PART 5 - Tak Cukup Mengenalku

1375 Words
Renata meminum kopinya lalu bersandar ke dinding di belakangnya. Sekarang ia berada di atap gedung kantornya. Menunggu jam makan siang usai dan ia harus kembali bekerja lagi seperti orang gila. Perempuan itu sedikit berteduh ke dinding untuk menghindari sinar matahari. Sedikit terkejut ketika mendengar suara pintu di belakangnya terbuka. Karena hanya beberapa orang saja yang diizinkan masuk ke tempat itu - beberapa orang yang pernah Renata ajak ke sana - satu-satunya tempat di kantor itu yang membuat Renata tenang. "Kerren, kenapa kau bisa di sini?" tanya Renata pada adik sepupunya itu. Kerren tersenyum kecil dan memeluk Renata. "Aku mencarimu. Aku pikir kau di sini dan ternyata benar." Kerren melihat sekitarnya. "Tempat ini tidak berubah ya. Padahal kantor ini berulang kali direnovasi, tapi tempat ini masih sama," kata Kerren. "Karena tak ada yang memperhatikannya, Kerren. Memangnya siapa lagi yang mau berdiri di tempat panas ini selain aku?" Renata bersandar kembali pada dinding dan Kerren pun berdiri di sampingnya. "Setidaknya kau punya tempat sembunyi - sedangkan aku tidak," kata laki-laki itu. Renata menatap adik sepupunya yang masih kelas tiga SMA itu. Kerren mengenakan setelan formal, tak cocok dengan umurnya yang masih muda. Renata langsung tahu kenapa Kerren ada di kantornya siang-siang - bukannya belajar di sekolah. Ayahnya pasti mengajak Kerren menghadari acara politik lagi. Mengenalkan laki-laki yang masih muda itu dengan dunia kotor politik dan semua omong kosongnya. Renata cukup kasihan pada adiknya itu. Meskipun ia sendiri tak ada bedanya. "Jadi, kemana saja ayahmu membawamu hari ini?" tanya Renata. Kerren tersenyum sedih. "Berkunjung ke pasar dengan calon presiden baru. Ayah mengajakku berfoto di samping orang-orang di pasar - bersama ikan-ikan, sayuran yang sudah layu, dan tanah becek pasar itu. Dan sepertinya fotografer yang disewa Ayah sudah tahu harus menonjolkan semua kekotoran itu. Menonjolkan calon presiden yang mau datang ke tempat kotor itu dan membantu orang-orang miskin. Meskipun dia ayahku, tapi kadang aku merasa dia orang yang asing," kata Kerren. "Itu memang bukan pemandangan yang indah," ujar Renata. "Dan kau tahu apa yang paling membuatku kesal?" Kerren membuka jasnya dan menggulung lengannya. "Para penjual di pasar itu sangat senang bertemu mereka. Orang-orang itu terlihat sangat bahagia. Kenapa mereka sangat senang bertemu ayahku dan calon presiden? Padahal ayahku hanya memanfaatkan mereka untuk menarik simpati masyarakat. Mereka bukan orang baik. Benar kan? Ayahku bukan orang baik, kan?" "Entahlah. Orang-orang yang terjun ke dunia itu - semua akan berakhir seperti itu, Kerren. Tak ada kejahatan yang pasti dan tak ada juga kebaikan yang pasti. Ayahmu memang bukan orang baik, tapi aku bisa memastikan kalau dia tak sejahat itu, Kerren.Dan jika dia berubah nanti, aku pasti akan mengingatkannya - setidaknya untukmu," kata Renata sambil menatap Kerren dengan senyum kecil. "Terima kasih. Aku bisa tenang karena kau ada di samping Ayah. Karena hanya kau yang masih sama seperti dulu dan tak berubah," kata Kerren. Berbeda dengan Aalisha dan Phoebe yang tak terlalu dekat dengan Renata, perempuan itu sudah menganggap Kerren sebagai adiknya sendiri. Renata sangat menyayangi Laki-laki yang berbeda dengannya sepuluh tahun itu. Melihatnya sekarang - tampak bingung dan ketakutan, membuat Renata juga ikut sedih. Renata meletakkan gelas kopinya dan duduk di kursi di belakangnya. "Kau tahu, Kerren? Kalau kau benar-benar tak menyukainya, kau tak harus melakukannya. Lakukan apa yang ingin kau lakukan. Maksudku - teruslah melukis, Kerren," kata Renata. Kerren tertawa kecil. "Apa aku benar-benar bisa? Aku adalah anak laki-laki satu-satunya di keluarga kita. Sejak kecil Ayah sudah memberitahuku kalau aku adalah penerusnya. Bahkan kau saja meninggalkan impianmu, apalagi aku, Renata." "Karena itu - cukup aku saja yang terjebak di sini. Kau tak perlu melakukannya. Aku ingin melihatmu hidup sesuai keinginanmu, Kerren." Kerren duduk di samping Renata. "Aku bahkan tak tahu dimana lagi aku bisa melukis," kata Kerren. "Apa ayahmu sudah menemukan studio barumu?" Kerren mengangguk. "Dua minggu lalu - dan dia langsung membuang semua lukisanku - semuanya, tanpa ada yang tersisa," kata Kerren dengan sedih. Renata menyentuh bahu Kerren, berharap bisa memberi laki-laki itu kekuatan. "Kau bisa menyewa studio baru, Kerren. Masih ada banyak cara. Dan banyak yang ingin membeli lukisanmu. Aku bisa membantumu menjualnya," kata Renata. "Ini sudah kelima kalinya, Renata. Aku tak tahu lagi dimana aku harus bersembunyi. Ayah tak lagi memberiku uang dan ia bahkan menyita mobilku. Aku tak memiliki uang untuk menyewa studio lagi," kata Kerren. Renata tersenyum ketika ia terpikir sesuatu. "Oh iya benar. Satu bulan lagi kau akan ulang tahun, kan?" Kerren mengangguk. "Kenapa? Apa yang ingin kau lakukan?" "Tunggu saja. Aku akan memberimu hadiah yang tak akan bisa kau lupakan seumur hidupmu," kata Renata. Kerren menatap kakak sepupunya itu dengan kening berkerut. "Apapun itu, aku harap kau tak membuat masalah lagi, Renata," ucapnya. * * * * * "Maaf menghubungimu mendadak, tapi ibuku ingin kau datang ke pesta ulang tahun nenekku," kata Ben lalu membukakan pintu untuk Renata. Renata merapikan gaun hitamnya. Ben menarik tangan perempuan itu agar melingkar di lengannya dan Renata tak menolak. Mereka sudah berjanji akan menjadi rekan yang baik dan berpegangan tangan adalah batas aman bagi Renata. Selain itu - mungkin Renata akan menolaknya. "Sepertinya aku harus siap dengan kata-kata tajam keluargamu," kata Renata pelan. "Kalau kau tak suka, kau tak harus mendengarnya. Kita bisa memberi salam ke nenek dan langsung naik ke atas. Aku akan menunjukkanmu kamar kita nanti," kata Ben. Ucapan Ben membuat Renata teringat bahwa dua hari lagi, ia akan tinggal di rumah mewah itu. Rumah itu tak sebesar milik keluarga Gelael, tapi entah kenapa lebih terlihat mahal dan modern. Rumah tiga tingkat itu berwarna putih keemasan. Di depannya terdapat kolam renang besar dan taman bunga yang terawat indah. Lebih terlihat seperti hotel bintang lima yang sering Renata lihat di Paris. Hotel kecil modern yang mahal dan eksklusif. Begitu juga dengan orang-orang yang datang ke pesta itu, yang sebagian besar adalah orang-orang terkemuka di negara itu. "Itu nenekku, di arah jarum jam delapan. Yang menggunakan gaun hijau muda. Dia suka wanita yang ramah dan memiliki senyum manis," kata Ben. Renata melirik Ben. "Jadi maksudmu, aku harus tersenyum manis sekarang? Apa untungnya aku menarik perhatian nenekmu?" "Nenekku lebih berkuasa dari ayah dan ibuku. Kau harus tahu kalau orang tuaku tak begitu menyukaimu, Renata. Jadi buatlah nenek menyukaimu," kata Ben. Renata melepaskan tangan Ben. "Tak perlu khawatir denganku, Benedict. Aku tak perlu pelindung. Aku bisa menjaga diriku sendiri di rumahmu nanti." "Renata -" "Dan jangan memaksaku tersenyum jika aku tak menginginkannya. Kau bisa menikah denganku, tapi aku bukanlah milikmu. Aku adalah aku. Dan aku tak ingin diatur-atur," kata Renata. "Aku tak mengaturmu, Renata. Bagaimana bisa kau berpikir begitu?" tanya Ben. Renata ingin membalas perkataan Ben, tapi nenek bergaun hijau muda yang ditunjuk Ben mulai mendekati mereka. Nenek itu tersenyum lebar dan langsung memeluk Renata dengan erat. Membuat Renata tak bisa bernapas karena tubuh besar nenek itu. Renata tak menyangka mendapat sambutan sehangat itu dari nenek Ben. "Nek, berhentilah memeluk Renata. Nenek membuatnya tak bisa bernapas," kata Ben sambil menarik Renata ke pelukannya. "Baiklah, baiklah. Kenapa kau begitu posesif pada Renata? Nenek kan juga ingin berkenalan dengannya." Rosita - wanita tua itu menarik tangan Renata dengan lembut. "Kau cantik sekali, pantas saja Ben selalu bercerita tentangmu," kata wanita itu. Renata menoleh pada Ben. Tak tahu apa yang laki-laki itu ceritakan pada neneknya. Sedangkan Ben membuang muka, seperti menghindari tatapan Renata. "Selamat ulang tahun, Nek. Ini saya membawa hadiah untuk Nenek. Bukan hadiah mahal, tapi saya harap Nenek menyukainya," kata Renata sambil memberikan kotak kecil berisi syal untuk neneknya. Rosita membukanya dan tersenyum lebar. "Cantik sekali. Bagaimana kau tahu Nenek suka warna hijau? Apa Ben memberitahumu?" tanya Rosita. Renata menggeleng. "Tidak, Nek. Saya hanya menggunakan kain terbaik yang ada di studio saya dan kebetulan itu warna hijau," kata Renata. Rosita membuka matanya lebar. "Jadi kau membuatnya sendiri? Oh benar - Ben pernah cerita kalau kau dulu sekolah fashion desain. Pantas saja kau syal ini begitu indah." Rosita menoleh ke belakang ketika seseorang memanggilnya. "Sebentar, Renata. Nenek harus menemui tamu Nenek yang lain sebentar. Terima kasih banyak atas hadiahmu. Nenek sangat menghargainya," kata Rosita lalu meninggalkan Ben dan Renata. Renata melirik kecil Ben. "Jadi apa saja yang kau ceritakan pada nenekmu tentangku?" tanya Renata. "Tak banyak," jawab Ben datar. Renata melihatnya dengan curiga. "Kau tak cukup mengenalku untuk menceritakanku pada nenekmu, Benedict. Kenapa kau melakukannya?" Benedict melewati Renata lebih dulu. "Kau tak mengenalku, bukan berarti aku tak mengenalmu, Renata," ucapnya dengan lirih.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD