Tap tap tap
"Gue kepagian,"
"Gue kepagian." Ia terdiam.
"Gue kepagian atau kesiangan?" gumamnya.
Suara sepatu melangkah menuju halaman utama sekolah, hentakan yang pelan namun cepat berjalan seiring dengan harapan belum berbunyi bel sekolah berbunyi.
Cewek itu mengeratkan pegangannya pada ranselnya seraya mengangkat kepalanya, mengedarkan pandangannya ke sekelilingnya. Terdapat segerombolan cewek-cewek yang tengah mengerubungi seseorang. Mata cewek itu menyipit, memaksimalkan penglihatannya pada objek yang menjadi perhatian cewek-cewek di sana.
Oh, ternyata hanya cowok sok ganteng yang sedang cengar-cengir. Tampilan pakaiannya terlalu bagus untuk ukuran anak SMA biasa. Gaya rambutnya yang berponi, rambutnya kecoklatan, lesung pipi di wajah putihnya, dan bibirnya yang merah alami. Memakai jaket biru tua yang tak seharusnya dikenakan saat masa sekolah berlangsung.
Marsha menggeleng, tak mau lagi memerhatikan lebih cowok yang sombong tersebut. Tetapi, ia tak menyadari bahwa dirinya dilirik oleh cowok itu. Matanya mengikuti arah cewek itu pergi, senyuman samar terbit dilekukan bibirnya.
"Oh, harusnya gue teriakkan panggil namanya kan?" Dia panik. Walaupun badannya berdesakan dengan para cewek yang menatapnya penuh rasa kagum dan suka. “b**o! Gue gak tau namanya!" umpatnya.
Sedangkan ditempat lain, cewek bernama Marsha itu langsung bersin di langkahnya saat menuju kelasnya. "Apa kena flu ya? Tapi pas dirumah udah minum teh hangat."
"Ayo semuanya, masuk kelas! Kita siap-siap!" ujar ketua kelas yang berdiri ditengah-tengah pintu. Memerintahkan semuanya agar terarah masuk kelas. Marsha mempercepat jalannya, menyelip diantara murid-murid yang masuk berbarengan.
***
"Kakek, kakek kenapa?" Gadis berumur 17 tahun tampak mengguncangkan badan pria lansia yang berbaring di atas kasur. Raut wajahnya panik.
"A-akh … cucuku …." Napas pria itu terputus-putus. Dia memegangi lehernya, matanya mendelik. "Kakek, sudah ndak tahan ...."
Badan pria yang berkeriput. Hanya menyisakan tulang-belulang yang menonjol, tubuh kakeknya yang rapuh itu kejang-kejang.
Air mata gadis itu menetes, tak tega melihat keadaan kakeknya yang seperti ini. Tangannya meremas kuat baju pria yang telah menyayanginya sejak dulu itu.
"Tolong.. jaga.. Alice, M-Marsha." Suaranya yang di paksakan oleh kakeknya sudah membuat tangisnya pecah memenuhi kamar milik pria tua tersebut.
"Marsha akan usahakan, Kek." Marsha menenggelamkan wajahnya di lengan sang kakek yang menghembuskan napas terakhirnya. Marsha yang mendapati mata kakeknya yang masih membelalakkan matanya dan segera menutup mata rabun yang pernah menatapnya penuh kasih sayang.
"Semoga kakek tenang disisi-Nya." Marsha mengaminkan doa yang terucap dari mulutnya.
Marsha menatap kakeknya sedih, hati kecilnya berusaha untuk ikhlas akan kepergian sang kakek yang terasa sangat cepat. Mengambil sebuah kain putih yang berada diperut kakeknya, lalu perlahan menyelimutinya sampai ke rambutnya yang memutih. Mencium dahi kakeknya yang dingin untuk terakhir kalinya.
"Sudah, Kezia?" tanya neneknya yang mengintip dari balik pintu. Marsha mengangguk. Nama Kezia adalah nama tengahnya, entah kenapa neneknya suka memanggilnya memakai nama itu. Alasannya tak pernah Marsha tahu.
"Ya sudah, nanti siang kita makamkan,” kata neneknya. Marsha lagi-lagi hanya mengangguk saja. Terlalu sulit untuk mengucapkan sesuatu dari mulutnya untuk saat ini.
"Kamu makan sana, nanti maagmu kambuh." Marsha melangkahkan kakinya keluar kamar kakek tersayangnya. Berjalan lesu menuju meja makan yang sudah menyediakan lauk-pauk dan nasi yang baru dimasak.
Marsha yang sedang menyendok sayur bening ke nasi piringnya dibuat terkejut oleh belaian halus dikakinya.
"Eh, Alice. Kamu toh."
Marsha mengelus bulu kucing hitamnya. Alice mengeong, terlihat menikmati tangan tuan barunya yang mampir dilehernya.
"Kamu gak sedih ditinggal kakek?" Marsha mengajak ngobrol kucing yang biasanya menemaninya bermain di saat ia bosan. Alice terdiam, lalu mengeong lirih. Matanya berkaca-kaca.
"Eh maaf Alice. Jangan nangis, ya?" Gadis itu mengerti perasaan kucing peliharaan kakeknya. Karena Alice sudah terbiasa dalam pengawasan sang kakek yang memeliharanya dengan tulus.
"Meong." Kucing itu mengeong. Seakan menjawab iya, setelah itu ia berlari menjauh. Yang pasti Marsha tidak tahu perginya kemana.
Marsha izin hari ini, dikarenakan kondisi kakeknya yang kurang diawasi sehingga membuat cucunya itu khawatir. Padahal tadi sedang asyik-asyiknya menyendiri mengerjakan tugas yang diberikan guru. Tiba-tiba ada telepon dari neneknya bahwa Marsha harus mengutamakan kesehatan kakeknya. Marsha menghela napas, mau tak mau gadis itu harus menuruti permintaan neneknya tersebut. Maka, berakhirlah Marsha di ruang makan. Mengunyah daging ayam yang terasa empuk di lidahnya.
"Meong …." Suara kucingnya terdengar lagi. Kali ini dengan gerakan lambat Marsha melihat ke bawah.
Tampak Alice yang sedang menenteng sebuah lampu yang mirip lentera di mulutnya. Dia menggigitnya cukup kuat, tinggi lentera itu tak sebanding dengan tubuh Alice yang kecil. Sehingga perlu diseret agar sampai ke hadapan Marsha. Marsha mendengus geli, perlahan mengambil lentera yang berdebu itu dari mulut Alice. Lantas mengelus kepala kucing itu sayang.
"Haha, kamu lucu deh, Alice." Marsha tertawa melihat tampang polos kucing bermata biru itu.
"Tapi, ini lentera buat apa ya?" tanyanya pada diri sendiri. Ia memerhatikan lentera itu dengan saksama lentera yang berwarna hitam kusam itu. Lampunya yang sudah mati dan juga sedikit pecah.
"Oh itu, warisan buat kamu, Kezia,” sahut nenek. Membuat Marsha kaget dan hampir menjatuhkan lentera yang digenggamnya.
"Warisan?" tanya gadis itu bingung. Neneknya mengangguk lalu tersenyum.
***
Marsha menghempaskan tubuhnya ke atas ranjang. Mengistirahatkan tubuhnya yang lelah sehabis mengikuti acara pemakaman kakeknya disaat matahari mulai terbenam. Namun, yang membuat Marsha tak habis pikir adalah kejanggalan sewaktu penguburan kakeknya ke liang lahat. Ada pocong cewek yang menatap kepada dengan tatapan menyeramkannya, cengengesan memperlihatkan beberapa belatung dari mulutnya. Dan juga wajahnya yang hancur tak dapat dideskripsikan. Bau kabel gosongnya yang menyengat hidungnya. Sebenarnya sudah tak mengherankan lagi bagi Marsha. Karena beberapa kali bertemu pocong cewek itu. Tapi untuk kali ini Marsha dipaksa berpikir keras.
Apakah kakeknya melakukan sesuatu yang fatal? Sampai-sampai diikuti walau sudah meninggal?
Masalahnya yang mengikuti kakek bukan hanya satu, tapi ada tiga makhluk tak kasat mata yang menduduki keranda. Banyak warga mengeluh ketika mengangkatnya, katanya berat sekali. Padahal setahu Marsha kakek adalah orang yang rajin beribadah. Selalu datang ke masjid demi menunaikan ibadahnya.
Marsha yang tak sengaja melirik lentera tua itu langsung menggelengkan kepalanya kuat. Penglihatannya pasti salah, lentera itu tak mungkin bersinar. Ia belum mengisi kembali benda tua itu sama sekali. Kata neneknya lentera lama itu juga warisan kakeknya kepadanya. Katanya sudah turun-temurun, terhitung sudah berumur 50 tahun. Tapi yang menjadi pertanyaannya adalah mengapa lentera itu diberikan kepadanya, cucu kakek bukan hanya dia saja bukan?
Namun, ia jungkir balik ketika lentera itu sudah berpindah tempat kembali ke meja belajarnya.
Marsha menutup mulutnya, tak tahu harus bersikap seperti apa.
Semua itu berawal dari situ, lentera yang ia kira tidak menakutkan. Kini lebih dari kata mengerikan. Lentera tua yang akan membawanya ke hal-hal yang tidak ia duga sebelumnya.
***