“Maaf mbak, mas. Saya nggak mau beli."
Setelan hitam putih yang telah ditentukan oleh pihak kampus untuk pelaksanaan kegiatan ospek, membuat dua orang lelaki dan perempuan dianggap sebagai tim marketing lapangan oleh beberapa orang.
Niat hati ingin mencari sarapan di pinggir jalan seraya membawa tas ransel berukuran cukup besar, keduanya justru dikira hendak menawarkan teh kantong yang terkenal memiliki banyak khasiat serta harga selangit.
“Ini kalau tiba-tiba gue kasih segepok uang, kita bakal dikira host uang kaget gak ya?” celetuk seorang lelaki berpostur tubuh tinggi.
Gadis di sebelahnya menatap malas. Ia menyahut, "Muka lo nggak mencerminkan muka orang banyak uang. Ayo masuk, keburu telat nanti!"
Pelaksanaan Pengenalan Kehidupan Kampus Bagi Mahasiswa Baru. Atau yang lebih akrab dikenal dengan "Ospek", adalah kegiatan tahunan yang diselenggarakan oleh kampus dan wajib diikuti oleh seluruh mahasiswa baru.
Bukan ospek namanya jika tak ada kegiatan perpeloncoan, kesewenang-wenangan para kakak tingkat, bahkan aksi tebar pesona para senior serta kegiatan melelahkan fisik dan mental yang lainnya.
Para mahasiswa baru diperintah untuk mengenakan pakaian hitam putih. Sabuk dari tali rafia berwarna ungu janda. Topi kerucut dari kertas karton dengan hiasan telinga gajah di sisi kanan kirinya. Tak lupa pula kalung bertuliskan nama serta nomor mahasiswa mereka.
Ashafa Kanala, gadis dengan surai hitam kecoklatan dan topi kerucut bewarna emas yang berada di atas kepalanya, tampak fokus menulis nama seseorang di kalung identitas menggunakan spidol berwarna biru. Tak mengindahkan keadaan sekitar yang mulai hening.
“Cepetan dikit, Sha!” ucap Brian, pemuda yang memilih untuk mendudukkan diri di sisi sahabat dekatnya, Asha.
Mimik wajahnya mulai panik tatkala jejeran kakak tingkat masuk ke dalam aula, kemudian berdiri tepat di depan barisan para mahasiswa baru yang saat ini tengah duduk di atas lantai.
“Sabar dong, Bri! Ini juga salah lo!" Bentak Asha memberikan tatapan tajam kepada Brian, yang sontak membuat lelaki itu terdiam dan menunduk agar tidak mendapat perhatian dari senior.
Sebenarnya, ini memang salah Brian karena lupa tak menulis nama serta nomor absennya di kertas yang telah disediakan. Jika sudah begini, orang yang paling direpotkan adalah Asha.
Setelah memberikan kalung nama kembali kepada Sang pemilik, Asha menegakkan tubuhnya ke depan.
Sepasang netra indah itu menangkap 10 orang senior berbalut jas almamater merah maroon, dengan logo universitas di bagian atas saku tengah berdiri sejajar.
Tampan. Adalah kata pertama yang terlintas di benak gadis manis tersebut.
“Selamat datang para mahasiswa baru. Perkenalkan, nama saya Mahesa. Saya adalah senior tahun ketiga Teknik Informatika,” ucap pemuda yang berada di tengah barisan para senior.
Namanya Mahesa, seorang laki-laki yang sedari tadi berhasil menyedot perhatian para mahasiswi baru. Tak terkecuali pula Asha.
Pahatan wajahnya begitu sempurna. Matanya yang kecil namun tajam, kulit putih yang terkesan sangat dingin, serta suara baritonnya membuat semua orang seolah terhipnotis akan kesempurnaan seorang Mahesa.
Apakah dia jelmaan dari pangeran surga yang dihukum untuk hidup di dunia? Jika iya, maka dengan sukarela Asha akan menjadi permaisurinya.
“Selain bertanggung jawab akan jalannya masa ospek selama 3 hari ini, kami juga bertugas untuk memantau kalian sepanjang satu tahun ke depan untuk memastikan bahwa kalian tetap disiplin, mematuhi aturan, dan menghormati senior. Paham?”
Penjelasan dilanjutkan oleh senior lain. Orang-orang biasa memanggil ia Yeremias. Postur tubuhnya terlihat lebih kecil dari Mahesa. Namun justru terlihat dua kali lebih manis dengan kacamata klasik yang bertengger di hidung mancungnya.
“Paham!!” koor seluruh mahasiswa baru.
Kegiatan berikutnya dilanjutkan oleh kakak tingkat tahun kedua. Mulai dari yel-yel, hingga lagu khusus fakultas teknik informatika mereka nyanyikan. Beberapa games atau lebih tepatnya kegiatan mempermalukan diri sendiri pun tak ada yang terlewat.
Sampai tiba waktunya sesi pengenalan profil kampus dan fakultas, terdapat layar yang cukup besar di dalam aula dengan 2 orang senior di depan mereka.
Satu diantara keduanya berperan sebagai narator, sedangkan yang satu lagi bertugas untuk mengoperasikan materi di dalam laptop.
15 menit pertama suasana sangat hening. Para mahasiswa fokus mendengar apa yang dibicarakan oleh narator seakan penuh minat. Padahal hanya masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri, tidak ada yang tertinggal di otak sama sekali.
30 menit berlalu, suasana berubah menjadi membosankan. Asha yang duduk di tengah-tengah para mahasiswa berulang kali menguap. Matanya tak bisa diajak kompromi, sementara otaknya mulai susah untuk mencerna materi yang disampaikan.
“Sha, jangan tidur!” Bisik Brian menggoyang-goyangkan tubuh kecil Asha ketika melihat gadis itu mulai memejamkan mata.
Asha yang merasa tidur singkatnya terganggu, kembali menegakkan tubuhnya ke depan dan menatap sang narator.
Satu hal mengenai Asha yang harus kalian ketahui adalah, saat mengantuk gadis tersebut bisa menjadi seseorang yang tidak bisa mengontrol dirinya sendiri dan berakhir dengan ....
“Itu yang presentasi mending turun, deh. Mau presentasi apa lagi dongeng, sih? Malah bikin ngantuk!” teriak Asha hingga membuat semua pasang mata tertuju padanya.
Sadar bahwa perkataan yang baru saja terlontar benar-benar suatu kesalahan besar, Asha mengutuk perbuatan bodohnya dalam hati. Kenapa harus di saat-saat seperti ini mulutnya mampu mengeluarkan kalimat pedas?
Saat melihat narator tersebut berhenti bicara, Asha kita senior itu akan mendatanginya dan memberinya beberapa wejangan atau bahkan omelan. Atau yang lebih parah lagi, ia akan dibully habis-habisan di aula.
Namun perkiraannya justru meleset jauh. Dengan isak tangis serta air mata yang mengalir deras, mahasiswi tersebut berlari keluar dari aula.
Baiklah. Kini, rasa bersalah yang Asha rasakan semakin membesar.
“Jadi kalian ingin sesuatu yang lebih menyenangkan?” interupsi seseorang yang sejak tadi mengawasi mereka di belakang.
Suara familiar membuat sebagian orang termasuk Asha, dapat mengenali siapa sosok itu dalam waktu singkat. Ia adalah Mahesa.
Lelaki tersebut berjalan ke depan bersama dua orang senior, Banyu dan Yeremias. Kakinya terus melangkah maju, namun matanya tetap memandang Asha dengan tatapan tajam yang bahkan tidak bisa diartikan oleh gadis itu sendiri.
“Baik, saya turuti,” lanjutnya.
Suasana riuh kembali berubah menjadi hening akibat nada bicara Mahesa yang terdengar cukup tenang, namun entah mengapa berhasil membuat atmosfer mencekam semakin kentara.
Apa yang akan direncanakan Mahesa kali ini? Tidak ada satu orang pun yang tau. Mereka masih menganggap pemuda beralis tebal itu sosok malaikat berhati baik nan lembut.
“Lo! Anak cewek yang tadi teriak nggak tau sopan santun, berdiri!” Perintah Mahesa menunjuk Asha yang sudah berkeringat dingin.
Tau bahwa sekarang bukan saatnya untuk mengulur waktu. Asha berdiri. Ia hanya harus mengakui kesalahan dan tidak membuat argumen pembelaan diri, maka semua masalah akan selesai, batinnya.
“Sebutin siapa nama lengkap dan berapa nomor absen lo!"
Sebelum menjawab, wanita yang lebih muda mengambil nafas dalam. Berusaha menenangkan detak jantung yang semakin tak karuan ketika berpuluh pasang mata menatapnya.
Ia menyahut, "Nama saya Ashafa Kanala, nomor mahasiswa 0067."
“Sebutin nama cowok di samping kanan lo,” timpal Mahesa dengan cepat.
“Brian."
Sejenak, Mahesa terdiam. Matanya sibuk menatap satu persatu mahasiswa baru yang menundukkan kepala karena takut. Namun tak lama kemudian, seringai samar yang menyeramkan tercetak di wajah tampannya.
“Sebutkan nama cewek barisan paling depan, pojok sendiri sebelah kanan,” tandas Mahesa hingga membuat kedua iris hitam Asha membulat.
Bagaimana bisa ia mengetahui siapa nama gadis yang duduk di depan itu? Ini bahkan baru hari pertama masa ospek. Belum ada sesi perkenalan antar tingkat sama sekali.
Asha terdiam, bukan hanya dia saja yang terkejut, namun seluruh mahasiswa baru juga ikut melongo tak percaya.
Gadis tersebut menimang-nimang jawaban apa yang harus ia berikan. Mahesa kini sudah menatapnya tajam sembari melipat kedua tangan di d**a, angkuh.
“Kalau lo nggak bisa jawab, temen lo bakal gue hukum.” Lanjut Mahesa menunjuk Brian yang kini meneguk ludahnya kasar.
Sebenarnya, ia juga ingin ikut melayangkan protes, namun ini bukan saat yang tepat atau dirinya akan mendapat hukuman lebih berat dari Asha.
“Loh, ya nggak boleh gitu dong, Kak!” protes Asha yang entah mendapat keberanian darimana.
“Kenapa? Itu namanya kebersamaan,” jawab Mahesa mengangkat sebelah alisnya.
“Mana ada teori kayak gitu, biar saya aja yang dihukum,” mata Asha yang tadinya menatap ke sana kemari, mini beralih menatap pemilik onyx hitam itu dengan intens. Rasa takut yang sempat merajai benar-benar hilang.
“Gue pengennya cowok itu yang dihukum.” Dan Mahesa masih mempertahankan sisi keras kepalanya.
“Apaan sih, jangan kayak bocah deh, Kak!”
Kalimat itu refleks meluncur begitu saja dari mulut Asha yang sejurus kemudian membuatnya langsung menutup rapat mulutnya. Kali ini ia sadar bahwa perkataannya benar-benar keterlaluan.
Suasana kembali menegang. Wajah Mahesa terlihat mengeras. Matanya menyiratkan amarah yang sudah memuncak. Jika berada di dalam sebuah cerita komik, kalian pasti bisa melihat asap mengepul di atas kepala lelaki jangkung itu.
“Lo bilang apa? Coba ulangi!” teriakan Mahesa menggema, sedangkan Asha masih bertahan dengan kegiatan menunduk serta memainkan sepatunya.
Bukan hanya para mahasiswa baru saja yang dibuat ngeri. Bahkan, teman-teman serta senior tahun keempat pun hanya bisa diam. Tingkah Mahesa sangat menyeramkan dan bertolak belakang dengan wajah pangerannya.
Mahesa kemudian maju mendekati Asha. Matanya masih setia menatap gadis yang lebih muda, seolah-olah siap menerkamnya kapan saja.
Semakin dekat, tangannya mengayun memegang rambut gadis itu. Keringat dingin kini sudah menjalar dari dahi hingga punggung Asha. Sedikit lagi, Asha pasti akan menangis karena sangat ketakutan.
Dewi Fortuna ternyata memihak orang yang salah. Bel tanda waktu istirahat tiba-tiba berbunyi. Menolong Asha agar terbebas dari kebengisan Sang malaikat pencabut nyawa.
“Udah Hes, waktunya istirahat." Ucap Banyu sambil menepuk pundak Mahesa, berusaha untuk meredam emosinya yang sedang meluap-luap.
Mahesa kemudian pergi meninggalkan aula dengan langkah kaki cepat dan wajah yang masih terlihat marah. Di satu sisi, Asha hanya bisa bernafas lega sambil mengusap keringat di dahinya.
Setelah semua senior meninggalkan aula, Asha langsung terduduk lemas di lantai. Gadis tersebut sangat bersyukur bel istirahat berbunyi di waktu yang tepat.
Ia tak bisa membayangkan bagaimana jadinya jika Mahesa sukses mendorong tubuhnya ke belakang, atau bahkan menjambak kasar rambutnya.
Apakah ia akan menangis, atau justru berbalik untuk menjambak rambut Mahesa? Opsi kedua mungkin terdengar cukup menyenangkan, tapi Asha tak ingin mengambil resiko.
“Lo nggak apa-apa?” Tanya Brian mengelus rambut Asha dengan air muka cemas.
Wanita itu mengangguk lemas. Namun tak lama kemudian, senyuman lebar kembali menghiasi wajah. "Bukan gue namanya kalau kenapa-napa. Kata Bunda, Asha itu anak kuat. Nggak boleh cengeng!" Sombongnya.
Usai berkata demikian, Brian dan Asha berjalan beriringan menuju kantin untuk membeli makan siang bersama. Tenaganya telah terkuras habis akibat kejadian tadi