MILIH-MILIH

1887 Words
Sungguh aku tak bisa Sampai kapanpun tak bisa Membenci dirimu Sesungguhnya aku tak mampu Sulit untuk ku bisa Sangat sulit ku tak bisa Memisahkan segala cinta dan benci yang ku rasa oh Apa kau mengerti ku sedih sendiri Tanpa ada kamu ku merasa sepi Telah lama ku menantimu Diam sendiri menunggu Setengah hati mencinta Ku sakit karenamu song by Geisha Lagu dari Geisha menemani Erika menembus kemacetan di jalan utama ibu kota sepulang kantor. Lirik lagu itu sungguh menggambarkan apa yang Erika rasakan saat ini. Sejak kejadian hampir empat tahun yang lalu itu ia memang tak bisa benar-benar membenci Adit. Harus ia akui kalau ada ruang di hatinya yang akan selalu terisi oleh sosok laki-laki itu. Katakanlah Erika bodoh, tapi bukankan cinta memang bisa membuat orang menjadi bodoh? Cinta? Ya secinta itu ia pada laki-laki yang telah menorehkan luka di hatinya. Tak ada orang yang mengetahui apa yang Erika rasakan karena ia memang tak pernah mengungkapkan perasaanya yang sesungguhnya pada siapapun bahkan kepada sahabat karibnya. Mungkin saat ini orang akan melihat Erika adalah sosok yang selalu ceria dan begitu menikmati hidup, tapi sebenarnya di dalam Erika merasakan kesepian yang teramat sangat. Saat ini hatinya terasa sangat kosong. Tawa dan cerianya hanyalah kedok untuk menutupi perasaan yang sesungguhnya di hadapan orang lain. Sejauh ini memang mamanya tidak pernah menyinggung soal pendamping hidup pada Erika, tapi gadis itu tahu kalau sesungguhnya wanita yang telah melahirkannya itu didera rasa khawatir melihat kehidupan percintaannya yang stagnan. Dan sekali dua kali, para sahabatnya mencoba menjodohkan Erika dengan kenalan atau teman mereka tapi sejauh ini belum ada berhasil membuka hati Erika yang sepertinya telah tertutup rapat. Suara dering ponsel mengagetkan Erika. Kemacetan parah memang membuat Erika leluasa melamun saat menunggu giliran mobilnya bisa melaju karena sepertinya dari tadi kendaraannya masih diam di tempat. Hujan dan kemacetan memang selalu berteman akrab. Dan sore ini hujan cukup deras jadi banyak genangan air di mana-mana yang membuat lalu lintas tersendat. Erika meletakkan ponselnya di stand holder lalu menggulirkan lambang telepon berwarna hijau untuk menjawab panggilan yang ternyata berasal dari Dara. "Di mana nte?" sekarang memang Dara memanggilnya dengan sebutan ante, meniru panggilan Naya kepadanya. "Masih di jalan, macet parah, say,' jawab Erika. "Sabtu loe ada acara gak? Wulan ngundang kita ke rumahnya, pengen ngumpul dia," ujar Dara lagi. "Boleh, gue free sih sabtu ini," "Loe kan emang selalu free, nte," ledek Dara membuat Erika tergelak. "Udah deh gak usah mulai lagi bumil, pokoknya nanti sabtu gue jemput loe, ok?" ujar Erika sebelum sahabatnya itu mulai lagi menceramahinya soal pacar dan sejenisnya, "Jam sepuluh kan?" "Hhmmm," sahut Dara. "Ya udah, gue tutup dulu ya, udah ijo tuh lampunya, byee bumil, titip salam buat Naya," ujar Erika sebelum menutup pembicaraan mereka. Setelah berjibaku dengan kemacetan selama satu jam lebih akhirnya Erika tiba di rumah selepas magrib. Setelah mematikan mesin mobil ia masuk ke dalam rumah dan bertemu dengan mamanya yang baru saja keluar dari kamar hendak menuju ke dapur untuk menyiapkan makan malam. "Koq baru sampe, Rik?" tegur Airin pada putrinya. "Macet banget ma, banjir di mana-mana," sahut Erika dengan wajah letih. "Ya udah, mandi terus magrib, baru kita makan," titah Airin. Erika pun langsung naik ke atas, masuk ke dalam kamar, mandi dan sholat magrib lalu dengan rambut masih setengah basah ia kembali turun ke bawah untuk bergabung makan malam. Sudah ada mama dan adiknya di ruang makan. "Papa mana, ma?" tanya Erika mencari keberadaan papanya. "Masih di kamar, sebentar lagi juga keluar," jawab Airin. Dan benar sana, tak lama kemudian Yuda keluar dari kamar dan bergabung di meja makan. "Gimana di kantor Rik?" sapa Yuda pada putrinya. "Baik pa," sahut Erika sambil mengambil tumis kangkung dan bakwan udang, "Aku udah dapat jawaban dari permohonan beasiswaku, pa." Mendengar ucapan Erika ketiga orang yang ada di meja makan langsung menatap ke arah gadis itu. "Aku lolos seleksi beasiswa di Harvard," ujar Erika menjawab pertanyaan yang tak terucap dari ketiga orang di hadapannya itu. "Alhamdulillah," ujar Yuda mengucap syukur. "Berapa lama, Rik?" tanya Airin dengan raut tak terbaca. "Sekitar satu setengah tahun ma," jawab Erika. "Jauh banget sih, Rik, apa gak bisa cari yang di Indonesia aja?" tanya Airin resah, bagaimanapun Erika adalah anak perempuan satu-satunya, melepasnya melanjutkan pendidikan ke negara yang jauhnya ribuan kilometer tentu membuatnya khawatir. "Aku kan mau cari pengalaman baru, ma," jawab Erika, "Lagian satu setengah tahun itu gak terlalu lama, gak terasa, ma." "Ck," decak Airin, "Mama tuh khawatir, kamu di sana juga gak ada siapa-siapa, mana jauh banget lagi." "Nanti di sana pasti ada komunitas mahasiswa Indonesia ma, Erika nanti kan bisa gabung, di sana juga pasti nanti dapat kenalan baru, biar aja dia cari pengalaman banyak-banyak, yang penting hati-hati dan jaga diri," ujar Yuda mencoba menenangkan istrinya yang seperti tidak rela harus melepas putri satu-satunya mengejar ilmu sampai di negeri orang. "Kenapa gak ke Singapore aja sih yang deketan?" gerutu Airin. "Mumpung dibayarin ma, cari yang jauh sekalian, kalo bayar sendiri mana sanggup aku," jawab Erika sambil tersenyum. "Gak papa juga kali ma," Zico yang sedari tadi diam akhirnya membuka suara, "Nanti kalo mbak Erika wisuda kita kan bisa datang kesana, kalo gak begitu belum tentu seumur hidup kita bisa jalan-jalan ke Amerika." "Tuh ma, bener apa kata Zico, nanti kan mama bisa datang kalo aku wisuda," ujar Erika yang setuju dengan perkataan adiknya itu. "Gak usah ke Amerika juga mama gak papa, yang penting mama bisa lihat kamu tiap hari dan gak khawatir karena kamu jauh," sahut Airin sedih, ia mulai kehilangan selera makannya. Erika bertukar pandang dengan Yuda lalu meneruskan makan malamnya dan menghentikan pembahasan mengenai beasiswa yang di terimanya. Tadi setelah makan siang di kantor ia baru menerima email tentang berita kalau ia lolos program beasiswa yang pernah ia daftarkan sekitar dua bulan yang lalu. Sehabis makan malam Erika dan Zico langsung naik ke atas dan masuk ke kamar meninggalkan Yuda dan Airin yang masih duduk di ruang makan. "Pa, mama tuh gak pengen Erika pergi ke Amerika sampe satu setengah tahun gitu," ujar Airin mengeluarkan isi hatinya. "Kenapa ma, kan bagus Erika punya kesempatan nerusin pendidikan kesana, harusnya kamu bangga dong," sahut suaminya. "Bukan begitu pa, coba papa hitung, sekarang umur Erika udah berapa, nanti dia kesana satu setengah tahun, pulang-pulang umurnya udah dua puluh tujuh, kapan dia nikah?" kata Airin. "Memangnya Erika udah punya calon?" tanya Yuda sambil menatap istrinya. "Justru itu, kalo dia udah punya calon sih aku nikahin dulu," sahut Airin, "Masalahnya calonnya belum ada, aku kan jadi khawatir, kalo dia kuliah lagi nanti malah keasikan dan gak mikirin pernikahan sama sekali." "Emangnya bener-bener belum ada ma?" tanya Yuda yang mulai sedikit khawatir. "Setahu aku sih belum pa," jawab Airin, "Pernah aku coba tanya Dara, katanya sih memang belum ada karena Erika gak pernah cerita sama sekali soal cowok, lagian selama ini juga memang kan kalo libur dia di rumah terus gak pernah kemana-mana kecuali ke tempat Dara atau Wulan.,"| "Apa dia belum bisa move on dari Adit?" tanya Yuda. Airin hanya mendesah kasar. "Entahlah, pa," jawabnya resah. >>>***** seatbelt ia membantu membuka seatbelt seorang gadis kecil berusia tiga setengah tahun yang duduk di sebelahnya. Sementara itu Dara yang duduk di kursi belakang sudah membuka pintu dan keluar dari dalam mobil lalu membuka pintu penumpang di sebelah depan. "Ayok turun sayang," ujarnya pada Naya, putrinya. "Mana asinan pesanan bumil tadi, Ra?" tanya Erika. "Ini udah aku bawa," sahut Dara sambil mengangkat kantong plastik berisi asinan pesanan Wulan. Ketiganya berjalan ke arah teras rumah. "Assalamualaikuuum..." "Waalaikumsalam," Pintu rumah dibuka dari dalam dan muncul sosok Rina menyambut Dara, Erika dan Naya. "Haaii, Naya.. apa kabar?" Rina langsung menunduk menyamakan tingginya dengan Naya agar bisa mencium cucu keponakannya itu, "Oma kangen." Setelah mencium kedua pipi Naya, gantian Rina memeluk Dara dan mengelus perutnya yang mulai terlihat membesar itu. "Sehat, Ra? Yang di dalam sini juga sehat kan?" tanya Rina. "Alhamdulillah sehat bu," sahut Dara membalas pelukan Rina. "Erika apa kabar? Makin cantik aja kamu," ujar Rina ganti memeluk Erika. "Bude bisa aja," sahut Erika sambil tertawa, hubungannya dengan Rina memang tetap seakrab dulu walaupun wanita itu tidak jadi ibu mertuanya. "Bener lho, iya kan Ra?" Rina meminta dukungan dari Dara. "Percuma cantik kalo gak punya cowok, ma," tiba-tiba Wulan muncul dari dalam rumah dan langsung mem'bully' sahabatnya itu. "Ah, masak sih gadis secantik Erika gak ada yang naksir?" ujar Rina tak percaya sambil menggandeng Erika masuk ke dalam rumah. "Yang naksir mah banyak, bu, tapi dia milih-milih," Dara malah mengompori perkataan Wulan tadi, "Kayaknya sih gak bisa kelain hati." Erika hanya memutar bola matanya dan tak menanggapi ucapan kedua sahabatnya itu, kalau ditanggapi nanti ia malah semakin dibully. "Dah lah bumil dua ini jangan cerewet-cerewet, nih pesenan loe, asinan betawi," ujar Erika sambil menyerahkan kantong yang tadi diambilnya dari tangan Dara. "Yeee, makasih yaaa... hhhmmm, pasti seger banget nih," ujar Wulan dengan mata berbinar. "Wisnu kapan pulang, Lan?" tanya Dara. "Hari rabu depan, makanya mama nemenin aku di sini," sahut Wulan. "Bude udah lama sampe Jakarta?" tanya Erika. "Dari hari selasa kemarin, Rik, tapi baru kesini kamisnya pas Wisnu berangkat ke Makasar,"sahut Rina, "Ini Bimo mana?" "Kalo sabtu praktek pagi, bu," sahut Dara. Keempat orang itu langsung melangkah menuju ke ruang makan sementara Naya sudah asik mengamati aquarium besar yang ada di ruang keluarga. "Wuih, komplit banget, kayak warteg," komentar Dara melihat hamparan hidangan yang ada di meja makan. "Itu belum semua, Ra," sahut Rina, "Wulan kepingin somay tapi yang jual di daerah Johar, mama gak tau di mana, jadi tadi minta tolong Adit buat belikan." Mendengar nama Adit disebut, jantung Erika mulai berdebar lagi. Apakah Adit nanti juga akan datang kesini? batin Erika. "Aku mau langsung makan asinannya ah," ujar Wulan. "Tapi kamu kan belum makan nasi, Lan," ujar Rina. "Tadi udah makan mie goreng, ma," sahut Wulan seraya membawa kantong berisi asinan ke dapur dan meminta ART untuk menyalin ke wadah. Mereka pun langsung menikmati makanan yang ada, maklum ada dua wanita hamil dan satu gadis sehat yang memang doyan makan dan tak ada istilah jaim kalau soal makanan, apa yang mau dimakan, ya dimakan. Tiba-tiba terdengar dering ponsel. "Bunyi telpon siapa tuh?" tanya Dara. "Kayaknya punya ibu," sahut Rina sambil mengambil ponsel yang tergeletak di meja bufet, "Halo" Rina hanya bicara sebentar lalu langsung menutup ponselnya lagi dan melangkah keluar rumah. Di depan gerbang ada sebuah mobil parkir yang mesinnya masih menyala. Rina langsung melangkah menghampiri. Jendela di bagian supir langsung dibuka dari dalam. "Ini ma, siomaynya, sesuai pesanan," ujar Adit sambil menyerahkan bungkusan siomay pada ibunya. Tadi ibunya memang menelpon minta tolong dibelikan siomay pesanan adik iparnya yang sedang ngidam karena Wisnu sedang tugas keluar kota, "Dah ya, aku balik dulu." "Kamu gak masuk dulu, Dit?" tanya Rina sambil memandang putranya. Adit menghela kasar. "Ada Erika kan ma?" Rina diam saja tak menjawab. Karena dari mobil yang sekarang terparkir di carport Adit tentu bisa menebak siapa pemiliknya. Rina jadi merasa serba salah, karena dulu ialah yang melarang Adit untuk bertemu lagi dengan Erika, tapi melihat wajah putranya itu Rina jadi merasa iba. "Mama kapan mau ke apartemen, nanti biar aku jemput," tanya Adit mengalihkan pembicaraan. "Ya nanti kalau Wisnu udah pulang," sahut Rina. "Kalo gitu aku pamit dulu," Namun baru saja Adit hendak menurunkan tuas rem tangan, sebuah mobil berhenti tepat di hadapan mobilnya, menghalangi jalannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD