Terkejut

1630 Words
"Pulang dari sini, kita langsung melayat. Kasian," ucap Mas Arif yang langsung lahap menyantap makanan. Aku yang sedari tadi memang tak nafsu, hanya menghabiskan jus alpukat yang mulai tak dingin ini. Setelah membayar dan pergi, kami mampir ke rumah dulu untuk berganti baju. Sederhana dan didominasi warna hitam. Lambang kematian. Kami pergi terburu-buru, semoga saja masih sempat melihat jenazah sahabatku sebelum ia beristirahat tenang. Aku masih tak menyangka. Sesekali kutengok grup alumni. Mereka masih ramai membicarakan Kana. Sosok yang ceria dan pandai menyembunyikan masalah, akhir hidupnya setragis ini. Aku benar-benar tak mengerti. "Harus diusut lagi sama polisi ini, Dek. Masa tiba-tiba bunuh diri aja, padahal sebelumnya dia baik-baik aja, `kan?" "Kita gak tau hati dan kondisi orang, Mas. Bisa aja dia ceria di depan orang, tapi aslinya menyimpan banyak masalah. Kana emang sungkan orangnya. Waktu sekolah dulu aja, kita pernah tangkep dia lagi nangis sendirian. Pas ditanya, katanya nggak papa," jelasku. "Hm, aneh juga, ya. Maksudnya, kenapa begitu tiba-tiba? Suaminya harus dicari supaya cepat ketemu titik terang." Aku mengangguk setuju. Mas Arif begitu serius mengendarai mobil dan ya, ia tampak lebih berwibawa. Tak seperti sebulan lalu, tubuhnya kurus dan wajah pucat. Alhamdulillah jika pengaruh buruk dari Sarah sudah lenyap. Entah siapa dan bagaimana, aku tak perlu tahu. Sesampainya kami di kontrakan Bu Minah, terlihat banyak orang berkumpul dan tenda mulai didirikan. Mas Arif menyuruhku masuk terlebih dahulu karena ia ingin berbincang dengan lelaki lain. "Selepas salat Jumat baru dikuburkan," ucap Bu Minah lalu mempersilakanku masuk. Hawa ketika berada di luar dengan di dalam sangat berbeda. Tiba-tiba terasa dingin, dingin yang aneh. Untung saja pakaianku lebih tebal. "Sayangnya, orang yang bunuh diri gak akan masuk surga, ya," ucap ibu-ibu yang tengah berbisik di belakangku. Ya, berbisik ceritanya, tapi masih terdengar. "Bu, udah. Gak baik menceritakan orang yang sudah tiada. Apa salahnya mendoakan?" tegurku dan mereka pun terdiam. Sekilas, aku melihat ibu Kana duduk sendirian di pojok sembari memeluk sebuah kain. Ingin sekali kudekati dan memberinya pelukan. Namun, Bu Minah mencegahku karena saat ini ibu Kana benar-benar terpuruk. "Jangan diganggu dulu, tadi didekati, beliau mengusir sambil teriak." "Terus itu kain apa, Bu?" "Itu baju Kana." Hatiku teriris mendengarnya. Ya Tuhan, kuatkanlah keluarga Kana menerima semua ini. "DIngin banget," ucapku sambil mengepalkan tangan. "Dingin? Ibu sakit? Kalau sakit pulang aja, Bu," kata gadis remaja yang duduk di sampingku. "Ah, nggak sakit, Dek. Nggak tau tiba-tiba dingin aja." "Kak Kana manggil Ibu," kata gadis itu lagi sambil menatap lurus ke depan. Aku yang tak mengerti pun, berusaha mencerna dan bertanya lagi. Ia tidak menggubris, terus menatap kosong sembari menunjuk sebuah pintu kamar. Bibirnya seakan melafalkan sesuatu, entah apa yang ia baca. "Dek?" tegurku sekali lagi, tapi ia tetap tak bergerak. Seseorang menepuk pelan pundakku dan menggeleng. "Sudah, diamkan." Aku pun kembali membaca doa dan menunduk. Sesekali melirik gadis itu yang masih bergeming. "Aaa!" Tiba-tiba ia berteriak kencang sehingga membuat kami semua terkejut. Mata gadis itu membulat sempurna, tubuhnya kaku, dan kedua tangannya mengepal kuat. Salah seorang lelaki langsung sigap membopong gadis itu ke dalam kamar. Penasaran, aku pun ikut mengintip di balik celah pintu yang sedikit terbuka. Gadis itu meronta-ronta, kesakitan dan panas katanya. Ubun-ubunnya dipegang ustaz dan dibacakan sesuatu hingga ia kembali tenang. Syukurlah, aku bernapas lega. "Kenapa dia?" tanya seseorang yang entah datang dari mana. "Kerasukan, mungkin ada yang terganggu." Aku menghela napas. memang siapa yang mengusik siapa? Orang-orang di sini terlalu misterius. Bahkan uztaznya saja aneh menurutku. "Aku mau pulang, mau pulang!" teriak gadis itu saat ia sadar. "Jangan, berbaring dulu di sini, dia belum pergi." Ustaz itu mencegah dan membuat kami semua kebingungan. Siapa yang ia maksud? "Hantu?" Ia menggeleng. "Jin yang mengikuti almarhumah Bu Kana selama ini," ucapnya. Kami pun terdiam, apa jangan-jangan jin itu yang telah membunuh Kana? "Kok bisa diikuti, Pak? Bukannya Mbak Kana itu lumayan agamis?" tanya Bu Tias. "Saya juga belum ngerti soal ini. Nanti saya diskusikan lagi." Ustaz itu pulang meninggalkan tanda tanya besar. Setelahnya, semua orang kembali membaca doa. Ponsel yang sejak tadi berdering, akhirnya kuangkat juga. Ternyata dari Mas Arif. "Kenapa, Mas?" tanyaku. "Ayo, pulang. Udah lama kita di sini. Mas gak mau liat proses pemakaman," ucapnya. "Oh, ya sudah. Benter lagi juga salat Jumat." Di tengah perjalanan, sesuatu yang membuat kami terkejut bukan main, membuat Mas Arif menghentikan mobil secara mendadak. Hampir saja! Anak kecil berbaju merah tua itu sedang menyeberang sendirian. Mirisnya, tidak ada orang dewasa yang mendampingi dia. Alhasil, hampir tertabrak mobil kami. Untung saja Mas Arif sigap mengerem meski kepalaku sedikit terluka. Aku turun untuk memastikan anak itu aman. Ia pun tersenyum dan kembali ingin menyeberang, tapi kuperingatkan agar lebih berhati-hati. Gandeng tangan siapa saja di samping. Aneh juga, mengapa ia bolak-balik menyeberang? "Siapa orang tuanya, ya. Aneh banget ninggalin anak kecil sendirian," ucapku lalu masuk ke mobil. Brak! Suara itu cukup keras hingga membuat banyak orang terkejut. Aku yang baru memasukkan satu kaki pun, mendadak lemas tak bertenaga. Mengapa harus terjadi di depan mataku? "Astagfirullah, cepat ambilkan sesuatu buat nutupin ini!" Bapak-bapak berjaket hitam segera menhampiri jasad yang tak lagi utuh itu. Aku meneguk ludah tak percaya. Baru saja berbincang dengannya, ia sudah pergi dengan cara yang mengenaskan. "Tangan kanannya putus, tolong carikan. Mungkin terlempar!" Aku tak kuasa menahan rasa mual. Mas Arif yang ikut membantu pun memintaku pulang sendiri membawa mobil. Ia bisa naik taksi ketika pulang nanti. Namun, rasa penasaranku juga lebih besar dari apapun. Anak itu sudah tiada, tapi apa tujuannya mondar-mandi di jalanan hingga terlindas truk? Apakah ia sengaja bunuh diri? "Mas, itu apa? Coba kamu ambil," ucapku menunjuk sebuah gelang bertuliskan huruf G. Mungkin nama anak ini. "G, 12-12-10. Umurnya sekitar 12 tahun." "Umur 12 tahun masa gak ngerti di tengah jalan begini berbahaya, Mas?" "Sudah, kita gak perlu ikut mencari tau. Biar polisi yang menyelidiki," ucapnya lalu bangkit. "Masalahnya, Mas, kematian anak ini dekat dengan kematian Kana. Apa Mas gak ngerasa mereka ada hubungan?" "Risti, stop mencocok-cocokkan segala hal yang terjadi. Ada yang namanya kebetulan. Kematian terjadi setiap hari di seluruh dunia dan mereka gak saling kenal, `kan? Apa itu disebut punya hubungan juga?" Mas Arif mulai menggunakan logikanya. "Iya, Mas, tapi ...." "Udah, mau salat Jumat bentar lagi. Cepat pulang." *** Ketika Mas Arif berangkat ke masjid pun, pikiranku tak bisa lepas dari anak kecil itu. Tatapan lugunya ketika aku mengajaknya berbicara, terus terngiang-ngiang tak bisa lenyap. Aku kasihan pada kedua orang tua dan keluarganya. Ditinggalkan orang terkasih itu sangat menyakitkan, apalagi untuk seorang ibu. "Hei, jangan ngelamun ntar kesambet!" Seseorang datang mengejutkanku dan duduk di sebelah. Ia memberiku segelas es kopi kesukaan. Tahu saja sedang haus dan malas keluar rumah. "Ngapain ke sini?" tanyaku. "Habis melayat dari rumah Kana. Temen-temen yang lain udah pulang, ada yang mau nganter jenazahnya nanti ke pemakaman. Cuma aku yang nolak karena takut, hehe," jawabnya menyeringai. Riana memang rentan kerasukan. Mungkin jika yang meninggal kali ini bukan teman sendiri, ia tak akan mau pergi melayat. "Tadi aman aja, `kan? Gak ada sesuatu yang ganggu kamu?" "Alhamdulillah aman, ya cuma ngerasa aneh aja sama hawanya. Dingin-dingin aneh nggak biasa gitu," jawabnya lagi lalu menyeruput es kopinya. "Ya, namanya juga orang meninggal, gak jauh dari hawa gak enak kayak gitu. Ditambah lagi, aku baru aja liat kecelakaan yang parah. Anak kecil, meninggal ditabrak." Aku menunduk lesu, kembali mengingat anak itu. "Hah? Kapan? Di mana?" "Di persimpangan, waktu itu emang cukup rame dan si anak mungkin gak hati-hati. Parah banget, aku gak tega dan ngeri sendiri." "Ya Allahh, semoga husnul khotimah." Perbincangan kami terhenti karena Mas Arif sudah pulang dari masjid. Riana pun pamit karena ia malu jika dilihat suamiku. Anak itu memang aneh. Padahal suamiku tak makan orang. "Lah, kenapa berdiri? Ngobrol aja ngobrol, gak usah sungkan. Kamu juga, Dek, kenapa gak diajak masuk temennya?" ucap Mas Arif. "Hehe, nggak papa, Mas. Di dalem gerah," jawabku sambil cengengesan. "Duh, nggak enak nih aku, Ris. Aku pulang aja, ya?" "Astaga, kamu ini kenapa? Suamiku baik, nggak galak!" Aku menarik tangannya supaya ia kembali duduk. Kali ini berhasil, gadis itu tak jadi pulang dan kami melanjutkan perbincangan. *** Malam tiba, suasana terasa seram karena sudah dua jam mati listrik tanpa pemberitahuan sebelumnya. Jika tahu, aku akan pergi membeli lilin dan men-charger senter. Sial, persediaan lilin habis, padahal seingatku masih banyak. "Aku keluar dulu beli lilin, Mas. Kalau mau makan, ada di bawah tudung saji," ucapku pamit. Mas Arif yang duduk membelakangiku pun tak merespon apa-apa. "Mas?" panggilku lagi, mungkin ia tak dengar. "Mas? Nanti kalau aku main pergi aja kamu marah, padahal udah izin." Aku mulai kesal dan langsung membalikkan tubuhnya. Seketika, tubuhku seperti tersambar petir. Kaku, tak bisa bergerak, ingin berteriak tapi tak bisa. "Maaas!" Aku langsung berlari keluar dan pergi ke rumah tetangga. Kebetulan keluarga Pak Burhan sedang berkumpul di luar. Aku langsung menghampiri mereka. "Pak, Bu, tolong!" ucapku pelan karena kehabisan tenaga. Napas pun masih terengah-engah. "Ada apa ini? Kamu kenapa? Atur napas dulu, duduk di sini Ibu ambilkan minum, ya." Setelah meneguk segelas air dan menormalkan detak jantung, aku mencoba menjelaskan kepada mereka tentang apa yang kulihat barusan. "Mas Arif, mukanya ancur penuh ulat. Aku gak tau itu apa, tapi baunya busuk seperti bau bangkai!" "Astaghfirullah ...." "Nak, sepertinya kamu harus diruqyah. Ada jin yang mengikutimu," ucap Pak Burhan. "Jin? Siapa? Ma--maksudnya, ngapain dia ikuti aku, Pak?" "Karena sekarang masih gelap, besok aja Bapak ke rumah kamu, ya. Sekarang berani pulang sendiri?" Aku menggeleng pelan. "Nggak, Pak." "Tunggu lampunya nyala aja baru dianter Fany, ya." Fany adalah anak sulung Pak Burhan. Ia sekarang kuliah dan usianya tak jauh dariku. Meskipun jarang bertemu, hubungan kami cukup baik. "Iya, Pak, terima kasih banyak." "Belakangan memang serem desa kita, Pak. Tadi aja baru dapat kabar ada anak kecil kecelakaan parah. Bidan Ira yang cerita. Itu isi kepalanya berceceran, cuma bisa disatuin, dijahit seadanya karena kepala udah gepeng," ucap Bu Rohini, istri Pak Burhan. "Kepala hancur?" tanyaku memastikan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD