Bab 3. Penyesalan

1026 Words
Lily melangkah dengan gontai ke arah teras rumahnya. Hujan deras yang mengguyurnya tubuhnya tadi. Tidak Lily hiraukan sedikitpun. Ia menerobosnya begitu saja. Meskipun terasa begitu dingin dan membuat tubuhnya benar-benar lebih basah dari sebelumnya. Tapi, siapa peduli? Toh air sederas itu pun tidak mampu membersihkan noda, yang sudah terlanjur melekat dengan sangat erat di tubuhnya kini. Ketukan pintu Lily lakukan dan dengan cepat, orang yang memang menunggunya pulang membukakan pintu bagi Lily. "Ya ampun, Lily. Kenapa jadi basah kuyup begini? Memangnya kamu tidak membawa jas hujan??" tanya wanita yang memberikan Lily raut wajah khawatir dan itu adalah sang mama, Jasmine. "Iya, Ma. Lily lupa." Perkataan yang Lily ucapkan dengan sebuah senyuman yang dipaksakan dan bibir yang bergetar. Bukan hanya karena udara dingin. Tapi karena sebuah tangisan yang ia tahan, agar tak keluar. Tanpa banyak bicara lagi, Jasmine membawa putri sulungnya masuk dan memberikannya handuk. "Ya sudah sana. Kamu mandi dan ganti pakaian kamu ya?" perintah Jasmine seraya menutupi bahu Lily dengan handuk. Lily mengangguk patuh dan pergi ke atas, lalu masuk ke dalam kamarnya. Satu persatu pakaian yang melekat pada tubuh Lily, ia tanggalkan. Hingga menyisakan tubuhnya yang polos. Sambil berdiri di bawah guyuran air shower, Lily mengangkat kedua tangannya dan meletakkan pada kedua bahunya dengan posisi menyilang. Seketika, ingatan buruk tadi kembali berputar di dalam kepala Lily. Membuat isak tangisnya kembali pecah. Saat mengingat apa yang terjadi tadi. "Aaarrgghhhh!" teriakkan yang Lily lakukan dengan kran air yang menyala. Berharap, suara gemericiknya bisa menyamarkan teriakan mulut beserta dengan batin Lily. Lily mengusap tubuhnya dengan kasar. Berusaha menghilangkan noda yang telah diberikan kepadanya. Namun, seberapa keras usahanya untuk mengusap, noda itu tidak menghilang sedikitpun dari tubuhnya. Lagi-lagi sebuah teriakan ia lakukan. Untuk melupakan rasa sesak, yang terasa begitu mengikat di dalam dadanya. Merutuk pun sudah tidak ada gunanya lagi. Bak sebuah kaca yang pecah dan tidak akan lagi sama bila direkatkan. Ia benar-benar tidak menyangka, bila kakak dari kekasihnya sendiri, memiliki sifat dan yang perilaku yang bertolak belakang dengan kekasihnya itu. Padahal, awalnya Lily mengira mereka tidak jauh berbeda, mengingat mereka bersaudara dan merupakan orang berada serta berpendidikan. Namun ternyata, pikirnya salah. Kenapa juga ia tidak curiga dan waspada? Andai waktu bisa diulang kembali. Mungkin, Lily lebih memilih untuk pergi dan tidak masuk ke dalam perangkap, yang dibuat dengan begitu rapi dan menyesatkan. Sekarang harus ia harus apa? Ia harus bagaimana? Melupakan semuanya? Berperilaku seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Bertingkah seperti tidak ada hal buruk yang sudah terjadi dan menimpa dirinya? Memikirkan hal itu saja, sudah cukup membuat Lily merasakan, rasa sakit di kepalanya. Sudahlah. Jangan lagi memikirkannya. Jangan lagi memikirkan apa yang sudah terjadi tadi. Karena hal itu hanya membuat Lily semakin bingung saja. Kran air dimatikan. Lily membalut tubuhnya dengan selembar handuk putih dan pergi ke arah wastafel. Dahinya mengernyit, ia memandangi dirinya melalui pantulan cermin di depannya saat ini. Tangan kanannya nampak meraba ke arah dadanya, menyentuh sebuah noda merah, yang tercipta dan dibuat oleh orang yang tidak berperasaan tadi terhadapnya. Seketika, bayangan kejadian tadi kembali berputar di dalam kepalanya. Lily mengusap kasar noda merah tersebut. Mencoba untuk menghilangkannya. Namun percuma saja. Noda itu masih melekat di sana. Tidak berkurang sedikitpun, apalagi menghilang. Tak ingin terus menerus dibayangin oleh penyatuan yang terjadi tadi. Lily pergi dan keluar dari dalam kamar mandi. Dibalutnya tubuh Lily yang polos, dengan piyama bermotif bunga sakura. Ia tak ingin melihatnya. Tidak ingin terus terbayang dengan hal buruk yang telah menimpanya dan memilih, untuk merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur dan mencoba untuk terlelap. Meskipun, rasanya begitu sulit. Siang harinya. "Kamu benar-benar luar biasa sayangh." Suara berat dan parau, milik seorang lelaki disertai napas yang terengah. Lily terbelalak. Ia melonjak bangun dari atas tempat tidur. Dengan napas terengah-engah, sambil mengedarkan pandangan ke arah sekelilingnya. Ini adalah kamarnya. Dan ini adalah tempat tidurnya. Bukan ranjang besar yang telah menjadi saksi bisu. Saat ia kehilangan sesuatu yang paling berharga dari dirinya. Lily menelan salivanya sendiri. Lalu mengusap peluh yang membasahi dahinya dengan kedua tangannya dan mencengkram rambut bagian depannya. Bahkan, kejadian semalam masih saja menghantui hingga ke dalam mimpi. Padahal, ia sudah mencoba melupakan semuanya dan menganggap semua hanyalah mimpi belaka. Tapi, kejadian semalam benar-benar membekas dan sulit untuk dilupakan begitu saja. Lily mulai mencoba menyibak selimut dari atas tubuhnya, lalu turun dari atas tempat tidur, mengambil pengikat rambut dari laci nakas dan mengikat rambut panjangnya ke atas. Sebelum akhirnya pergi ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya dan bersiap pergi ke sekolah. Di ruang makan. Lily bergeming sambil memandangi roti berselai stroberi di tangannya. Tak ada gerakan lain yang ia lakukan. Karena Lily, tengah tenggelam di dalam dasar pikirannya. Sebelum akhirnya tersadar, saat Jasmine menyentuh bahunya. "Hei, kok melamun?" tanya Jasmine yang melihat keanehan pada putrinya pagi ini. "Ha? Kenapa, Ma?" tanya Lily ketika ia tersadar dari lamunannya. "Kamu sakit?" tanya Jasmine yang langsung bangkit dari kursinya, demi menyentuh dahi Lily. "Agak hangat," ucap Jasmine dengan tangan yang masih menempel pada dahi Lily. "Lily nggak apa-apa kok, Ma." Senyuman yang dipaksakan Lily lakukan. Demi menghilangkan kekhawatiran yang sang ibu rasakan. "Kamu yakin? Agak hangat lho. Apa tidak sebaiknya, kamu beristirahat di rumah dan tidak usah masuk sekolah hari ini?" saran Jasmine seraya kembali duduk pada kursinya. Lily menggeleng pelan dan memberikan penolakan. "Lily baik-baik aja kok, Ma. Lily mau tetap masuk hari ini. Ujian cuma tinggal kurang dari tiga bulan lagi. Nanti Lily tertinggal pelajaran." "Iya. Tapi kalau memang tidak kuat tidak usah dipaksakan. Daripada nanti kenapa-napa di jalan? Bagaimana?" ujar Jasmine penuh khawatir. "Ya sudah. Kamu pergi bersama Papa saja kalau begitu, tidak usah naik motor dulu hari ini," saran yang diberikan oleh lelaki yang tidak lain adalah ayah dari Lily sendiri, Jason. "Iya benar. Kamu berangkat bersama Papa saja ya? Sekarang, kamu habiskan dulu sarapannya. Minum obat, baru berangkat." Saran Jasmine. Lily mengangguk patuh. Ia melahap roti di tangannya dengan perlahan. Ia tidak berselera. Tidak ingin memakan apapun. Tapi, kalau ia tidak melakukannya sang Mama pasti akan lebih khawatir lagi. Hingga sarapan usai. Lily pun diantarkan ke sekolahnya dan baru saja keluar dari mobil, seseorang nampak memperhatikan Lily dari kejauhan. Orang tersebut pun mendekat dan langsung mencengkram lengan Lily. Sontak Lily menoleh dan menatap seseorang, yang tengah menyentuh lengannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD