Bab 2

2070 Words
Helen cemberut saat Juna duduk di bangku di sebelahnya. Ia kesal, merasa Juna sudah membohonginya. Kata Juna tadi pergi hanya sebentar, nyatanya bel masuk kelas berbunyi baru Juna datang. "Kenapa tuh muka ditekuk?" tanya Juna yang melihat Helen cemberut. "Nggak apa-apa!" balas Helen ketus. Gadis itu membuang muka menghindari wajah Juna yang selalu membuatnya tersenyum. Juna memutar bola mata. Ia sangat hapal sifat Helen. Kalau sahabat sejak bayinya ini sudah bersikap seperti ini, pastilah Helen sedang merajuk. Entah karena apa, karena Arsyi mungkin. Tapi sepertinya tidak. Helen menghindari tatapannya, apa itu berarti Helen merajuk padanya? Tapi kenapa? Juna menggaruk pelipis. Ingin bertanya pada Helen apa kesalahannya, guru geografi mereka yang terkenal sebagai guru killer memasuki kelas. Terpaksa Juna harus menunggu. Alhasil, selama pelajaran geografi dan bahasa Inggris, Juna harus melaluinya dengan dicueki Helen. Ketika istirahat pun Helen langsung keluar kelas, tak menunggunya seperti biasa. Juna kelimpungan, berarti Helen memang marah padanya, bukan pada Arsyi. Juna menggaruk tengkuk, berpikir apa kesalahannya sehingga Helen sampai tidak menghiraukannya. Bergegas Juna membereskan alat-alat tulisnya, kemudian segera menyusul Helen yang entah sudah di mana. Juna mencari Helen ke kelas Arsyi, tapi Helen tak berada di kelas kekasihnya itu. "Helen mana?" tanya Juna cemas pada Arsyi yang memasukkan buku ke dalam tasnya. Tanpa menunggu guru yang mengajar keluar kelas, Juna langsung memasuki kelas Arsyi. Arsyi menghentikan kegiatannya mendengar pertanyaan sahabatnya. Bukankah Juna yang sekelas dengan Helen, lalu kenapa Juna menanyakan keberadaan Helen padanya? "Kok lu nanya ke gue? Yang sekelas sama dia siapa? Gue apa lu?" Arsyi balas bertanya, kemudian melanjutkan kegiatan. Juna mengusap tengkuk. Bingung harus menjawab apa pada Arsyi. Sahabatnya itu benar, ia yang sekelas dengan Helen, tapi ia juga yang bertanya di mana Helen berada. Arsyi menggeram gemas. "Kalian berantem ya?" tebak Arsyi to the point. Juna menggeleng cepat. "Nggak lah. Kita nggak berantem kok, Helen aja yang nyuekin gue setengah harian ini," adu Juna sewot. Arsyi memutar bola mata. Ia mengenal Helen dengan baik, begitu juga dengan Juna. Rasanya tak mungkin Helen marah tanpa alasan, pasti ada yang diperbuat Juna yang menyebabkan Helen marah pada pemuda itu. "Kalo gitu lu harus nyari Helen sampe ketemu. Gue nggak mau tahu!" "Apa?" Juna melotot. "Nggak salah nih lu nyuruh gue nyari? Helen nggak hilang kali, bro. Paling ke kantin atau ke mana gitu dia." "Terus kalo Helen ke kantin, ngapain lu nyari Helen di sini?" tanya Arsyi kesal. "Di kelas gue nggak ada cewek yang namanya Helen." Juna memutar bola mata. "Yang bilang ada teman sekelas lu yang namanya Helen siapa coba? Gue tuh cuma nanyain di mana Helen sama lu, kali aja lu liat dia. Secara lu kan pacarnya, Arsy. Arsyi berdecak. Ia sudah selesai memasukkan semua buku yang tadi digunakannya selama jam pelajaran pertama sampai yang ketiga. Pemuda itu berjalan ke depan kelas, meninggalkan Juna yang masih duduk di bangku sebelahnya dengan bertopang dagu. "Mau ke mana, Arsy?" tanya Juna tanpa mood. "Ke kantin nyari Helen," jawab Arsyi. "Ikut nggak lu?" Juna langsung berdiri dan menghampiri Arsyi. "Ikut dong gue," sahut Juna cepat. "Haus juga nih gue, engen beli minum." Arsyi mengangguk. Merangkul bahu Juna untuk ke kantin bersama. *** "Tumben sendiri, Len. Biasanya kan lo sama para pengawal lo." Helen memutar bola mata. Tak ingin meladeni Diva yang memang terkenal sangat suka mencari masalah. Tidak hanya dengannya, Diva dan geng cabenya juga mencari masalah dengan beberapa orang lain. "Jangan Helen deh, Va. Kan dia nggak ganggu lo." Hilda mencoba membantu Helen yang terlihat tidak bersemangat. "Jangan ikut campur deh lo!" Diva melirik Hilda tajam dengan ekor matanya. "Lo kan juga getol banget ngejar Juna, pantas lah lo ngebela Helen." Hilda memutar bola mata. Niatnya hanya ingin menengahi, malah sekarang Diva juga mengganggunya. "Eh gue cuma ngasih tau ya, kenapa juga lo nyangkut-nyangkutin sama masalah gue yang suka sama Juna. Nggak ada hubungannya, Maemunah!" sentak Hilda kesal. "Nggak udah ngegas dong lo, gue kan tadi cuma nanya nggak ganggu!" Diva mendorong bahu Hilda. Helen menggebrak meja kesal. Ia sudah bersabar tadi, tapi Diva tetap mengganggu. Helen heran, Diva sepertinya memang sengaja mencari masalah dengannya. Kenapa? Apa karena ia dekat dengan Juna dan berpacaran dengan Arsyi? Tak ada yang salah dengan itu kan? Sejak kecil ia dan Juna memang sudah akrab. Mereka bersahabat sejak bayi, atau sejak masih di dalam kandungan sepertinya. "Mau lo apa sih, Va?" tanya Helen. Sikapnya menantang. "Gue udah diam ya tapi lo masih aja nyari ribut. Nggak puas lo kalo nggak gue ladenin?" "Yang nyari ribut siapa heh? Gue tadi cuma nanya kan tadi?" Diva tidak mau kalah. "Lo kalo nanyanya baik-baik aja, pasti bakalan gue jawab baik-baik juga lah. Nah ini lo ngegas, dikasih tau Hilda aja lo marah. Ini maksudnya apa, lo mau berantem sama gue? Ayo!" Helen menggulung lengan bajunya sampai ke bahu, sehingga kulit porselennya terekspos. "Gue nggak takut ya sama lo!" Hilda menyabarkan Helen. Bisa gawat kalau Helen benar-benar berkelahi. Dua macan penjaganya pasti akan mengamuk kalau Helen kenapa-kenapa. "Len, udah ya. Nggak perlu berkelahi. Nanti kamu dipanggil guru BP gimana?" "Hilda, denger ya! Gue tuh lagi kesal sama Juna. Nah terus si cewek jadi-jadian ini gangguin gue dengan nanya pertanyaan nggak penting ke gue. Itu maksudnya kalo nggak ngajak ribut apa coba?" Helen berapi-api. Terlalu bersemangat menjelaskan pada Hilda sampai napasnya tersengal. "Si cabe nanya apa sama lu, Len?" Helen mengembuskan napas kuat. Kekesalannya bertambah. Juna dan Arsyi tiba di kantin pada saat yang kurang tepat. Ia bisa mengatasi masalahnya sendiri tanpa bantuan kedua pemuda yang sekarang sudah berdiri di belakangnya. "Ih Juna, nggak perlu ikut campur masalah cewek. Lo urusin aja masalah lo!" bentak Helen galak. "Beneran lu bisa?" Helen mengangguk mantap. "Pastilah!" "Jangan sok jadi jagoan, Len." Helen mendelik pada Arsyi yang seolah tak mempercayai kemampuannya. "Arsyi...!" Tak menjawab, Arsyi menaikkan sebelah tangan setinggi telinga. Helen langsung diam seketika. Membiarkan Arsyi menarik tangannya keluar kantin. "Lu yang urus cewek jadi-jadian itu, Jun. Gue mau nenangin singa gue dulu," pinta Arsyi sebelum meninggalkan kantin. Juna tak menjawab, hanya mengacungkan ibu jarinya tanda menyetujui permintaan Arsyi. Juna menatap Diva dan gengnya yang sejak tadi sudah menatapnya. Menang pesona Juna selalu nomor satu. Juna selalu menang kalau bersaing soal fans dengan Arsyi. Bukannya Arsyi tidak mempunyai penggemar, hanya saja pamor Arsyi kalah kalau di depan Juna. Predikat sebagai most wanted selalu disandang Juna. "Lu dengerkan apa kata Arsyi tadi?" Diva mengangguk cepat. Kapan lagi mempunyai kesempatan bicara dengan Juna? "Lu kenapa nyari masalah sama Helen?" tanya Juna dingin. Sungguh ia tak suka kalau Helen-nya diganggu. "Emang Helen menggangu lu duluan? Atau emang hidup lu nggak lengkap kalo lu nggak ganggu orang sehari aja?" "Idih Juna, nggak kaya gitu kok, Jun." Diva berjalan mendekati Juna. Sekarang Diva berdiri di depan pemuda itu. "Aku kan tadi cuma nanya sama Helen, kok tumben dia sendiri nggak bareng kalian. Gitu aja,' jelas Diva dengan gaya genitnya. "Eh nggak taunya cewek nggak jelas ini ngegas, Jun." Diva menunjuk Hilda yang berdiri tak jauh dari Juna dengan memonyongkan mulutnya. "Jadi bukan aku yang ganggu Helen tapi Hilda!" "Loh kok gue?" protes Hilda nggak terima tuduhan Diva. "Kenapa? Nggak terima?" tanya Diva. "Banyak saksinya, Hil. Kalo mau debat juga gue yang menang pasti!" ucap Diva yakin. "Emang lu yakin gue bakalan percaya sama saksi-saksi lu?" Pertanyaan Juna membungkam Diva. Gadis itu menatap Juna dengan tatapan tak percaya, mulutnya terbuka dengan tidak elitnya. "Gue sih nggak percaya sama omongan lu. Lu kan racun!" Selalu pedas itulah Juna. Pemuda tampan itu tidak akan peduli perkataannya menyakiti lawan bicaranya atau tidak. Yang penting bagi Juna ia sudah mengatakan yang sebenarnya. Dan untuk Diva, Juna tidak pernah khawatir gadis itu akan tersakiti oleh perkataannya atau tidak. Diva bujan gadis yang baik, omongan gadis itu selalu kasar. Diva sering memaki. "Ayo, Hil. Mending di kelas aja, di sini ada nenek sihir!" sindir Juna kemudian menarik Hilda untuk meninggalkan kantin. Hilda yang tidak percaya kalau Juna akan memegangi tangannya hanya bisa melongo. Sepanjang perjalanan menuju kelas mereka di lantai dua pipi Hilda memerah. *** "Ada masalah apa sama Juna?" tanya Arsyi. Ia berada di kelas Helen bersama gadis itu. "Kok berantem?" "Nggak berantem kok." Helen menggembungkan pipi. "Aku cuma nyuekin Juna aja." Sudut bibir Arsyi terangkat sedikit. "Apa bedanya dicueki sama berantem?" tanya Arsyi geli. "Bedanya banyak, Arsy! Orang berantem itu ya kaya aku sama Diva tadi. Nah kalo dicueki ya sama kaya aku sam Juna," jelas Helen semangat. "Oke oke." Arsyi mengalah. Helen pasti akan tetap pada perkataannya kalau dia tidak sedang ribut dengan Juna. Helen memang keras kepala. "Kamu sama Juna emang nggak berantem, kamu cuma nyuekin Juna." Helen mengangguk cepat. "Ada masalah apa emang? Kok Juna dicuekin?" Arsyi bertanya dengan mengangkat sebelah alisnya. Helen menarik napas sebelum menjawab. "Juna udah bohong sama aku." "Huh?" Helen mengangguk lagi, lebih cepat dari tadi. "Kan tadi pagi dia bilang cuma sebentar doang kan nyemperin gebetannya." Arsyi mengangguk. Pemuda itu memperhatikan bibir mungil Helen yang bergerak-gerak menjelaskan. Arsyi tak ingin terlewat satu huruf pun yang diucapkan Helen. "Juna datang pas bel masuk udah bunyi, Arsy. Itu kan artinya dia bohong sama aku." Arsyi mengembuskan napas melalui mulut. "Udah itu aja?" tanyanya. Helen mengangguk. "Hu-um." Arsyi mengacak rambut Helen gemas. Ternyata masalahnya hanya seperti itu, Helen hanya cemburu pada gadis uang menjadi gebetan Juna. Maksud Arsyi cemburu di sisni adalh Helen yang merasa Juna membohonginya karena gadis yang sedang ditaksir sahabatnya itu. Helen sebenarnya tidak masalah mau juna dekat dengan siapa saja juga Helen terserah. Hanya satu hal yang tidak disukai Helen, kalau dia dibohongi. Dan Helen merasa Juna sudah membohonginya tadi pagi. "Gaje banget sih lu, Len. Cuma kayak gitu aja lu ngambek." Helen menoleh, melihat Juna datang bersama Hilda. Tatapannya terpaku pada tangan Juna yang sedang menarik tangan Hilda. Tiba-tiba saja Helen tersenyum lebar. Saking lebarnya sampai-sampai matanya yang sudah kecil menjadi tidak kelihatan. Rasa kesal pada Juna yang tadi memenuhi hatinya seketika menguap melihat Juna datang bersama Hilda dan bergandengan tangan. "Nggak ngambek lagi kok, Jun." Helen bertepuk tangan kecil sendiri. Juna mengerutkan alis. "Lah lu kok aneh sih. Tadi aja lu bilang ngambek sama gue, sekarang senyum-senyum gaje gitu. Lu kerasukan, Len? Bilang aja, biar nanti gue bilangin sama Bunda Marina biar lu dirukyah." "Juna mulutnya mau dilakban ya?" belalak Helen galak. "Mulut Juna tuh yang perlu dirukyah!" Juna mengikik geli. Melepaskan tangan Hilda, Juna memeluk kepala Helen, mengacak rambut hitam gadis itu. "Juna!" Helen memekik kencang. Juna merusak tatanan rambutnya. Helen mendorong Juna kuat, sampai dirinya terlepas dari pelukan maut pemuda itu dan Juna mundur selangkah ke belakang. "Kan rambut aku rusak jadinya!" Helen menyisir rambutnya menggunakan jari-jari tangannya. "Kayak yang rambut lu bagus aja!" ejek Juna. "Bagusan juga rambut Hilda. Ya nggak, Hil?" Hilda yang ditanya tidak menjawab. Gadis itu malah menundukkan kepala, menyembunyikan wajahnya yang terasa memanas. Apakah benar rambutnya indah? Juna tidak berbohong kan? Helen cemberut. "Dasar Juna playboy!" sungut Helen kesal. Arsyi hanyaemggeleng pelan melihatnya. Ia sudah terbiasa dengan pemandangan yang dilihatnya ini. Setiap hari Juna dan Helen pasti bertengkar. Bertengkar dalam artian bercanda. Rasanya akan ada yang kurang kalau sehari saja tidak melihat pertengkaran kedua sahabat itu. "Biarin lah. Kan artinya gue laku, banyak yang mau." Juna terkekeh geli. Apalagi saat dilihatnya Helen yang membuang muka sambil mendengus. Tawa Juna semakin keras saja. "Nggak senang lu kakak lu laku?" tanya Juna dengan lagak tengil. "Nggak tuh!" sahut Helen ketus. "Mending kayak Arsyi, cuma setia sama satu cewek." Juna memutar bola mata. "Itu sih Arsyi aja yang udah kena pelet lu." Tawa Juna kembali pecah setelah mengatakan itu. "Ihh Juna apaan sih? Nggak lucu tau!" sungut Helen dengan bibir mengerucut. Pipinya menggembung. "Gue nggak melawak, Len, bukan pelawak juga. Wajar kalo gue nggak lucu." Juna mengangkat bahu. Senyum usil menghiasi bibir seksinya. "Kalian beantem aja terus sampe Juna tobat jadi playboy. Gue mau balik ke kelas gue." Arsyi berdiri, melangkah menuju pintu. "Bosan gue ngeliat kalian kayak gini terus tiap hari." Helen buru-buru mengejar Arsyi. Dan sebelum pemuda ituemcapai pintu, Helen menarik tangannya. "Nggak boleh! Kamu di sini aja. Ya? Helen tersenyum manis. "Aku janji nggak bakalan berantem lagi sama Juna. Iya kan, Jun?" Helen menoleh pada Juna dan memelototi pemuda itu. Mengancam Juna agar mengatakan iya. "Serah lu dah, Len. Gue juga mau cabut!" Juna juga melangkah menuju pintu. Merangkul bahu Arsyi begitu di samping pemuda itu. "Yuk, Arsy, cabut!" "Hil, jagain macan gue ya." Helen mengerjap. Macan? Siapa? Dan Helen berteriak kencang begitu paham siapa macan yang dimaksud Arsyi. "Arsyyiiiiiii!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD