Bab 2

1063 Words
Cuaca diluar kembali memburuk, hujan deras disertai petir membahana di komplek rumah Airin. Untung saja ia sudah pulang dan kini tengah berbaring sambil memainkan gadgetnya. Airin memakai baju dan celana panjang berwarna pink untuk melindungi kulitnya dari dinginnya udara. Sambil berbaring di kasur Airin berselancar di media sosial.Sebenarnya perut Airin sangat keroncongan dan ingin segera diisi oleh makanan. Apalagi tadi ia melihat mertuanya sedang memasak tempe goreng kemudian di meja sudah tersedia ayam goreng dan sayur bayam kesukaan Airin. Akan tetapi rasa penasarannya tentang anak membuat ia memutuskan untuk mencari informasi terlebih dahulu. Penolakannya kepada Tendi yang tidak mau memiliki anak membuat ia sedikit gelisah.                 Airin meringis ketika membaca salah satu komentar yang mengatakan bahwa suaminya selingkuh karena menolak mempunyai anak. Apakah Tendi juga akan seperti itu? Selingkuh darinya dan memilki anak? Lalu ketika Tendi meninggal anak dan istrinya datang dan meminta hak waris. Airin menggelengkan kepalanya.                 “Tidak mungkin. Tendi tidak mungkin seperti itu.” Airin memutuskan untuk duduk di pinggir kasur untuk mengisi daya gadgetnya. Karena kembali penasaran ia mencari lagi di mesin pencari tentang akibat wanita sibuk berkarir.                 Kepalanya mendadak pening apalagi informasi yang ia peroleh kebanyakan berunsur negatif dan membuatnya semakin berpikiran negatif kepada suaminya. Ia menghela napas frustasi dan kembali berbaring di kasurnya. Memandang hembusan angin yang membuat gorden jendelanya bergerak ke sana kemari. Mendadak isi kepalanya teringat kepada Nagita sahabatnya yang sudah menikah dan sekarang sudah mempunyai anak laki-laki berumur satu tahun. Airin berharap sahabatnya itu bisa membuat isi kepalanya kembali normal.                 “Nagita. Lagi sibuk?”                 “Nggak, pas banget teleponnya pas anak gue tidur. Ada apa Rin?” tanya Nagita semangat.                 Airin bangkit dari tidurnya dan berbaring di pinggir kasur. “Punya anak enak nggak?”                 Nagita terbahak mendengat pertanyaan Airin. “Apaan sih lo. Anak itu bukan makanan ya. Mau program hami?”                 Airin terdiam. Kepalanya kembali mengingat keinginannya untuk fokus berkarir. Serius menjalani harinya sebagai pekerja kantoran tanpa beban harus mengurus anak. Nagita saja karena sibuk mengurus anak harus rela keluar dari perusahaan padahal Airin tahu perusahaan itu sangat Nagita idamkan.                 “Nggak. Cuma suami gue pengen banget punya anak. Gue udah bilang sih gue mau fokus karir dulu dan dia setuju. Masalahnya gue nggak tenang Gi.”                 “Kalau dia selingkuh gimana?” lanjutnya dan membuat Nagita marah-marah disebrang sana.                 “Jangan mikir kayak gitu Rin. Gue yakin Tendi tuh cinta banget sama lo. Kalau Tendi cowok mata keranjang gue jamin lo dan Tendi nggak mungkin bisa langgeng sampai sekarang.”                 “Menurut gue jangan dipaksa Rin. Gue juga punya anak bukan karena keinginan suami gue. Itu murni keinginan gue, keluar kerja pun itu juga keinginan gue. Gue juga di rumah nggak cuma kerja ngurus anak dan suami, lo juga tahu kan gue lagi bisnis make up sama kakak gue.”                 Nagita kembali terbahak. “Tenang aja kalau lo sampai keluar gue masih bisa kasih nafkah untuk lo.”                 Airin tergelak mendengarnya. Entah kenapa ia bersyukur memiliki sahabat seperti Nagita. Dia selalu mendukung semua keputusannya. Nagita pernah bilang jika Airin bahagia ia akan bahagia begitu pun sebaliknya. Maka dari itu hubungan persahabatan mereka masih langgeng sampai sekarang.                 “Nggak. Mas Tendi masih kaya. Ibu dan bapak gue juga juragan di kampung.”                 “Iya, iya anak sultan. Lo udah balik kerja Rin?”                 “Udah. Mas Tendi lagi di Medan.”                 Nagita mengerti sekarang kenapa Airin berpikiran negative kepada Tendi. Wajar sih, ia juga selalu berpikiran negatif jika suaminya sedang berada di luar kota. Takut selingkuh dengan sekertaris atau yang lebih parah sama pramugari.                 “Pantesan lo jadi kayak gini. Besok mau ketemuan? Atau gue dan anak gue tidur di rumah lo. Biar lo nggak kesepian aja Rin.”                 Airin tersenyum senang, ia sangat suka kepada Alvano bayi Nagita. Jika melihat Alvano rasanya ia ingin sekali mencubit pipi tembamnya. Apalagi kulit bayi itu sangat putih seperti Nagita.                 “Boleh. Kasih kabar lagi ya kalau mau ke sini.”                 Airin pun memutuskan teleponnya dan keluar dari kamar. Endang sudah berada di depan kamarnya hendak mengajak Airin untuk makan. Ia pun merangkul mertuanya dari samping dengan erat. Bau makanan tercium dari tubuh mertuanya.                 “Bu, Airin kangen Mas Tendi. Dia sudah sampai belum ya,” ucapnya sambil menggeserkan kursi dan duduk di sana. Bakti mengikuti dengan duduk di samping Endang.                 Endang cekikikan geli dengan tingkah menantunya. Ia menaruh nasi di piring menantunya beserta bayam yang sangat banyak. “Sabar, Kalau udah sampai dia juga bakal menghubungi kamu.”                 Airin tersenyum dan menyuapkan nasi beserta bayam ke dalam mulutnya. Rasanya nikmat sekali apalagi ia menambahkan asin teri yang membuat sayurnya terasa lebih asin. “Masakan Ibu memang selalu enak. Pantesan Bapak dan Mas Tendi sangat menyayangi Ibu.” Pujinya dan membuat Endang tersenyum senang.                 Airin sangat beruntung memiliki mertua yang sangat baik seperti Endang. Kebanyakan dari certia yang pernah sampai di telinganya tinggal bersama dengan mertua bagaikan hidup di dalam neraka. Belum lagi jika menantu perempuannya sibuk kerja dan jarang berada di rumah, maka para mertua akan mengomel karena anak mereka tidak terurus oleh istrinya. Mendengar hal itu Airin sangat bersyukur karena kedua orangtua Tendi tidak seperti itu.                 “Bu, biar Airin yang cuci piring,” ucapnya setelah mereka selesai makan bersama. Airin tidak enak jika ia hanya diam dan tidak bekerja.                 “Nggak apa-apa. Biar ibu aja. Kamu tidur aja nanti maghrib ibu bangunkan.”                 Airin menggelengkan kepalanya. “Nggak bu.. Ibu kan yang masak dan sekarang aku yang cuci piringnya. “                 Endang kembali menggelengkan kepalanya kemudian mengajak Airin untuk duduk di depan televisi. “Kamu nonton aja. Hari ini ibu yang cuci piring kamu besok saja.”                 Airin terharu. Ia memang menantu yang paling beruntung bisa mendapatkan mertua seperti Endang. “Aku ke kamar aja Bu.”                 Aiirin kembali ke dalam kamarnya. Di dinding dekat kasurnya ada foto besar yang menggantung menampilkan foto pernikahan ia dan Tendi. Di balut dengan kemeja hitam Tendi sangat terlihat ganteng, senyum bahagia terlihat jelas di wajahnya. Airin ingat saat itu suaminya tidak pernah berhenti tersenyum.                 Mengingat hal itu Airin kembali teringat dengan keingan Tendi yang ingin memiliki seorang anak. Kedua tangannya turun mengusap perutnya. Airin sangat merindukan senyum bahagia Tendi, pasti jika ia hamil suaminya itu akan selalu bahagia. Apakah ini saatnya ia memutuskan untuk mengandung? Jika ada apa-apa juga kedua mertuanya akan selalu di sampingnya. Ada Nagita juga yang bisa ia ajak konsultasi mengenai masalah anak. JIka Tendi pulang ia akan mengatakan keingannya ini.    **                        
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD