Pagi di Jakarta, kediaman Basri.
"Eyang Lan, Amil akan ke lumah kakak Ami untuk belmain, boleh, yah?" suara cadel Amir–bocah laki-laki berusia 2,5 tahun terdengar, seperti biasa, Amir menyendok bubur ayam ke arah mangkuk Randra–kakek buyut, "Kakek Lan makan bubul ayam, sehat dan umul panjang," rayu bocah dua setengah tahun itu.
(Note : Amir digambarkan sebagai anak dua tahun yang lincah namun cadel karena usianya, penulis membuat beberapa plesetan kata atau huruf untuk percakapan Amir, huruf 'r' menjadi 'l'.)
Randra tersenyum, dia mengangguk, "Boleh, tidur di rumah kakek Ibas untuk beberapa hari juga boleh," jawab Randra.
"Yes!" senang Amir, dia mengepalkan tangan kecil berisinya merasa senang.
"Pergi dengan kakak Adam?" tanya Randra.
Amir hendak menggeleng, kalau pergi dengan kakaknya, pasti akan cengeng. Mana mau kakaknya jauh - jauh dari rumah? pergi bermain di luar pagar saja harus dia tarik. Itupun sampai sang kakak diseret - seret oleh Amir. Adam yang pendiam dan penakut bak masa kecil sang ibu Ariella, hanya pasrah. Sudahkah Adam katakan bahwa dia ingin jadi perempuan saja? kasihan Adam, ditindas terus oleh adik laki-lakinya yang nakal.
Adam menunduk takut. Dia tak ingin pergi dengan sang adik, sebab bocah empat setengah tahun itu tahu, jika dia pergi dengan sang adik, maka adiknya pasti berbuat sesuatu hal yang akan membuat dia takut lagi, bisa saja memberikan dia ekor cicak seperti kemarin mereka bermain.
"Ya," sahut Amir lesu setelah dia mempertimbangkan situasi dan kondisi, bocah pintar itu melihat suasana hati sang kakek buyut yang ingin sekali dia pergi membawa kakaknya ke rumah sepupu mereka.
Biar bagaimanapun juga, Adam adalah sang kakak. Eyang - nya selalu mengatakan bahwa saudara harus saling bawa dan melihat satu sama lain, sebengis - bengisnya dia sebagai adik, namun masih menjunjung tinggi persaudaraan.
Adam yang mendengar sahutan 'ya' dari sang adik ingin segera pingsan.
Rendra tersenyum geli, dia melihat ke arah cicitnya Amir, "Amir, ingat apa kata Eyang Ran?" tanya Randra, dia ingin mengetes apakah sang cicit ini masih mengingat apa yang dia ajarkan dan katakan pada cicitnya.
Amir terlihat diam. Alamat diceramah lagi oleh sang Eyang, pikir Amir. Dia berusaha untuk menjawab pertanyaan sang kakek buyut.
"Apa yang Eyang Ran bilang padamu tadi malam saat tidur bersama Eyang Ran?" tanya Randra.
Amir duduk tegak sambil melirik ke arah sang kakak yang menunduk takut dengan arah lirikan adiknya, "Eyang Lan bilang saudala halus saling sayang, saling jaga dan jangan saling menindas yang lemah tapi me … melindungi yang lemah," jawab Amir mengingat ucapan sang kakek buyut.
Randra mengangguk membenarkan. Daya ingat cicitnya ini sangat kuat. Gen jenius yang dipadukan dari Basri, Ruiz, Nabhan dan Rousseau sepertinya melekat pada diri Amir.
"Bagus, Amir pintar," puji Randra.
Amir tersenyum senang setelah mendengar pujian dari sang kakek buyut, semakin dia disanjung oleh sang kakek buyut, semakin dia punya kuasa untuk memerintah siapa saja di rumah ini, sebab sang kakek buyut adalah penguasa keluarga Basri.
Randra tersenyum pada Adam, "Adam juga pintar, selalu mengambilkan Eyang Ran air minum."
Randra harus adil dalam memuji cicit-cicitnya, tidak boleh tumpang tindih, nanti ada perselisihan.
Setelah mendengar ucapan sang kakek buyut, Adam buru - buru mengambil air mineral hangat untuk Randra. Dia sangat bersemangat ketika mendengar pujian dari kakek buyutnya.
°°°
Dua mobil terlihat meninggalkan kediaman Basri, mobil di depan ditumpangi oleh dua tuan kecil Basri, Amir Aji Basri dan Adam Frederick Basri dengan satu supir. Sedangkan di belakang mobil mereka ada mobil yang ditumpangi oleh tiga orang bodyguard, termasuk yang mengemudi.
Di dalam mobil jok penumpang, dua tuan kecil Basri duduk di kursi anak - anak. Amir menoleh ke arah kanan, "Tenang, sampai di lumah kak Ami dan Tante Chana, Amil tidak akan menindas kakak Adam, Amil sekarang anak baik, tadi Eyang Lan baru saja mengatakan hal baik tentang saudala," ujar bocah cadel itu. Sang supir yang berada di depan ingin tertawa. Meskipun tuan kecil ini nakal, namun dia juga lucu dan penyayang.
Adam hanya mengangguk saja. Anak pemalu seperti dia hanya diam.
Berbeda dengan sang kakak yang diam selama perjalanan ke rumah utama Nabhan, Amir sangat aktif dan bersemangat. Dia bahwa bernyanyi lagu-lagu untuk menghibur penumpang di dalam mobil.
"Satu ditambah satu, sama dengan dua, dua ditambah dua sama dengan empat, empat ditambah empat sama dengan delapaaan, delapan ditambah delapan sama dengan enam beeeelaaass!"
Suara riang Amir terdengar di seisi mobil, sang kakak hanya mendengar adiknya bernyanyi sedangkan sang supir ingin rasanya terbahak. Tuan kecil ini menyanyi dengan sangat khusyuk.
°°°
Kediaman Nabhan.
Keluarga Nabhan sudah selesai sarapan pagi satu jam yang lalu. Kini Chana dan Aqlam sudah siap untuk pergi ke RajaAmpat untuk berlibur. Mereka akan terbang dari bandar udara Soekarno-Hatta ke bandara Eduard Osok di Sorong. Bandara itu yang dekat dengan lokasi RajaAmpat.
Pintu mobil untuk dimasuki oleh pasangan suami istri itu terbuka tanda bahwa mereka akan masuk dan akan berangkat, namun pintu gerbang Nabhan terbuka, tanda bahwa ada orang yang datang. Dan yang datang itu adalah dua tuan kecil Basri, mereka berkunjung ke rumah kakek dan nenek mereka. Jangan tanya kakek dan nenek mereka yang mana, kadang Amir berpikir bahwa mereka terlalu memiliki banyak kakek dan nenek, dan mereka semua masih hidup.
Sang ibu waktu kecil memilih tinggal bersama paman dan bibinya, jadi Amir memiliki banyak kakek dan nenek.
Dua buah mobil masuk dan berhenti tepat berhadapan depan mobil dengan mobil yang akan dinaiki oleh Aqlam dan Chana. Pasangan suami - istri itu masih berada di dalam.
Supir Basri turun lalu membuka pintu milik tuan kecil Amir lebih dulu, jangan tanya mengapa, karena tuan kecilnya ini terlalu bersemangat melihat rumah utama Nabhan di depan mata. Amir tidak sabar untuk bermain dengan kakak sepupunya dan bertemu dengan sang tante–Chana.
Cus!
Amir lompat dari mobil tanpa menunggu mobil bodyguard sandar dan membantunya untuk turun. Sang supir berjalan ke seberang dan membuka mobil untuk tuan kecil Adam, lalu membuka pengaman di kursi anak-anak.
Amir hendak berlari masuk ke dalam rumah utama Nabhan, namun perhatiannya teralihkan ke arah mobil yang pintunya terbuka. Mata bocah dua tahun itu menyipit ke arah dalam mobil. Ada yang menarik perhatiannya di bawah kursi mobil. Tanpa pikir panjang dengan kecepatan kilat Amir ….
Cus!
Bunyi desiran angin.
Amir aik ke dalam mobil.
Sementara itu tiga bodyguard Basri keluar dari mobil sedangkan supir baru saja menurunkan tuan kecil Adam Basri. Adam berjalan masuk diantar oleh sang supir. Bodyguard Basri dan Nabhan sudah saling mengenal, hal ini disebabkan karena pernikahan antara Basri - Nabhan, juga persahabatan erat dua keluarga besar itu sejak lama.
Ketika Adam memasuki rumah, dia melihat sang kakak dari ayahnya dan Paman sedang merangkul tantenya berjalan keluar.
"Oh? Adam?" Chana menatap kaget ke arah Adam yang masuk.
Adam tersenyum malu - malu ke arah sang bibi. "Tante Chana," ujar Adam pelan.
Chana jongkok ke arah Adam, "Tante Chana sayang dulu, mmcuuahh!"
Adam tersenyum malu - malu. "Manisnya, Aqlam, Adam anak yang manis, kan?" ujar Chana.
"Ya, Adam anak yang manis," sahut Aqlam.
"Nyonya," salam supir. Tiga bodyguard berjaga di luar.
Chana mengangguk sebagai balasan.
"Adam saja?" tanya Chana.
"Dengan tuan kecil Amir, tapi sudah masuk lebih dulu," jawab supir sopan. Sang supir berpikir tuan kecil Amir telah masuk lebih dulu ke dalam rumah Nabhan.
Chana mengangguk mengerti, mungkin dia tidak melihat Amir. Chana melihat ke arah Adam, "Tante Chana ingin main dengan Adam dan Amir, tapi sayang sekali, hari ini Tante dan Om Aqlam harus pergi ke RajaAmpat, nanti pulang baru kita main, yah?"
Adam mengangguk, "Baik, Tante."
"Aahh, anak yang penurut." Gemas Chana.
Aqlam tersenyum, sang istri terlihat bahagia. "Main bersama Kakak Ami?" tanya Aqlam, karena sang istri gemas dan menyukai Adam, Aqlam berinisiatif untuk membuka suara iritnya pada Adam, ditambah lagi Adam anak yang penurut dan anak dari adik sepupu perempuannya yang telah dia anggap adik sendiri sejak kecil tinggal bersama.
Adam mengangguk, "Iya, Om Aqlam. Adam dan Amir ingin main bersama Kakak Ami dan Kakek Ibas dan Nenek Tika."
Aqlam mengusap rambut Adam.
"Om dan Tante akan pergi, baik - baik dengan Amir dan Kakak Ami, yah?" ujar Aqlam.
"Iya, Om," sahut Adam menurut sambil mengangguk.
"Aduuhh, manisnya," ujar Chana gemas.
"Sayangnya Amir sudah ke dalam, mungkin sudah main bersama Fahmi, ah, jangan sampai kita telat, ayo!" ujar Chana.
Aqlam dan Chana masuk ke dalam mobil, mobil berjalan sementara itu Adam dan supir masuk ke dalam rumah menyapa tuan besar dan nyonya besar Nabhan. Di ruang tamu kediaman Nabhan, ada sebuah foto pernikahan yang sudah tua namun masih terawat, foto pernikahan itu orang tidak akan percaya sudah berapa umurnya. Sudah hampir 100 tahun.
Ketika Adam melihat Atika dan Nibras yang sedang duduk di ruang keluarga bersantai, ada juga Fahmi yang baru turun dari kamar menuju ke taman, namun Fahmi lebih dulu ke taman sebelum bertemu dengan Adam yang masuk.
"Kakek Ibas, Nenek Tika." Suara manis Adam terdengar, suara manis ini tak dibuat - buat, memang suara Adam sangat halus dan manis.
Atika dan Nibras menoleh serentak ke arah suara. Mata Atika berubah menjadi biji love besar. "Ya ampun, Adam!"
Atika berdiri dari kursi lalu menerjang Adam dengan ciuman di seluruh wajah.
°°°
Di dalam mobil yang dinaiki oleh Chana dan Aqlam ada seorang anak kecil yang duduk bermain sesuatu di belakang mobil, tepatnya bagasi. Bocah itu sedang mengutak - atik sebuah benda seukuran telapak tangan orang dewasa, ada beberapa benda kecil seukuran jari kelingkingnya keluar dari benda itu, warnanya kuning tembaga, dan bocah itu itu berumur dua tahun. Dan benda itu adalah ….
*Pistol.
°°°