Bermain Lempar Tangkap Bola Football

1907 Words
Setelah makan bersama, Velgard dan Jace bermain lempar tangkap bola football di halaman belakang rumah. Halaman belakang cukup luas sehingga mereka leluasa melemparkan bola lonjong berujung lancip tersebut. Dikarenakan football adalah olahraga kesukaan mereka, main lempar tangkap pun tak terasa membosankan. “Jadi, apa yang kau butuhkan? Aku yakin kau mengajakku mampir bukan hanya untuk memamerkan bola football-mu yang baru.” Velgard memulai percakapan, ia melemparkan bola dengan santai. Sebagai quarterback, ia memiliki peran menerima bola lalu membawa lari di wilayah musuh sejauh mungkin untuk mendapatkan poin. Itu sudah menjadikan alasan baginya untuk tak memiliki tangan yang terlalu kuat, berbeda dengan Jace yang biasanya memiliki tugas melemparkan bola sejauh mungkin menuju quarterback. “Oh, tentu.” Jace menangkap bola dengan amat mudahnya. “Kau ada waktu untuk malam halloween?” tanyanya, ia kembali melemparkan bola itu dengan ayunan ringan. Bola melambung tinggi membuat Velgard harus mundur beberapa langkah lalu menangkapnya. “Yah, aku tak punya acara. Kenapa memangnya? Kau tak mungkin mengajakku bermain trick or treat, ya kan?” Velgard membalas, ia maju beberapa langkah untuk berdiri di tempat ia terakhir kali berada, langkahnya pelan dan tangan yang memainkan bola itu. “Tentu saja tidak. Kita terlalu dewasa untuk memakai kostum aneh yang norak lalu mengetuk setiap pintu untuk meminta permen dari rumah ke rumah.” Ia menjawab, setelah kalimatnya terlontar, Velgard segera melemparkan bola itu dengan ayunan pelan. “Lalu, kenapa dengan malam halloween?” Velgard menjadi lebih penasaran karena temannya ini jelas memiliki maksud dan tujuan lain ketika membahas hal tersebut. Pada saat itu Jace berhasil menangkapnya. “Aku ingin menakut-nakuti seseorang, mau ikut?” Jace mengajaknya, ia tak langsung melemparkan bola itu, melainkan menunggu persetujuan dari Velgard terlebih dulu. Mendengar bahwa temannya akan memiliki petualangan yang menegangkan, Velgard tentu saja tak akan menolak ajakan darinya, ia langsung ikut serta. “Kenapa kau bertanya? Tentu saja aku ikut, apa rencanamu?” “Yah, maka dari itu aku mengajakmu. Selain untuk mengajak kau bergabung, aku ingin membahas rencananya.” Jace menyahut, kalimatnya mengindikasikan bahwa ia baru memiliki niat akan mengerjai seseorang, tapi ia belum memiliki siasat untuk melakukannya, belum memiliki perencanaan yang tepat sebagai tahapan aksinya. Ia lanjut melempar bola dengan sedikit tenaga, bola menjadi lebih cepat memelesat dari yang terakhir kali. “Oh, yang benar saja. Kau belum punya rencana?” tanya Velgard sinis. Ia terlalu mudah mampu menangkap bola tersebut. “Halloween masih lama, kita memiliki waktu yang cukup untuk membuat rencana.” Jace tak mengiyakan secara langsung, hanya saja nada bicaranya sudah jelas mengatakan bahwa ia memang belum memiliki rencana apa pun dan mereka memiliki waktu yang cukup untuk memikirkan juga menyusun semuanya. Alibi yang sangat sesuai, padahal seharusnya ia berterus-terang saja bahwa dirinya bukan seseorang yang ahli dalam menyusun rencana sehingga ia masih belum menyusun apa-apa meski sudah ada ide untuk mengerjai seseorang. “Oke, jadi siapa target kita?” Kini, ini adalah sesuatu yang wajib Velgard ketahui. Ia tak bertanya ini lebih dulu dan malah mengikutsertakan dirinya sendiri. “Sarah Jordan. Siapa lagi memangnya?” balasnya. Perkataan itu membuat Velgard terkejut, ia tak menyangka bahwa temannya benar-benar nekat melakukan lelucon pada seseorang yang dibenci oleh banyak murid sekolah. Velgard sampai lupa untuk melemparkan bolanya lagi karena mendengar jawaban dari sahabatnya itu. “Kau tak sedang membicarakan guru matematika kita bukan?” tanya Velgard dengan curiga. Sayangnya, Jace malah menyeringai jahat, secara tak langsung itu adalah isyarat bahwa ia membenarkan terkaan Velgard. “Kau pasti bercanda, bukan?” tanya Velgard tak percaya. Sudah bukan rahasia lagi apabila wanita yang menjadi guru mereka adalah seseorang yang tak main-main dan terkenal akan kekerasannya. Ditambah, ia adalah wanita yang diperistri oleh seorang polisi dengan jabatan tinggi di daerah mereka. Siapa orang yang cukup berani untuk balas dendam padanya? “Ayolah, ini akan seru. Kita akan menjadi murid pertama yang akan menyerangnya.” Jace membalas dengan penuh percaya diri mencoba meyakinkan. “Dan kita juga akan menjadi murid yang pertama mati di tangannya.” Velgard menyambung dengan nada yang sarkastis. “Tidak akan sampai separah itu juga, sebenarnya.” Jace menyangkal. Tentu saja, mana ada murid dibunuh oleh guru akibat mereka melakukan lelucon. Selama lelucon itu tidak keterlaluan, maka wajar saja apabila itu terjadi, hal yang namanya lelucon sudah normal dan wajar terjadi. Itu bukan pelanggaran hukum. Tak mungkin seseorang akan marah sampai melakukan pembunuhan. “Entahlah, aku merasa tidak yakin.” Velgard angkat bahu. Sekarang ia malah melempar-lempar bola football itu ke atas, tidak kunjung melemparkannya pada lawan mainnya. “Ayolah, kawan, aku tahu kau pemberani.” Jace jelas tahu bahwa Velgard mungkin saja tidak akan ikut serta, maka dari itu ia sebisa mungkin membujuk temannya itu. “Tapi ini berbeda, kita hanya akan melakukan misi bunuh diri jika mengerjainya.” Velgard membalas mencoba memberi tahu bahwa melakukan ini bukanlah sesuatu yang paling tepat. “Tidak akan kalau kita punya strategi yang bagus.” Jace tetap yakin. Velgard tahu bahwa apabila temannya ini sudah memutuskan sesuatu, maka akan sangat sulit untuk mengubah pikirannya. Terkadang seorang Jace Miller bisa keras kepala dan Velgard kemungkinan tidak akan mampu meyakinkannya untuk berubah pikiran. Jace berjalan mendekat pada Velgard, pada saat itulah bola di tangan Velgard langsung dilemparkan pada pria itu. “Sulit juga bicara denganmu, kau harus merasakan kengerian wanita jahat itu secara langsung agar bisa sepemikiran denganku,” ucap Velgard getir. Rasanya akan percuma saja untuk berusaha meyakinkan temannya ini. “Begitulah. Jadi, aku bisa asumsikan kalau kau setuju, bukan?” balas Jace dengan cengiran yang khas. Velgard angkat bahu sebagai tanggapan dan jawaban. “Apa hanya kita saja?” Velgard balas bertanya. Rasanya akan sangat mustahil melakukan lelucon pada seseorang yang mengerikan hanya dengan anggota dua orang saja. “Edgar dan Nathaniel bisa ikut, kita bisa memaksa mereka bergabung. Kita bisa mengajak tim kita jika kau merasa terlalu sedikit kru.” Jace membalas begitu entengnya seolah para berandalan teman mereka akan langsung setuju dan memiliki niat k**i yang sama untuk melakukan balas dendam terhadap wanita yang menjadi guru mereka. Mendengar itu, Velgard sedikit tersenyum karena ia tahu bahwa ia tidak sendirian lagi, apabila ulah mereka berakhir dengan mendapat hukuman, maka ia tidak akan menjalaninya seorang diri, akan ada teman yang akan menemaninya. Terkecuali teman-teman brengseknya berkhianat dan menumbalkan dirinya. Tapi Velgard yakin bahwa hal itu tak akan terjadi, teman-temannya bukan orang yang kejam, mereka juga memiliki rasa solidaritas tinggi. Tidak akan ada orang yang akan mempermainkan dan berkhianat padanya. “Oke, kedengarannya menarik. Kita buat guru mengerikan itu ketakutan setengah mati.” Velgard langsung melontarkan kalimat persetujuan secara jelas saat ini, itu membuat Jace menyeringai puas. “Kita harus membuat rencana sebagus mungkin, bukan? Kalau kita ketahuan, maka kitalah yang akan dibuat ketakutan setengah mati.” Velgard lanjut berbicara membuat Jace mengangguk. “Maka dari itu, selagi halloween masih lama, kita harus merencanakan banyak hal,” balas pria itu. “Kedengarannya menyusahkan bagiku.” Velgard berbicara dengan nada yang tak senang. Jace kembali mundur memberi jarak, ia sudah bersiap hendak melemparkan bola football itu lagi. “Ayolah, kapan lagi kita akan memiliki kesempatan?” tanyanya sambil melemparkan bola ke atas membuatnya melambung agak tinggi. “Mungkin tahun ini kesempatan terakhir kita.” Velgard menjawabnya, kemudian ia menangkap bola dengan satu tangan yang mana itu gagal dirinya lakukan. Ya, tahun ajaran berikutnya mungkin akan berubah, lagi pula siapa yang tahu kalau guru matematika itu akan terus mengajar. Tahun berikutnya kemungkinan akan ada banyak terjadi perubahan sehingga tahun ini kemungkinan besarnya adalah kesempatan terkahir mereka untuk melakukan balas dendam. “Nah, kau tahu sendiri.” Velgard berjalan untuk mengambil bola yang lepas dari tangannya itu. “Oke, oke. Kita buat rencana dan pendanaan.” Velgard berhasil mengambil bolanya, tapi ia tidak melempar lagi. “Bukan kita yang membuat rencana, tapi kau.” Jace mengoreksi sambil menunjuk Velgard. Ia menegaskan bahwa dirinya akan ikut membuat rencana. “Ya sudah, tapi kau yang merekrut anggota lain dan mengurus sisanya.” “Tentu saja, aku ahlinya.” “Bagus.” Mereka langsung mencapai kesepakatan mengenai pengambilan tugas masing-masing. Velgard mungkin salah satu murid terbaik dan paling cerdas di Morgana High School, tapi ia memiliki otak bagus hanya dalam pelajaran saja, entah ia bisa memiliki ide cerdas yang bisa digunakan untuk melakukan lelucon nakal itu. “Kau tak akan melempar bolanya?” tanya Jace yang sudah menunggu Velgard melempar bola yang ada pada tangannya. “Aku bosan.” Velgard melemparkan bola itu padanya dengan lemas. “Tak asyik.” “Oh iya, karena minggu depan juga kita akan melakukan pertandingan, pelatih meminta kita lebih sering latihan. Apa itu sanggup bagimu? Mungkin saja kita akan sibuk untuk beberapa lama, siapa yang tahu apa saja pekerjaan macam apa yang akan menyita waktu kita.” “Tentu, kenapa tidak? Aku akan senang melakukannya.” “Bagus.” Jace melemparkan bola tinggi-tinggi membuat bola melambung, Velgard berlari mencoba menangkapnya. Ia sudah melihat ke mana arah bola itu akan jatuh, maka dari itu ia menambah kecepatannya. Sayang sekali pada saat itu, pandangan matanya tiba-tiba kabur dan yang dirinya lihat kini berubah menjadi berwarna biru, bahkan ia merasakan sensasi panas pada mata kirinya. Karena gangguan itu, Velgard yang awalnya berniat menangkap bola itu segera mengurungkan niatnya. Hasilnya adalah, bola itu langsung jatuh tepat menghantam wajahnya, hantaman tersebut langsung membuatnya jatuh terlentang seketika. “Oh, Tuhan, kenapa kau?” Andrea segera menertawakannya dengan kencang. Wanita muda itu baru saja berjalan keluar rumah langsung mendapatkan suguhan yang membuatnya geli. Adegannya benar-benar tepat karena Velgard terhantam tepat di bawah bersamaan dengan ia yang datang. “Vel, harusnya kau menangkap bola dengan kedua tanganmu, bukan dengan wajahmu.” Andrea segera mengolok-olok pria itu sebelum kembali mentertawakannya. “Ow, sial.” Velgard sendiri masih terkapar, ketika Jace sudah tiba di sana, ia melihat Velgard menutupi wajahnya, lebih tepatnya mata kirinya. “Itu lucu, Andy, kenapa kau tak membawa obat atau semacamnya?” ketus Jace sinis, setelahnya ia beralih memandang Velgard lalu berusaha membantunya berdiri, usahanya hanya bisa membuat Velgard duduk. “Hei, dia bukan bayi yang suka merengek, untuk apa membawa obat?” balas Andrea. “Kau oke?” tanya Jace. Ia mengabaikan wanita yang menjadi kakaknya itu. “Sedikit pusing. Aku tak melihat bolanya datang, mataku seperti kemasukan sesuatu. Tolong antar aku ke toilet, ini sangat perih.” Velgard membalas sambil masih menutupi mata kirinya dengan tangan kanan. Hantaman bola itu sama sekali tak memberinya luka apa-apa, saat ini ia sendiri masih merasakan sensasi panas pada matanya, tidak merasa sakit pada bagian tubuh mana pun. “Oke, oke, berikan tanganmu.” Jace meraih tangan Velgard lalu membuatnya berdiri, Jace menuntun Velgard berjalan menuju rumah. “Oh, apa ini, kalian mau kencan?” tanya Andrea seenaknya. Ia masih suka menganggap adiknya itu seorang yang berkelainan. “Matanya kemasukan sesuatu, sepertinya ludahmu terbang masuk ke matanya,” balas Jace sinis, dengan sengaja ia menabrak Andrea yang memang menghalangi jalan, sayang wanita itu masih bergeming meski sudah ditabrak. “Iuh, itu menjijikkan kau tahu. Lagi pula sejak kapan aku meludah?” tanyanya. “Oh, menyingkirlah.” Jace agak kesal. Andrea terkekeh lalu mengulurkan tangan mempersilakan. Buru-buru mereka pergi menuju kamar mandi. Setibanya di depan pintu kamar mandi, Jace melepaskan Velgard, pria itu langsung masuk tergesa untuk memeriksa matanya. Pintu e langsung dikunci rapat. “Katakan padaku kalau kau perlu sesuatu!” seru Jace. “Akan kulakukan!” sahut Velgard yang langsung berjalan ke hadapan cermin. Pada saat itulah, ia melihat jika pupil mata kirinya mengeluarkan pendaran cahaya berwarna biru terang. Hal tersebut memberikan sensasi panas pada matanya “Oh tidak, kekuatanku muncul lagi.” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD