BAB 10

1107 Words
Bagian 10   Aku mengusap kedua lenganku saat merasakan udara malam mulai berhembus dingin. Di depanku, mama masih setia mengobrol dengan tante Rita, sedang aku sendiri sudah menghabiskan makananku.   Suasana di rooftop memang romantis dan menyenangkan, tapi tidak dengan tubuhku yang hanya berbalut kemeja lengan pendek. Rasanya aku ingin cepat-cepat pulang dan menenggelamkan tubuhku ke kasur sampai pagi.   “Kamu kedinginan?” aku menoleh. Kaivan menatapku penasaran. Kulihat dia juga sudah selesai dengan makanannya. Aku memutar bola mata dan mengalihkan pandangan. Harusnya Kaivan tidak usah banyak tanya dan menyerahkan jas yang ia pakai padaku seperti di cerita-cerita roman. Dasar tidak peka!   “Dean, gimana? Kamu suka kan sama konsepnya? Kaivan sendiri loh yang ngasih ide.” aku tersenyum saat tante Rita bertanya dengan nada ceria. Raut bahagia tampak begitu jelas diwajahnya. Mungkin, alasan Kaivan mau menikah denganku adalah sama, ingin membahagiakan orang tua.   “Iya Tante. Dean suka kok,” ujarku tulus.   “Soal dekorasi sama gedung udah sembilan puluh persen persiapannya De, besok kalau mau lihat-lihat atau pengen ngubah ngomong aja sama Tante.” tante Rita mengelus tangan kananku yang berada di atas meja, sedang bibirnya mengulas senyum menenangkan. Seolah semua akan baik-baik saja di tangannya.   Aku mengangguk dan balas tersenyum. Sebenarnya aku tidak begitu peduli dengan segala t***k bengek pernikahan yang super ribet itu. Tapi melihat-lihat persiapannya sebentar sepertinya tidak masalah.   “Aduh maaf. Saya telat. Acaranya udah selesai ya?”   Suara seseorang terdengar nyaring dari arah belakang. Aku menoleh ke asal suara dan mendapati seorang laki-laki dengan potongan cepak dan manik biru jernih berlari kecil ke arah tante Rita. Bibirnya mengukir senyum bersalah pada tante Rita yang kini menunjukkan raut kesal.   “Kamu emang kebiasaan ya?” tante Rita geleng-geleng kepala. “Duduk, makan. Abis itu kita pulang.”   Raut wajah bersalah semakin terlihat jelas dari wajah menawan itu. Ia meringis, kemudian duduk di samping tante Rita dengan enggan. Dan jika kutaksir, usianya mungkin seumuran dengan sepupu Kaivan, Adreno.   “Nah, Dean. Itu Raja. Adik kandungku. Orang yang kubilang akan kukenalkan padamu kemarin.” Kaivan berujar ramah. Aku mengangguk singkat dan mengulurkan tanganku ke arah Raja.   “Deandra.” aku tersenyum, ia balas mengukir sunggingan dan menjabat tanganku.   “Rajawali,” ujarnya, melepaskan tangan kami sambil melemparkan tatapan jahil ke arah laki-laki di sebelahku, Kaivan.   “Cantik juga. Pantesan lo gak nolak.” Raja terkekeh. Tante Rita menepuk bahu Raja memperingati.   “Ampun Ma,” Raja meringis, manik birunya menyorot teduh. “Raja juga mau dong satu yang kayak Dean,” sambungnya sambil mengedipkan mata padaku. Aku mengalihkan wajah untuk menyembunyikan rasa malu. Dari sini, aku bisa menyimpulkan jika Raja adalah tipe perayu ulung.   “Kamu itu ya. Masih kuliah juga.” tante Rita kini menjewer telinga Raja sedikit gemas.   “Jewer aja sampai telinganya panjang, Ma. Jangan kasih ampun.” aku menoleh ke arah Kaivan. Laki-laki itu tersenyum lebar ke arah adik dan ibunya. Pancaran kebahagiaan terlihat begitu jelas. Ah, aku jadi teringat Petra. Jika kakakku itu berada di sini, mungkin suasana meja makan akan semakin ramai.   Dan, sisa waktu kami berikutnya kami habiskan dengan obrolan santai, mempererat tali silaturahmi kedua belah pihak. Sesekali Raja juga melempar guyonan yang menambah suasana semakin ramai.   Dari sini, aku bisa melihat pancaran kebahagian murni dari dua orang sosok ibu yang duduk di depanku. Aku tersenyum, semoga pernikahan ini akan berakhir baik untuk semuanya.   ***   Aku semakin menggigil saat malam kian larut. Tante Rita, mama, dan Raja akhirnya pulang dengan satu mobil. Sedang aku sendiri terdampar di samping Kaivan sekarang, berjalan beriringan di lobi gedung.   “Dean. Sepertinya aku perlu ke toilet. Kamu bisa menungguku sebentar?” Kaivan menatapku dengan pandangan bersalah, kemudian ia membuka jasnya dan memakaikannya padaku.   “Pakailah dulu. Sepertinya kamu kedinginan.” Kaivan tersenyum dan beranjak pergi. Aku menghela napas. Bukan sepertinya lagi, Kaivan. Tapi aku memang kedinginan!   Ah, sial. Resiko punya calon suami yang tidak peka dan kelewat polos memang seperti ini.   Perlahan, aku berjalan menuju sofa berwarna maroon di sudut ruangan dan membanting tubuhku di sana. Ah, nyaman sekali. Rasanya aku ingin cepat-cepat pulang dan bergelung dengan kenyamanan ranjang di kamarku.   Mataku mengedar ke sekeliling. Sepertinya, gedung ini adalah sebuah perusahaan di siang hari. Terlihat dari meja resepsionis di samping pintu masuk kaca dan sofa tunggu yang aku duduki. Dan, tadi aku juga tidak sengaja melihat kubikel-kubikel berisi komputer dan berkas-berkas.   Entah ini perusahaan milik siapa, aku tidak tahu. Yang pasti bukan milik Kaivan, kurasa.   Aku melihat jam di pergelangan tanganku. Sudah hampir 30 menit dan Kaivan belum keluar dari toilet. Aku menggigit bibir bawah. Apa jangan-jangan terjadi sesuatu padanya?   Aku memutuskan untuk mencari laki-laki itu ke toilet. Dia, tidak mungkin sengaja diam-diam meninggalkanku lewat pintu belakang kan?   Dan, langkahku mendadak beku saat melihat pemandangan di depan toilet. Kaivan sedang membelakangiku dengan seorang perempuan di depannya, dan dari remang-remang lampu, aku bisa melihat jika kedua orang itu sedang berciuman. Benarkah? Entah kenapa, dadaku terasa dihantam ribuan jarum tak kasap mata. Rasa perihnya menjalar hingga ke seluruh tubuh hingga aku hampir kehilangan keseimbangan untuk tetap berdiri tegak. Kenapa Kaivan melakukan itu? Di saat pernikahan kami hanya tinggal dua minggu lagi? Kenapa Kaivan tidak menghormatiku sebagai calon istrinya? Atau, selama ini, dia hanya berpura-pura? “Kaivan...” Suaraku terdengar seperti tikus terjepit. Serak, dan juga lirih. Kedua bola mataku memanas. Kaivan berbalik pelan. Seutas senyum ia tampilkan saat pandangan kami bertemu. Tidak ada raut bersalah dalam matanya, tidak pula terkejut karena tertangkap basah. Seolah-olah, apa yang baru saja ia lakukan tidak berarti apa-apa. “Dean, maaf karena lama. Aku tidak sengaja bertemu Ditha di sini. Seharusnya dia ikut makan malam, tapi sedikit ada masalah tadi.” lelaki itu menggandeng seorang perempuan yang ia kenalkan sebagai sepupunya dua minggu lalu ke arahku. Jarak kami yang lumayan jauh mungkin menutupi kedua mataku yang berkaca-kaca. Saat jarak kami tinggal 5 langkah, aku bergerak mundur dan mengarahkan tanganku ke depan, menyuruh mereka berhenti. Bagaimana bisa Kaivan bersikap setenang itu setelah mencium wanita lain yang ternyata adalah sepupunya sendiri? “Dean, kenapa nangis?” Kaivan menatapku panik. Kerongkonganku semakin tercekat. Rasa sesak, marah, berlumur kecewa menggerogoti hatiku tanpa bisa dikomando. Kenapa efek Kaivan bisa semengerikan ini? Dan kenapa dia tetap bersikap seolah-olah tidak ada yang terjadi? Aku mengambil napas dalam, meredakan sesak yang menggerogoti sedari tadi. Tanpa sadar, cairan bening itu akhirnya meluruh menuruni pipiku. “Aku pengen batalin pernikahan kita.”   Tanpa menunggu tanggapan atau pembelaan Kaivan, aku segera berbalik dan berlari menjauh dengan sisa tenaga yang aku punya. Kutulikan telingaku saat mendengar Kaivan menyeru panik dari belakang. Yang aku butuhkan saat ini hanyalah menghindar sejauh mungkin dari Kaivan. Menata hatiku yang hancur karena perbuatan laki-laki itu. Dan... sejak kapan Kaivan bisa menjungkirbalikkan hidupku sampai seperti ini? ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD