satu

1091 Words
BIMA, Aledia dan Dirana kompak menatapku berbinar. Oh bukan, ini jelas tatapan menggoda yang paling menjengkelkan. Sejak dulu. Saat kami masih mengenakan almamater yang sama, tatapan menggoda mereka akan sangat menyebalkan. Sangat. "Ayolah, Sya.... Kita, kan, jarang kumpul. Setahun sekali malah. So, izinkan kami melihat suamimu yang tampan itu. Okay?" Kalau perempuan itu memang pandai memersuasi, maka Adelia adalah buktinya. Dia paling gencar memojokkanku hari ini. Aku melirik Bima, dia menarik sudut bibir atas bagian kanan. Jelas untuk menggodaku. "Marsya payah. Padahal, besok gue mesti balik ke Bukit Tinggi. Gue normal, kok, Sya. Gue punya pacar, ya." Aku tertawa kecil, tetap berusaha pada pendirianku. Kini, Dirana gantian menatapku penuh selidik. Alisnya bertaut, berlebihan. "Jangan bilang, kalau suami lo udah ganti." Dia tersenyum mengejek. "Sialan! Lo kira gue cewek apaan?" Aku mendengus sebal. Mereka ini memang keterlaluan.   Tawa mereka pecah, membuat suasana kafe yang tadinya sepi menjadi sedikit 'ramai'. Bima. Aku bertemu dengannya saat mencari buku di perpus yang akan kugunakan untuk ujian harian saat itu. Dia juga sedang mencari buku, tetapi dengan judul yang berbeda. Kami berdiri di depan rak buku yang sama, kemudian ponselku berdering nyaring. Nyaring sekali. Dia menertawakanku, kemudian mengulurkan tangan dan menyebutkan namanya, Bima Wirautama Budiarjo. Aku sedikit terkejut, karena budaya seperti itu belum kutemukan di negara yang terkenal keramahannya ini. Dan, sejak itu, entah bagaimana kami selalu menyempatkan datang ke perpus di jam yang sama. Tanpa perjanjian dan perencanaan. Mataku melirik Adelia. Dia adalah perempuan yang kutemukan terjatuh di koridor kampus. Mendengar banyak suara tawa yang mengejeknya, aku segera berseru 'Fina', memanggilnya. Hanya supaya mereka berhenti karena tahu kalau dia adalah temanku. Jelas saja, setelah itu aku meminta maaf karena memanggil nama yang salah. Karena nama sebenarnya adalah Adelia Prambunasetya. Lalu, bagaimana caraku bertemu dengan Dirana? Dia adalah pentolan di fakultas kedokteran seangkatanku. Wajahnya yang sedikit memiliki campuran Tiongkok, terlihat begitu sempuran. Dirana Felicia. Mereka semua adalah teman kampusku dulu. Teman yang mau menjalani masa-masa sulit semester akhir dan bagaimana rasanya menunggu dosen pemimbing. Dan, kini kami semua memiliki kesibukan masing-masing. Bima bertugas di Balik Papan setahun setelah wisuda. Dirana harus ke Palembang mengikuti suaminya. Dan, Adelia memilih Riau sebagai tempat mengabdi pada suami dan juga masyarakat. "Well," Aku memecahkan keheningan. Mereka serempak menatapku penasaran. "Dia bakalan jemput. Tapi, dia nggak seramah dulu. Jangan kaget, ya?" "Maksudnya? Setelah menikah dia jadi nunjukin sifat aslinya gitu?" Dirana memang sangat skeptis dalam hal apa pun. Aku menggeleng kuat. "Dia akhir-akhir ini capek banget. Tahu sendiri, kan, kerjaan dia kayak apa." Aku membaca pesan yang dia kirim, sekali lagi. Hanya ingin memastikan kalau dia benar-benar mau menjemputku kali ini. Mungkin, pekerjaannya nggak terlalu banyak, jadi dia nggak perlu lembur. Sembari menunggu dia datang, aku dan teman-teman kembali berbincang seputar kehidupan baru kami. Tempat tinggal mereka yang sedikit berbeda, dan itu memerlukan usaha untuk bisa beradaptasi. Bima yang menyalahkan kami karena sudah menikah, dan itu membuat ibunya selalu mendesak meminta seorang menantu. Selama perbincangan ini, aku merasa sedikit rileks. Oh bukan, sangat rileks. Otakku terasa sangat damai. Di dalam d**a sini, terasa hangat dan nggak sesak seperti biasa. Aku sedikit bahagia. Hubby: Aku udah di depan kafe. Aku mengetikkan balasan untuknya. Aku nggak boleh telat membalas pesan. Sama sekali nggak ingin membuat dia menunggu balasan chat-ku. Me: Kenapa nggak masuk aja? Temen-teme| Aku segera menghapus kalimatku dan menggantinya. Me: Aku keluar sekarang. Tunggu bentar ya... Nggak ada balasan lagi. Dengan begitu, aku mengunci layar, memasukkan ponsel ke dalam tas, lalu menatap ketiga temanku. Rasanya berat harus berpisah dengan mereka. Kami hanya bertemu setahun sekali, itu pun nggak bisa tiap tahun harus rutin. "Suami gue udah di depan, gue balik, ya..." "Kok, nggak suruh masuk aja? Ngopi dulu gitu?" Dirana menghalangiku. Adelia mengangguk cepat, menyetujui ucapan temannya. "Iya. Suruh masuk aja." Aku segera menggeleng saat Bima ikut merayuku. Nggak. Kalau terus begini, aku akan kalah lagi dari mereka. "Dia nggak enak badan katanya. Kalau kalian mau lihat dia, ntaran deh. Gue buatin video terus gue share di grup. Okay?" Aku menggerlingkan mata. Kemudian meraih tas dan meninggalkan mereka yang kuyakini penuh dengan tanya. Maafkan aku. Aku sudah berbeda. Aku berbeda dengan kalian. Mobil hitam milik suamiku sudah terpakir di pinggir jalan. Aku segera membuka pintu, aroma campuran dari pewangi mobil dan parfumnya membuatku merasa nyaman. Seperti pulang ke rumah. "Gimana ketemuan sama temen-temennya?" Aku menoleh, menatapnya nggak percaya. Dia jarang sekali menanyakan hal-hal semacam itu. Biasanya, dia bahkan melarangku untuk bertemu dengan teman-temanku kecuali Mika Andrafia. "Seneng." Aku menjawabnya sembari tersenyum. Kemudian hening. Dia menjalankan mobil dan aku memilih untuk memandang keluar jendela. Memerhatikan kendaraan lain yang berlalu-lalang. Tiba-tiba, aku mengingat sesuatu. Menolehkan kepala, aku memandangi wajah tampannya. Dia semakin hari semakin tampan dan berwibawa. "Yan..." Dia menoleh, "kita makan dulu, ya?" "Aku udah makan di kantor." "Tapi aku belum makan." "Di rumah ada makanan, kan?" Segera, Aku mengangguk. Mengerti maksud dari ucapannya. Dia nggak mau makan sekarang. Maka, tugasku hanya perlu memahami itu dan memilih mengolah apa pun yang bisa kumakan nanti, di rumah. Aku memang hanya perlu melakukan itu. Memahami apa yang dia inginkan, dia maksud, dan dia pikirkan. Aku hanya perlu melakukan itu. Mengubur dalam-dalam keinginanku untuk bisa makan berdua di luar rumah, berkencan di akhir pekan atau semacamnya. Aku hanya perlu menurut dan semuanya akan baik-baik saja. Aku yakin semuanya akan baik-baik saja. Selama aku bisa memahaminya. Karena sejak dulu pun begitu, tugasku hanya perlu memahaminya meski harus dengan berpura-pura bahagia. Atau berpura-pura nggak mengetahui kalau dia sangat mencintai sahabatku. Dia akan selalu mencintai Mika Andrafia. Sampai kapan pun. Aku hanya akan selalu berpura-pura tersenyum di depan mereka. Mengekspresikan bahwa aku bahagia menikah dengan seorang Radian Gerhana. Lelaki yang hampir sepuluh tahun sangat kucintai. Membuatku bodoh dan rela melakukan apa pun untuknya. Termasuk menyakiti diri sendiri dengan hidup bersamanya. Aku rela melakukan itu. Kalau hanya dengan cara ini, Mika nggak membenci Radian, maka aku rela. Radian nggak boleh merasakan sakit karena Mika membencinya. Cukup aku saja yang merasakan sakit itu. Karena aku yakin, Radian nggak akan kuat. Jadi, biarlah aku menggantikan sakitnya. Sebulan setelah pernikahan, aku berhenti bekerja. Resign dari rumah sakit yang sudah memberiku banyak pengalaman dan gaji. Tetapi karena aku sudah menjadi seorang istri, tugasku hanya perlu menuruti permintaan suami. Aku berhenti bekerja demi menjaga kehormatannya. Radian sendiri bekerja di Rahwana Design sebagai arsitek junior. Gajinya belum terlalu besar, tetapi dia berjanji akan mencukupi kebutuhanku. Maka, aku hanya perlu memercayainya. Karena, sepahit apa pun hidup bersamanya, inilah yang kuinginkan. "Ini terakhir kali kamu ketemu sama mereka." Radian berbicara datar, tenpa menoleh ke arahku. Aku memandangnya sejenak, kemudian mengangguk sembari tersenyum, saat tiba-tiba dia menoleh menatapku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD