Om Gas Selang Regulator

1331 Words
Mari kita mundur ke satu tahun sebelumnya. Orisha sedang menonton video Tik Tok di ponselnya. Bibir yang tak terpoles lipstick itu melengkung melihat seorang bayi perempuan lucu berkulit putih sedang berkomunikasi dengan ibunya, dalam bahasa bayi tentunya. Akan jadi berita paling menggegerkan jika bayi itu berbicara dalam bahasa orang dewasa. “Ga …,” panggil Orisha. Begitulah panggilan Orisha pada Ghazfan jika ia sedang tidak marah. Jika sedang marah ia akan memanggil pria itu dengan tukang gas atau Om Gas. “Ga!” panggil Orisha lagi, kali ini suaranya lebih nyaring. Yang dipanggil pun menolehkan kepalanya ke sumber suara. “Apa?” Orisha memberikan ponselnya pada Ghazfan, menunjukkan video bayi lucu itu. “Lucu kan?” Ghazfan mengamatinya dalam diam. Menonton video itu hingga selesai sebelum berkomentar. “Kenapa? Pengen punya bayi?” “Iyalah, pengen,” jawab Orisha, sengaja memancing keseriusan pria yang telah menggantungnya bak jemuran dari masa penjajahan Belanda sampai masa penjajahan Corona. “Terus siapa bapaknya kalo punya anak?” Ghazfan membalas, termakan pancingan Orisha. Dalam hati, Orisha mengumpat. Siapa lagi, ya kamulah. Masa suami tetangga. “Ya siapa aja yang nikahin aku,” jawab Orisha dengan suara kesal. “Emang ada yang mau nikahin?” Ghazfan kembali bertanya. Pertanyaan pria itu bukannya seperti yang Orisha harapkan. Bukan Ghazfan yang terpancing, sebaliknya malah emosi Orisha yang terpancing. Seakan senjata makan tuan, ia yang jadi kesal sendiri. “Ya kalo gak ada, ya udah aku jadi perawan tua aja. Itu pun kalo masih bisa hidup sampe tua, kalo gak … ya gini-gini aja terus mati.” Matanya berkali-kali mengerjap, mulai kesal. Ingin menangis, tapi terlalu tengsin jika harus menangis lagi di depan tukang gas itu. Apalagi akhir-akhir ini ia sering sekali meminta dinikahi. Kalau ia menangis lagi, kesannya ia terlalu memohon-mohon. “Ngambek? Ciee, nangis nih, nangis yang banyak yah,” ejek Gazfan sambil menepuk-nepuk kepala Orisha. “Iyalah ngambek,” ketus Orisha. Ia berbalik sebentar lalu memukul lengan Om Gas menyebalkan itu. “Dibujukin kek, malah disuruh nangis. Dikasih janji palsu kek, palsu juga gapapa yang penting udah dijanjiin, meskipun nanti ditinggalin juga.” Mata Orisha makin memanas. Ia sengaja duduk membelakangi Ghazfan. “Apa susahnya sih bilang sesuatu yang manis-manis, yang enak didenger. Boong juga gapapa. Yang penting ini telinga enak dengernya.” Makin lama matanya makin tak bisa diajak bekerja sama. Ia mengipas-ngipas tangannya di depan wajah. Menahan lonjakan air dari kedua sudut matanya. “NYEBELIN!!” umpat Orisha lalu meninggalkan pria itu, menuju kamarnya. Pintu terbanting dengan kasar sementara tukang gas itu tertawa. Ia tak suka membujuk, tak suka berjanji, dan tak suka membuat Orisha senang hanya dengan kata-kata palsu. Ia lebih suka melakukannya secara langsung tanpa menjanjikan apa-apa. Selama ia masih diam, artinya ia masih tak bisa melakukan apa yang Orisha inginkan. Sayangnya, Orisha mau dibujuk. Ia ingin mendengar sesuatu yang manis. Seperti dijanjikan untuk menikah, dijanjikan untuk melakukan suatu hal bersama-sama. Namun, dalam rentan waktu bertahun-tahun mengenal Ghazfan, tak satu pun janji pria itu pernah terdengar di telinga Orisha. Sementara Orisha mengambek di kamar, Ghazfan masih setia melanjutkan aktivitasnya. Di hari libur seperti ini, ia menghabiskan waktunya dengan bermain game. Ia bukan pemain game profesional yang dibayar dalam sekali bermain secara online. Tidak, ia hanya bermain game untuk melepas penat dan suntuknya. Bel apartemen berbunyi, membuat Ghazfan segera melepaskan ponsel lalu meraih dompetnya sebelum keluar. Menemui seorang kurir pengantar makanan. “Terima kasih, Pak,” ujar Ghazfan dengan sopan seraya meraih kantong plastik berisi makan siang dari tangan sang kurir. “Sama-sama, Mas.” Pria itu membalas. Sekitar setengah jam sebelumnya, sebelum Orisha memancing di air keruh yang ujung-ujungnya membuat ia mengambek sendiri, Ghazfan memang memesan makan siang. Pria itu sebenarnya cukup, ah tidak … lebih dari cukup sebenarnya, sangat peduli malah pada Orisha. Tapi, dengan cara yang bahkan tak disadari oleh dua orang itu. Bertahun-tahun hidup bersama membuat mereka lebih banyak bertengkar dibandingkan saling mengasihi. Tapi, justru di balik pertengkaran tak berkesudahan itu, di situlah cinta mereka merekah. Ghazfan melirik jam tangannya, jam 12 lebih 32 menit. Ia memindahkan makanan pesannya ke piring sebelum mengetuk pintu kamar Orisha. Yah, mereka memang tinggal bersama. Tinggal satu apartemen tidak berarti mereka tidur bersama. Karena Ghazfan punya kamar sendiri, begitu pun dengan Orisha. Sejak Ghazfan fokus bekerja, ia memilih pindah dari rumah orang tuanya. Dan dengan senang hati pula Orisha mengikuti pria itu. Berharap bisa mendapatkan lebih banyak kesempatan untuk diromantisi jika hanya tinggal berdua dengan Ghazfan, nyatanya ia salah besar. Harapannya tak seindah realita. Pria itu, tetaplah pria yang minim berkata-kata manis. Bukan minim berbicara sebenarnya, hanya tak suka menggombal dan membuat Orisha senang dengan janji-janji manis. Terkadang saat Orisha benar-benar jengkel pada pria itu, ia menginap di tempat lain. Menunggu hingga Ghazfan membujuk atau memohon-mohon padanya agar bersedia pulang. Yang lagi-lagi tak pernah kesampaian. Ujung-ujungnya ia sendiri yang pulang. Ghazfan memutar kenop pintu, ia masuk dan meletakkan nampan berisi piring, mangkuk, gelas, sendok, dan garpu. Sementara menu makan siangnya ada nasi, ikan bakar, dan sayur bening. Ah, tak ketinggalan buah kiwi dan melon yang telah dipotong-potong, yang Ghazfan ambil dari kulkas. “Makan dulu, abis itu minum obatnya.” Perlahan-lahan Orisha menurunkan selimut yang menutupi wajahnya. Matanya, masih menyorot dengan tatapan penuh dendam pada pria itu. Terlihat sangat jelas dari matanya jika ia sedang meramu jalan cerita di otaknya, ingin menghabisi Ghazfan dalam satu tikaman. “Ayo, bangun. Kamu harus makan siang.” Sial, dasar hati lembek. Orisha mengumpat dalam hati, mengumpati dirinya sendiri. Yang lagi-lagi goyah hanya dari mendengar suara lembut pria itu. “Suapin,” Orisha merengek. Menimbulkan senyum samar terbit dari wajah Ghazfan. “Kamu masih punya tangan, bukan?” Mata Orisha menyipit, diikuti suara decakan yang keluar dari mulutnya. Yang sekali lagi membuat Ghazfan tersenyum. “Apa susahnya sih berbuat baik? Kata penceramah di TV kalo orang berbuat baik dapat pahala.” Ghazfan memilih duduk di tepian ranjang. Ia mendekatkan nampan yang ia bawa pada Orisha. Sementara Orisha, ia bahkan masih mencebikkan bibir, masih tetap menunggu agar Ghazfan mau menyuapinya. Mulut Orisha terbuka, ia bersiap menerima makanan. Atau sebagai tanda bahwa ia ingin Ghazfan segera menyuapinya. “Suapin napa sih?” ketus Orisha saat Ghazfan tak kunjung mengabulkan keinginannya. “Kan, punya tangan sendiri.” “Dasar Om Gas Selang Regulator nyebelin!” umpat Orisha seraya menyambar nampan dari tangan Ghazfan dengan sedikit kasar. “Keluar sana! Kamu nyebelin.” Dan Ghazfan benar-benar menuruti keinginan Orisha, tak ada niatan untuk sekadar membujuk Orisha. Yang sekali lagi sukses membuat Orisha mengumpatinya sebelum Ghazfan melangkahkan kaki melewati pintu. “Giliran disuruh keluar langsung keluar. Tapi, dimintain buat suapin aja gak mau.” Diomeli oleh Orisha pun, Ghazfan hanya tersenyum. Tidak membalas apa pun lagi ucapannya. Ia hanya menutup pintu kamar Orisha. Definisi romantis dan perlakuan manis antara Orisha dan Ghazfan memang selalu berseberangan. Orisha menginginkan sesuatu yang jelas. Menginginkan pria itu meromantisnya bak di film-film. Ingin dimanjakan layaknya seorang tuan putri yang diperlakukan dengan begitu lembut oleh sang pangeran. Yang justru berbeda, dan sangat berbeda dari cara Ghazfan memperlakukannya. Karena pria itu tidak sekali pun ingin berucap hal-hal yang manis, yang akan membuat hati Orisha sejuk mendengarnya. Ia lebih fokus pada tindakannya, sesuatu yang sederhana, sesuatu yang kebanyakan luput dari kesadaran Orisha. Seperti menyiapkan makanan sehat untuknya atau menungguinya hingga begadang saat penyakit Orisha kambuh. Baru dua langkah setelah keluar dari kamar Orisha, Ghazfan membalik tubuhnya. Pria itu kembali memutar kenop pintu kamar Orisha dan melongokkan kepalanya ke dalam kamar, memastikan jika Orisha sudah mulai makan. "Kenapa lagi?" tanya Orisha dengan suara tak jelas karena mulutnya yang terisi makanan. "Mau nyuapin kamu sih, tapi karena kamu udah makan, yah gak jadi." Orisha menelan makanan di mulutnya dengan cepat, lalu mengiringinya dengan memasukkan seteguk air minum. "Suapin," ia merengek. Ghazfan melengkungkan senyum di wajahnya, "Makanannya diabisin, Sha." Ucapan balasan itu, jelaslah sebuah penolakan, bahwa Ghazfan tak akan mengabulkan keinginan Orisha. Ia memang hanya menggodanya, sering mengambil kesempatan untuk mengerjai gadis itu. "Sha, besok aku keluar kota." "Hmm ... kamu udah bilang kok dari kemaren-kemaren," balas Orisha dengan suara tak bersemangat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD