biaya kuliah. Walaupun sangat disayangkan karena sebentar lagi dirinya wisuda. Beberapa saat kemudian, Nila memutuskan untuk bangkit berdiri. Berjalan ke arah kamar mandi. Dia akan berangkat kuliah. Tidak ada yang tahu jika dia mungkin bisa menemukan orang yang mau membantunya. Setidaknya bercerita kepada Leny dan berharap gadis itu dapat membantunya. *** "Apa?!" teriak Leny saat mendengar ucapan Nila. Saat ini mereka tengah berada di kantin kampus. Menikmati semangkok soto dengan teh hangat. "Tiga ratus juta? Banyak amat, Nil." lanjut Leny lagi masih tak percaya. Bagaimana bisa Nila mengatakan ingin meminjam uang darinya dengan nominal sebesar itu. Uang dari mana dia? "Iya, Len. Kamu punya nggak? Aku butuh banget ni," ujar Nila memohon. "Mana punya Aku uang sebanyak itu, Nil. Lima ratus ribu aja Aku nggak punya." kata Leny. Menghancurkan harapan Nila. "Emang mau buat apasih uangnya, Nil?" tanya Leny penasaran, pasalnya Nila belum memberitahu untuk apa uang itu. Nila menghela nafas lelah. "Untuk operasi Ibuku, salah satu ginjalnya bermasalah dan harus melakukan transplatasi ginjal kalau ingin Ibuku tetap hidup. Aku bingung, Len ..." ujarnya frustasi. Leny langsung menutup mulutnya tak percaya mendengar itu. "Ya, Tuhan." hanya kata itu yang dapat keluar dari mulutnya. Sebelum kemudian dia dapat mengendalikan rasa terkejutnya. "Tapi, aku benar-benar nggak punya uang sebanyak itu, Nil. Maafin aku yang nggak bisa bantu kamu," ujarnya merasa bersalah. Mendengar itu, Nila mengangguk paham. Sedari awal harusnya dia tahu jawabannya. Leny jelas bukan anak orang kaya. "Iya, maaf ya sudah merepotkan kamu," ujarnya kecewa. Entah kecewa pada siapa, pada harapannya atau pada dirinya sendiri. "Nil, Lo tadi dipanggil Pak Rois. Disuruh ke ruangannya," Nila dan Leny kompak menoleh. Di sana seorang mahasiswi yang sama sepertinya, hanya mahasiswi beasiswa berdiri. "Iya, makasih ya," jawab Nila yang diangguki oleh gadis itu yang kemudian berlalu pergi. "Pak Rois cari kamu, Nil?" Beo Leny sendu. Dia dapat menebak apa yang akan guru pembimbing mereka itu sampaikan pada temannya. Nila hanya mengangkat bahu dengan lemah. Dia tahu pasti guru pembimbingnya itu mencari untuk bertanya mengenai biaya kuliahnya. Tapi, jika memang harus dikeluarkan ia tak masalah. Mau bagaimana lagi. Ia tak mungkin meminta belas kasihan seperti saat beasiswanya dicabut. "Ya udah, aku ke ruangannya Pak Rois dulu ya, Len." Nila menepuk pundak Leny, lalu bangkit berdiri. Leny hanya mengangguk kaku. Dia menatap kasihan punggung Nila yang kini berjalan menjauh. Temannya yang malang. Masalah terus nya dengan bertubi-tubi, hingga Leny sadar jika Nila ternyata adalah sosok gadis yang kuat. *** Nila menghela nafas sejenak, sebelum kemudian ia mengetuk pintu di hadapannya. Mendengar suara yang menyuruhnya masuk, Nila dengan segera melangkah masuk. Berdiri di hadapan laki-laki yang berusia sekitar empat puluh tahunan. "Duduk, Nil." ujar lelaki itu setelah sebelumnya sempat menatap kasihan pada mahasiswi di hadapannya kini. Nila mengangguk. Dia duduk dalam diam, menunggu dosennya kembali membuka suara. "Saya hanya ingin memberi tahukan kepada kamu. Bahwa kamu harus segera membayar uang semester kuliah bulan ini. Waktu kamu hanya tinggal besok, jika kamu tidak segera membayar. Maka, maaf. Pihak kampus harus me drop out kamu, Nila." ujar Pak Rois kemudian menggeleng pelan, tak percaya dengan apa yang baru saja disampaikannya. Nila mengangguk paham. "Sepertinya, saya memang harus keluar dari kampus ini. Karena walaupun Bapak kasih saya waktu, nyatanya saya akan tetap tidak bisa membayar." jawab Nila terlihat pasrah. Mendengar penuturan mahasiswinya itu, Rois--dosen gadis itu terperangah. Dia semakin merasa bersalah pada gadis di hadapannya. Tapi mau bagaimana, dia tidak bisa membantu karena ini sudah menjadi kebijakan kampus. "Tidak ada yang ingin Bapak sampaikan lagi, kan? Kalau begitu saya permisi dulu, Pak." Nila bangkit berdiri, saat tak mendapat sahutan dari dosennya yang hanya menatapnya dengan pandangan kasihan. Nila memutuskan untuk segera meninggalkan ruangan itu. *** Drt ... drt ... Tepat saat keluar dari ruangan dosennya, Nila merasakan ponselnya bergetar. Merogoh tasnya ia mengambil benda pipih itu. Mendadak jantungnya berdetak tak karuan saat membaca siapa yang saat ini meneleponnya. Jingga Buru-buru menggeser tombol hijau pada layar, Nila berjalan dengan tergesa ke arah taman. Saat ini ia ingin sendiri dengan kabar yang akan diberikan oleh adiknya. "Hallo, Mbak ..." suara Jingga terdengar tersengal-sengal. "Kenapa Ngga? Bentar lagi Ngga, mbak pasti bawa uangnya." seroboh Nila cepat. "Mbak, hanya sampai besok, Mbak ... Nyawa Ibu udah dalam bahaya ..." ujar Jingga tergugu. Mendengar itu, jantung Nila mencelos. Bagaimana ini? Pada siapa dia harus mencari pinjaman? Bima Ya, dia akan menerima tawaran dari lelaki itu. Biarkan saja dia menjadi p*****r untuk semalam yang terpenting nyawa Ibunya selamat. Iya, hanya lelaki itu yang saat ini bisa membantunya. "Mbak ... Jingga takut, Mbak ..." Suara Jingga menyadarkan Nila dari keterdiamannya. "Kamu tenang ya, besok mbak bakal pulang bawa uangnya. Ibu pasti bakal sembuh. Kamu percaya sama mbak, kan?" tanya Nila menenangkan. "Janji ya, Mbak?" Nila mengangguk, meski dia tahu adiknya tak melihat. Kemudian dirinya mematikan sambungan telepon dan mulai menangis sejadi-jadinya. Bima? Dia harus segera menemui lelaki itu. *** Tok! Tok! Tok! Bima menatap pintu kamarnya yang diketuk dari luar dengan kesal. Sedetik kemudian ia dapat melihat Bik Ira--pembantunya, kini berdiri sopan di depan pintu. Melihat itu, Bima kembali menjatuhkan kepalanya di bantal. "Ada apa, Bik?" tanya Bima malas, dia masih ngantuk dan kenapa pembantunya malah membangunkannya. "Di depan ada yang nyari, Den." ujap Bik Ira dengan sopan. Paling juga Andre, Dimas atau Fano. Huh! Biasanya juga langsung masuk. "Iya, Bik." sahut Bima malas. Mendengar sahutan dari Tuan mudanya, pembantu paruh baya itu kemudian pamit keluar. Dia sudah menyampaikannya pada Tuannya, jadi dia sekarang bisa kembali melanjutkan pekerjaannya. Setelah pembantunya keluar, Bima tak langsung bangun. Ia masih bergelung di dalam selimut. Merasa sudah tak bisa melanjutkan lagi tidurnya, Bima memutuskan untuk bangkit berdiri. Berjalan ke arah kamar mandi untuk mandi. Selesai dengan kegiatan mandinya, Bima memakai pakaian casuel yang sehari-harinya dia pakai untuk berangkat ke kampus. Keluar dari dalam kamarnya, kening Bima mengernyit saat menuruni undakan anak tangga tak dia temukan di bawah sana teman-temannya yang biasanya akan menunggunya di meja makan atau ruang tengah dengan bermain PS. Tak ingin ambil pusing, Bima melangkah keluar dari rumahnya. Bima dibuat terkejut, saat baru saja membuka pintu rumahnya. Dia dapati wajah Nila. Jadi, gadis itu yang mencarinya? "Aku terima tawaran kamu, tapi beri aku uangnya dulu ..." Bima yang mendengar ucapan Nila tersentak kaget. Sebelum kemudian dirinya tersenyum miring. "Jadi, Lo terima tawaran gue?" tanyanya mencemoh. Tanpa ragu Nila mengangguk. Ini adalah jalan satu-satunya untuk keselamatan Ibunya. "Ya, aku terima. Tapi aku butuh uangnya sekarang," ujar Nila kembali terdengar putus asa. Bima menaikan salah satu alisnya mendengar itu. "Lo bakal dapat duit itu setelah kita melakukannya, untuk sekarang gue DP bayarin duit kuliah Lo dulu." ujarnya. Mendengar itu, Nila merasa frustasi. "Aku mohon, uangnya dulu." pinta Nila dengan pandangan memohon. Tapi melihat gelengan kepala Bima, membuat bahu Nila merosot. "Nanti jam sepuluh gue jemput Lo di depan kost Lo," ujar Bima. "Mending, sekarang Lo berangkat kuliah dulu aja. Gue juga mau bali isi tenaga buat nanti malem," ujar Bima berlalu meninggalkan Bima. Dia masuk ke dalam mobilnya yang sudah disiapkan di halaman rumahnya. Nila menatap kepergian mobil Bima dengan pandangan sendu. Nanti malam? Ya, nanti malam dirinya akan ganti berkorban untuk Ibunya. *** Bima mengetuk-ngetuk pelan permukaan meja dengan jari telunjuknya. Saat ini dirinya tengah berada di kantornya. Selain kuliah, Bima sendiri sudah ikut terjun membantu ayahnya mengurus perusahaan. Belajar sebelum benar-benar mengambil alih Perusahaan keluarganya. Pikiran Bima melayang pada kedatangan Nila pagi tadi di rumahnya. Tak dia sangka, wanita itu menerima tawarannya. Ting! Suara dentingan dari ponselnya, menyadarkan Bima dari lamunannya. Dia menatap malas ponselnya yang kini menyala. Tapi, walaupun begitu, dia tetap meraih benda pipih di hadapannya itu. Andre Lo nggak kuliah? Nggak! Andre Kenapa? Bima tak membalas pesan itu. Dia terdiam untuk beberapa saat, sebelum kemudian kembali berkutat dengan ponselnya. Mencari kontak di dalam sana, sebelum kemudian mendialnya. "Hallo, Tuan," suara seseorang terdengar dari seberang sana. "Urus biaya kuliah untuk Ayu Nila Saputri hingga wisudanya," ujar Bima langsung. "Baik, Tuan." Kemudian Bima mematikan sambungan telepon. Dia beralih dengan telepon kantor yang berada di atas meja, mengangkat gagang telepon, Bima mulai memencet beberapa nomor di sana. Terdengar suara sekretarisnya dari seberang sana, yang langsung Bina potong. "Ke ruangan saya sekarang," ucapnya, kemudian langsung meletakan gagang telepon. Selain sudah memiliki ruangan sendiri, Bima juga mendapatkan sekretaris dari ayahnya. Tok! Tok! Tok! Tak butuh waktu lama pintu ruangannya sudah diketuk dari luar, yang Bima yakin adalah sekretarisnya. Bima dengan segera menyuruh sekretarisnya masuk. Membiarkan wanita dengan pakaian yang mencetak jelas bentuk tubuhnya itu berjalan berlenggak lenggok menghampiri mejanya. "Bapak, memanggil saya?" tanya wanita itu dengan suara yang terdengar lembut, menggoda. Tak acuh dengan godaan sekretarisnya, Bima mulai berucap. "Siapkan uang lima ratus juta," ujarnya. Merry--Sekretatis Bima sempat mengernyit bingung. "Tapi, Pak. Uang itu untuk apa? Ayah anda akan marah jika tahu saya--" "Tidak perlu memikirkan tentang itu, yang terpenting siapkan saja uangnya." ujar Bima menatap tajam sekretarisnya. Melihat wajah mengeras Bos-nya, Merry kemudian hanya mampu mengangguk. "Baik, Pak. Saya akan siapkan, tapi tidak bisa saat ini juga. Mungkin nanti malam uangnya baru ada, Pak." Bima mulai berpikir. "Kalau begitu nanti malam kirim ke apartemenku, nanti kukirimkan alamatnya." ujarnya kemudian. Merry mengangguk. Masih berdiri di hadapan Bima terlihat tak berniat beranjak dari sana. "Kamu bisa keluar sekarang," ujar Bima saat mengetahui sekretarisnya masih berdiri di hadapannya. Mendengar itu, wajah Merry terlihat kecewa. Lelaki itu tak menginginkan yang lain. Ah, padahal biasanya-- "Keluar aku bilang," *** Nila lagi-lagi menoleh ke arah jam yang menempel di dinding. Sejak tadi dia tak bisa untuk menghilangkan perasaan gelisahnya. Dia merasa takut dan ragu, tapi Ibunya juga harus segera dioperasi. Ia butuh uang itu, dan dia tidak bisa mundur. Memejamkan matanya, Nila mengambil tas selempangnya. Dia mulai melangkah keluar dari kamar kostnya karena waktu sudah akan menunjukkan pukul sepuluh malam. Mungkin Bima sudah menunggunya. Setelah Nila keluar, dia dapat melihat sebuah mobil Range Rover terparkir di seberang jalan dari kostnya. Dia tergesa-gesa Nila berjalan ke arah sana, masuk tanpa menunggu perintah dari laki-laki di dalam sana. "Lo udah siap?" tanya Bima tanpa menoleh, setelah mendengar pintu mobilnya ditutup. Nila hanya mengangguk mendengar pertanyaan itu. Dia menunduk dalam. Kedua telapak tangannya mengepal di bawah sana, berusaha menahan dirinya agar tak berlari keluar dari dalam mobil ini. Setelah mendapatkan anggukan kepala dari Nila. Bima mulai menjalankan mobilnya menuju ke arah apartemennya. Tak mungkin ia menghabiskan malam dengan Nila di rumahnya. Semua anggota keluarganya ada di rumah. Ia sudah memberikan alasan kepada keluarganya jika tak akan pulang malam ini. "Turun," perintah Bima saat mobilnya telah sampai di basement apartemennya, kemudian dia sendiri turun dari dalam mobilnya. Bima seolah menutup matanya melihat Nila yang dia tahu gemetar, ketakutan. Bukan, kah gadis itu sendiri yang datang padanya? Jadi, kenapa dia harus takut? Nila mengikuti langkah kaki Bima memasuki lobi apartemen laki-laki itu. Mereka kemudian mulai masuk ke dalam lift. Menuju entah lantai berapa Nila tak tahu, karena dirinya hanya dapat menunduk dalam dengan jemari yang saling berkaitan gugup. Bima terus menatap Nila yang kini berdiri di hadapannya dengan kepal menunduk dalam. Kemudian Bima mulai memandang Nila dari atas hingga bawah tubuh wanita itu. Celana jeans dan kemeja berwarna biru pudar, lumayan batinnya. Bima kembali memandang wajah Nila, dia menggeram saat melihat bagaimana paras manis Nila terlihat ketakutan sembari menggigiti bibirnya sendiri. Tak tahukah wanita itu jika hal itu membuatnya--membuatnya tak sabar, sialan! Ting! Pintu lift terbuka, dengan segera Bima menarik pergelangan tangan Nila keluar dari dalam sana. Dia dengan terburu-buru membawa gadis itu menuju unitnya berada. Saat pintu unitnya sudah terbuka, Bima langsung membawa Nila ke dalam kamarnya. "Langsung saja kita mulai," ujar Bima mulai melepaskan kancing kemejanya. Nila memejamkan matanya gugup mendengar itu. Apa ini benar-benar harus dirinya lakukan? Ibu, ya ini untuk Ibunya agar tetap bertahan. Ting tong! Ting tong! Bima mengumpat saat mendengar bel apartemennya berbunyi. Tak peduli dengan tubuhnya yang kini bertelanjang d**a. Dirinya berbalik meninggalkan Nila untuk membuka pintu apartemennya. Saat membuka pintu apartemennya, Bima langsung dihadapkan dengan wajah sekretarisnya, Merry. Ia mendengus saat melihat sekretarisnya itu malah terlihat terperangah dengan tubuh liatnya. Dia kemudian berdehem. "Dimana uangnya?" tanyanya dingin. Merry tersadar dari kekagumannya, saat mendengar pertanyaan dari Bima. Dengan senyum menggoda, dia mengangsurkan tas yang di dalamnya berisi uang yang diminta oleh laki-laki di hadapannya. "Ini, Pak. Lima ratus juta," ujarnya. Bima menerima tas itu. "Kamu boleh pergi sekarang," ujarnya kemudian, bersiap menutup namun urung saat sekretarisnya menahannya. "Eh, Pak, Mungkin ada yang bisa saya bantu lagi?" Merry menahan dengan sebelah tangannya, kemudian bertanya dengan tatapan penuh arti. Bima mendengus. "Tidak," Lalu kali ini dia benar-benar menutup pintu apartemennya. Ceklek! Membuka kembali pintu kamarnya yang di dalamnya kini terdapat seorang gadis yang menunggunya, Bima tersenyum. Dia berjalan mendekat pada Nila yang kini duduk di tepi ranjang dengan kepala menunduk. "Ini uang yang kamu butuhkan, lima ratus juta. Lebih dari yang kamu minta, kan?" tanyanya terkekeh. Nila meremas telapak tangannya mendengar itu. Sebelum kemudian dia rasakan dagunya diangkat, hingga kini dirinya dapat menatap wajah Bima yang menatapnya dengan mata--berkabut. "Kita akan bersenang-senang, malam ini." ujarnya tepat di depan bibir Nila. Nb. Apa yang selanjutnya terjadi? Nggak usah dikasih tahu, dah tahukan ya? Follow ** ? cucokstory untuk informasi cerita menarik lainnya❤️
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD