Bab 1. Malam Petaka Bagi Lily

1013 Words
Suara gemericik air menyamarkan isak tangis yang menggema di sebuah kamar, di salah satu apartemen mewah. Guyuran air shower membasahi tubuh seorang lelaki yang awalnya penuh peluh. Sebuah seringai terulas di bibirnya. Saat mengingat beberapa saat yang lalu. Ia telah merasakan kenikmatan sebuah penyatuan, yang begitu berbeda dari sebelum- sebelumnya. Tangan kanannya yang kekar dan berotot terulur, lalu memutar kran shower untuk menghentikan aliran air yang membasahi tubuhnya. Diusapnya wajah dengan rahang yang tegas, serta bulu-bulu halus yang tumbuh pada dagu dan juga bawah pipinya. Kini, lelaki itu pun meraih selembar handuk putih dan mengeringkan tubuhnya. Lalu melingkarkan handuk tersebut pada pinggang hingga menutupi lutut. Dengan langkah yang tegap. Dibukanya pintu kamar mandi. Suara yang sedari tadi ia dengar kembali berdengung. Namun, hanya sebuah seringai yang lagi-lagi menghiasi bibirnya. Seorang wanita nampak duduk di atas ranjang berukuran king size, dengan selimut putih yang membalut tubuhnya, hingga mencapai atas dadanya saja. Rambut panjang bergelombangnya pun nampak berantakan dan air bening pun luruh dari kedua matanya yang sembab. "Apa kamu tidak lelah menangis terus menerus hm?" Pertanyaan yang akhirnya lelaki itu layangkan. Bagi gadis yang telah memberikannya sebuah sensasi yang berbeda, melalui sebuah pergumulan. Lelaki itu adalah Rainer Christian Wilson. Seorang CEO sekaligus pemilik dari Time Luxury, produsen jam tangan mewah, yang sudah tidak diragukan lagi eksistensinya. Ia nampak menarik laci nakas. Mengambil dompet dan mengeluarkan sesuatu dari dalam sana. "Ini, ambillah! Dan jangan pernah menceritakan apa yang terjadi malam ini, kepada siapapun itu! Termasuk, Russell." Sebuah kalimat ancam disertai uluran tangan, dengan jari yang mengapit sebuah black card di tangan kanannya. Dan Wanita itu adalah Lily Silvia Kusuma. Wanita yang menjadi orang terpenting bagi orang yang Rainer sebutkan namanya tadi, yang tak lain adalah adiknya sendiri. "Kenapa? Terimalah! Anggap saja, sebagai bayaran untuk tadi," ucapnya lagi dengan begitu enteng. Karena Lily hanya bergeming sedari tadi. Tanpa menerima uluran black card dari tangannya. "Aku nggak butuh!" pekiknya dengan lantang. Ia sudah sangat muak dengan lelaki yang tidak menampakkan penyesalan sedikitpun. Setelah mengambil apa yang berusaha Lily jaga selama ini. "Hei ayolah. Wanita mana yang tidak butuh dan tidak menginginkannya. Jangan sok jual mahal. Jangan berlagak tidak membutuhkannya. Memangnya, apa yang kamu incar dari adikku, kalau bukan untuk hal semacam ini? Jangan munafik. Ambillah! Beli apapun yang kamu inginkan." Rainer berkata dengan begitu arogannya sambil meletakkan black card ke atas nakas. Sementara Lily mengusap air yang membasahi pipinya. Dan bersiap menantang orang yang sudah merenggut hal berharga, yang selama sembilan belas tahun ia jaga. "Kenapa Russell harus memiliki kakak yang berhati iblis seperti kamu!!" rutuk Lily yang membuat langkah Rainer untuk pergi terhenti. Rainer kembali berbalik dan menyunggingkan senyumnya. Ia mendekat, lalu mengulurkan tangannya yang kekar dan mencengkram rahang Lily dengan kasar. "Kamu menyebutku apa tadi? Coba katakan sekali lagi?" tanya Rainer dengan penuh penekanan. Lily hanya diam. Ia tak dapat menjawab. Karena rahang yang sedang ditekan dengan kencang. Rainer tersenyum menyeringai. Dan ada sebuah ide gila, yang sedang berputar di dalam kepalanya. "Sepertinya, kita bisa melakukannya sekali lagi. Aku masih belum puas," ucap Rainer dengan senyum menyeringai. Lily terbelalak. Kedua kelopak matanya terbuka lebar-lebar. Ia tak menyangka bila pemberontakannya akan berakhir seperti diawal tadi. Cengkraman pada rahang dilepaskan. Tubuh Lily nampak gemetar. Dan kedua tangan Rainer mencengkram kedua bahu Lily dengan kasar dan menekannya, hingga jatuh ke atas ranjang. Lily sudah tak mampu lagi berontak. Tubuhnya yang mungil, kalah tenaga dengan orang yang tengah mengungkung tubuhnya saat ini. "Lepas," lirihnya dengan sisa tenaga yang ia punya, untuk terlepas dari cengkraman hewan buas, yang akan memangsanya untuk kali kedua. "Aku akan melepaskan mu. Tapi, setelah kita bersenang-senang lebih dulu tentunya." Air bening luruh dari sudut matanya yang sendu. Lagi. Hal yang ia benci terulang kembali. Rasanya, ia sudah tidak tahan lagi. Menjadi tempat pelampiasan, bagi orang yang telah gelap mata ini. Beberapa puluh menit setelahnya. Rainer menyandarkan kedua tangannya pada pagar pembatas balkon. Menikmati sebatang rokok, yang diapit oleh jari tengah serta jari telunjuk tangan kanannya. "Tolong buka pintunya aku mau keluar. Aku mau pulang," pinta sebuah suara di belakang tubuh Rainer. Sontak Rainer memutar tubuhnya dan menemukan wanita, yang tadi memberikannya kenikmatan, yang begitu berbeda, tengah berdiri persis di belakang tubuhnya saat ini. "Boleh saja. Tapi, sesuai dengan apa yang aku katakan tadi. Jangan katakan apa yang terjadi malam ini. Kepada siapapun itu!" cetus Rainer dengan penuh penekanan. Lily tak punya pilihan. Dan tidak bisa memilih memang. Lagipula, siapa yang ingin membongkar aibnya sendiri. Sudah sepatutnya. Ia menutup rapat tentang apa yang sudah terjadi kepada dirinya bukan? Sebuah anggukan kepala Lily ciptakan. Ia tidak ingin berakhir di atas ranjang itu lagi. Dan ingin segera pergi. Tak peduli, bila hujan yang begitu deras masih terjadi di luar sana. Yang terpenting, ia bisa segera keluar dari dalam kandang singa. Sebelum menjadi mangsa, untuk yang kesekian kalinya. Rainer berjalan lebih dulu ke arah pintu keluar. Namun, sebelum mencapai pintu. Rainer pergi ke arah ranjang besarnya lagi. Saat melihat, black card yang masih tersimpan rapi di atas nakas, lalu ia pun meraihnya dan lagi-lagi mengulurkannya kepada Lily. "Ambillah! Aku tidak mendapatkan kepuasan secara cuma-cuma." Tangan Rainer terulur dan Lily hanya dapat menatap nanar uluran tangan Rainer. "Ayo ambil tunggu apalagi?" perintah Rainer yang langsung disambut oleh Lily. Ya, Lily mengambil apa yang kakak dari kekasihnya itu berikan. Namun, ketika pintu dibuka dan Lily melangkahkan kakinya keluar. Ia memutar tubuhnya dengan cepat dan melemparkan black card tepat di wajah Rainer. Lalu berlari pergi dan menjauh. Rainer yang sempat tertegun pun menyunggingkan senyuman. Ia nampak menggelengkan kepala dan memungut black card di bawah kakinya. Lalu memandanginya sejenak, sebelum akhirnya berucap sendiri. "Wanita macam apa dia? Tidak butuh uang? Atau sudah mendapatkan cukup banyak dari Russell. Hingga tidak menginginkannya dariku," ucap Rainer dengan begitu enteng ia kembali ke dalam dan menutup rapat pintu apartemennya kembali. Lalu pergi ke arah tempat tidur dan langsung melihat bercak kemerahan yang masih tersisa, di atas seprai putih. "Benar-benar masih perawan. Aku pikir, aku salah melihat tadi. Pantas saja, rasanya begitu berbeda," gumam Rainer seraya menarik seprai dan menggantinya dengan yang baru. Agar orang yang nantinya datang, tidak akan curiga dengan apa yang telah terjadi tadi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD