BAB 7

1085 Words
BAB 7   Hening. Hanya kata itu yang dapat menjabarkan keadaan sekarang. Di ruangan yang serba steril dan dikelilingi dinding putih ini, aku berdiri di sudut ruangan seperti orang bodoh. Pikiranku mengelana, akan jadi seperti apa setelah ini? Apa semua akan berakhir baik-baik saja? Perlahan, aku melangkahkan kakiku pada sosok laki-laki yang berbaring tak sadarkan diri di atas ranjang. Selang oksigen menempel di hidungnya untuk membantu ia menarik napas, juga tangan kirinya yang tersambung infus guna menjaga agar nutirisinya tercukupi. Aku terpaku. Menatapnya seperti ini membuatku jadi semakin merasa bersalah. Kenapa Kaivan melakukan semua ini untukku? Apa dia tidak peduli dengan nyawanya sendiri? Dan, apa yang harus aku lakukan untuk membalas jasanya? Bodoh. Bagaimana bisa Kaivan bertindak sebodoh itu? Perlahan, aku menyapukan jemariku pada permukaan kulit wajahnya yang halus. Menelusuri rahang tegasnya hingga mencapai kedua matanya yang tertutup rapat. Jika sedang tertidur seperti ini, Kaivan terlihat seperti malaikat tanpa dosa, begitu menawan hingga membuat semua mata terpaku padanya dan tidak bisa mengalihkan wajah. Sudah dua hari semenjak kejadian itu, dan kenapa Kaivan masih tak sadarkan diri juga? Apa dia sengaja ingin menghukumku dengan semua rasa bersalah yang terus bercokol tak mau pergi? Bunyi pintu yang terbuka membuatku menoleh. Di ambang pintu, berdiri seorang laki-laki tampan dengan kemeja putih yang telah digulung hingga siku. Wajahnya tegas dengan kedua alis tebal yang menaungi matanya. Aku mengerutkan kening saat perasaan familiar merasukiku. Mata kelabu itu mengingatkanku pada seseorang. Bukankah itu... orang yang aku kira calon suamiku waktu di kafe sebulan lalu? Kenapa, dia bisa berada di sini? Lelaki itu tersenyum canggung. Ia berjalan mendekatiku dengan langkah tegap yang terkesan maskulin. Surainya yang berwarna hitam acak-acakan ikut bergerak mengikuti langkahnya. “Saya Adreno.” aku menyambut uluran tangannya setelah terdiam beberapa saat. “Adik sepupu Kaivan,” sambungnya lagi sambil melepaskan tautan tangan kami. “Aku...” ucapanku terhenti saat Adreno memotong, “Saya tahu. Anda calon istri Kaivan kan?” manik abu itu bersinar, ia mengalihkan tatapannya pada Kaivan yang masih berbaring tak sadarkan diri. “Ya.” aku mengangguk singkat. “Kau mau minum apa? Biar aku belikan,” ujarku mencoba ramah. Dalam hati aku meruntuki nasib burukku. Kenapa aku tidak dijodohkan dengan Adreno saja, sih? Dia benar-benar terlihat sempurna tanpa cela, dan aku yakin jika hidupku akan terjamin jika bersamanya. Tapi nyatanya, itu semua hanya bisa jadi khayalanku saja kan? “Tidak usah repot-repot. Aku hanya ingin menjenguk saudaraku.” ia mengerutkan kening dan memiringkan kepala, menatap Kaivan dengan sorot aneh dan tersenyum kecil kemudian. Aku terkejut saat melihat Adreno membuka selang oksigen di hidung Kaivan. Aku menyuarakan protes dan Adreno menghalangiku dengan melemparkan pandangan bahwa semua akan baik-baik saja. “Mau sampai kapan kau tidur, eh? Kupikir kamu tidak selemah itu, Kaivan. Mau berapa lama lagi?” Aku mengerutkan kening bingung. Laki-laki ini gila, ya? Bagaimana bisa ia berbicara setenang itu pada Kaivan yang masih tak sadarkan diri? “Kamu memang benar-benar adikku, Adreno.”   Mataku membulat sempurna saat melihat Kaivan membuka mata dan tersenyum geli ke arah Adreno. Aku mengerjab. Yang barusan berujar itu, Kaivan kan? Bagaimana bisa?   “Kaivan? Bagaimana bisa kamu...” ucapanku menggantung di udara. Kaivan tidak terlihat seperti orang sakit sekarang, ada sedikit rona di wajah putihnya. Apa selama ini dia membohongiku dengan berpura-pura sekarat?   Jika itu yang terjadi, aku tidak akan pernah memaafkanmu sepanjang hidupku, Kaivan bodoh!   “Aku sebenarnya sudah terbangun dari tadi.” Kaivan melirikku sambil tersenyum tipis, “saat kamu berdiri di ujung sana, aku sudah sadar Dean. Maaf karena sudah membohongimu.”   Aku hendak menyumpahinya dengan berbagai makian jika tidak ingat ada sepupu Kaivan di sini. Dan apa tadi, dia sudah sadar sejak aku berdiri di sudut ruangan?   Wajahku terasa panas, mersas kesal sekaligus malu. Jadi... dia tahu jika aku menyentuh wajahnya? Sialan.   “Aku harus pergi.” aku hendak menuju pintu sebelum suara Kaivan menginterupsi.   “Jangan pergi, Dean. Apa kau tidak merindukanku?”   Aku meliriknya dari ekor mataku. Manik biru Ivan menyorot sendu, dan saat pandanganku menemukan Adreno, aku bisa melihat laki-laki itu sedang menutup mulutnya menahan tawa. Sialan. Apa dia menertawakanku?   “Aku akan kembali nanti.” keputusan final. Aku tidak bisa berlama-lama berhadapan dengan dua makhluk itu sekarang. Dengan cepat aku membuka pintu dan keluar dari ruangan sialan ini.   ***   Aku menggenggam satu cup kopi panas yang baru saja aku beli di kafetaria. Sudah dua jam berlalu sejak aku memutuskan pergi dari sana. Apa lelaki tampan itu sudah pergi sekarang?   “Dean!”   Aku menoleh saat namaku di panggil. Dari samping, aku melihat tante Rita berjalan mendekatiku sambil merangkul lengan Adreno. Setelah sampai, beliau mengukir senyuman.   “Dean, tolong jaga Kaivan sebentar ya? Tante ada perlu sama Adreno.” aku melirik Adreno sekilas dan mengangguk.   “Iya Tante,” balasku, mengukir senyuman setulus mungkin. Tante Rita menepuk pundakku sekilas sebelum berlalu sambil menggandeng Adreno.   Aku menghela napas. Sebenarnya aku malas sekali bertemu dengan pembohong ulung itu. Tapi nyatanya, aku tidak punya pilihan lain. Segera aku mendorong pintu bercat putih di depanku dan masuk ke dalam sana.   Kaivan sedang bersandar di kepala ranjang saat aku sampai. Aku menaruh cup kopiku ke atas nakas dan melirik semangkuk bubur hangat yang masih tidak tersentuh.   “Kenapa kamu tidak makan buburnya?” aku mengambil mangkuk itu dan mengaduk buburnya perlahan. Tanpa kata, aku mengarahkan sendok penuh bubur ke arah mulutnya. Kaivan menatapku aneh tapi kemudian membuka mulutnya dengan senang hati.   Biar bagaimana pun, Kaivan sudah menggantikan posisiku untuk tertembak peluru sialan itu. Jadi setidaknya aku harus sedikit membalas budi pada Kaivan. Dan... mengenai pelaku penembakan itu aku tidak tahu siapa orangnya. Polisi masih menyelidikinya hingga sekarang.   “Terimakasih karena sudah menjagaku Dean.” Kaivan tersenyum menawan, aku meletakkan mangkuk yang sudah sepenuhnya kosong itu ke nakas dan menarik kursi untuk kududuki.   “Tidak masalah. Kesembuhanmu lebih penting sekarang.” aku tersenyum. Yah, setidaknya hanya hal kecil ini yang bisa kulakukan untuknya. Walau terkadang aku membenci tingkah Kaivan yang sering kekanakan, tapi aku memuji jiwa penolongnya.   “Aku benar-benar minta maaf karena membohongimu.” Kaivan berujar sendu. Ia menggerakkan jemarinya untuk menggenggam tanganku yang berada di atas ranjang. Dan aku membiarkannya seperti itu.   “Kenapa kamu ingin melindungiku, Kaivan?” aku menyuarakan pertanyaan yang sudah menggangguku dua hari ini, berharap jika jawaban Kaivan bisa sedikit melegakan rasa penasaranku.   “Karena kamu adalah calon istriku, Dean. Jadi aku harus selalu melindungimu.” Kaivan mengukir senyuman tulus. Aku melirik jemariku yang semakin ia pergang erat. Sedang tubuhku sendiri membeku, masih mencerna perkataannya.   Bukankah lelaki ini terlalu baik? Apa aku pantas untuk menodai kepercayaannya padaku dengan menolak pernikahan ini?   ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD