Orang tua kolot

1041 Words
Sejak saat itu Sean benar-benar tidak pernah menyentuh ponselnya lagi ia hanya akan menyentuh bila ada tugas sekolah atau yang berhubungan dengan pendidikan. Beberapa temannya sangat terkejut karena mendapat kabar bahwa Sean hiatus dari dunia game. “Lo beneran hiatus? Demi apa? Sayang banget tau gak sebulan lagi ada turnamen kan? Parah sih kalau lo beneran hiatus,” kata Brandon dengan heboh membuat beberapa anak cewek yang duduk di dekat mereka ikutan heboh. “Ya, iyalah. Ibu gue ancem gue bakal dimasukkin asrama kalau sampai gue nilainya jelek, terus sekarang komputer dan alat-alat game gue abis dikasihin pemulung biar gue ga bisa main game lagi,” kata Sean dengan wajah kusut. “Itu barang mahal banget, Bro, mending buat gue itu sayang banget,” kata Brandon dan beberapa teman lainnya. Sean menatap wajah mereka dengan ekspresi datar. “Gue cabut kemarin aja itu komputer udah digerobak rongsokan, gimana mau ngasih,” kata Sean dengan kesal, ia tidak ingin membahas hal-hal yang membuatnya kesal lagi. Beberapa temannya menyayangkan tindakan Anjani yang terburu-buru karena mereka melihat potensi besar dari diri Sean yang akan berkembang jika didongkrak. Hal sepele yang tidak pernah dilihat oleh orang tua bisa jadi adalah bakat besar anak yang terpendam dan tidak pernah disadari oleh mereka. Di era digital hampir semua hal yang menyangkut teknologi bisa menjadi ladang mencari uang atau profesi baru yang sangat menjanjikan. Namun beberapa orang tua tidak ingin melihat peluang besar yang berada di depan mata dan memaksakan anaknya untuk terpaku pada nilai akademik, sedangkan nilai non akademik benar-benar tidak diperhatikan. Dalam hidup beberapa perjalanan tidak akan berjalan sesuai nilai akademik, banyak orang yang lebih mengikuti minat dan mereka akan lebih sukses daripada yang terpaku dengan nilai. Setidaknya itulah prinsip Sean dalam hidupnya, namun parahnya ia dipaksa untuk menyukai apa yang tidak ia sukai. “Bagaimana hari-hari Sean di sekolah, Bu Darce?” tanya Anjani yang setiap minggu rutin menelepon kepala sekolah dimana Sean belajar. Anjani tidak ingin Sean membuat ulah lagi dan sebisa mungkin walaupun ia adalah orang yang sibuk, ia harus bisa menyeimbangkan antara profesinya menjadi wanita karir dan ibu rumah tangga. “Bu Anjani sangat beruntung memiliki anak seperti Sean selain pintar menghancurkan nilainya ia juga pintar dalam menaikkan nilainya. Nilai Sean bahkan melonjak drastis dari beberapa temannya yang nilainya anjlok,” kata Bu Darce. Perkataan bu Darce memang menyebalkan karena sangat to the point dan membuat Anjani sedikit geram dengan kepala sekolah yang sedikit lagi pensiun. “Syukurlah, saya senang mendengarnya. Weekend kita ketemu di perkumpulan komite ya bu, saya ingin melihat detail perkembangan Sean dan tolong bilang pada semua guru mata pelajaran XII IPS 1 untuk merekap perkembangan Sean selama seminggu ini,” perintah Anjani kemudian memutuskan sambungannya. “Dasar tidak punya sopan santun, saya merasa seperti bawahan daripada kepala sekolah, ibu-ibu komite yang menyebalkan,” kata Bu Darce dengan sengit, namun tentu saja hal ini tidak pernah ia ungkapkan langsung pada ibu-ibu komite sekolah tersebut. Bu Darce menyuruh beberapa guru yang mengajar di kelas XII IPS 1 untuk merekap sekarang juga, ia takut bahwa akan terlupakan pesan dari Anjani yang terbilang tak penting. Namun, Darce tak akan menyuruh Bu Esma untuk merekap perkembangan Sean karena Darce tahu itu tidak akan dilakukan oleh Esma yang notabenenya tidak pernah takut dengan anggota komite sekolah. “Baiklah, tugas Esma akan kukerjakan asalkan anggota komite tidak ada yang komplain dan mengoceh yang tidak-tidak,” ucap Darce sambil menghembuskan nafasnya kasar memandangi tabel perkembangan yang berada di laptopnya. Ia sengaja membuat tabel itu khusus untuk anak-anak anggota komite. Karena komite tahun ini benar-benar sangat cerewet hingga ia harus mengerjakan sesuatu diluar tugasnya. “Aku sudah seperti pembantu anggota komite, kalau saja aku jauh lebih tinggi kedudukannya, aku pasti tidak akan mengadakan anggota komite yang isinya orang-orang kaya yang suka mengatur dan melanggar kebijakan sekolah,” kata Darce yang masih mengetikkan kalimat demi kalimat untuk membuat rekap tentang perkembangan Sean selama seminggu ini. Tidak butuh waktu yang lama untuk Darce membuat rekapan Sean minggu ini karena ia hanya perlu melihat CCTV yang terpampang dimejanya untuk memantau setiap kelas, Darce merasa diuntungkan dengan adanya CCTV dan beberapa fasilitas sekolah yang memudahkannya untuk memantau ruang kelas satu dengan yang lainnya. “Sudah selesai, semua berkat fasilitas di sini, kalau tidak ada mungkin aku akan membuat karangan bebas berdasarkan keinginanku, kata Darce yang sudah muak dengan tugas dari anggota komite. Weekend telah tiba, Anjani beserta dua anggota komite lainnya baru saja tiba di restoran ternama tempat biasa mereka berkumpul, restoran itu sudah seperti basecamp bagi anggota komite dan kepala sekolah beberapa tahun terakhir ini. “Silakan dilihat, ini semua berdasarkan laporan dari masing-masing guru mata pelajaran,” kata Darce dengan sopan sambil menyerahkan dua lembar kertas yang merupakan hasil rekapan Sean keseharian. Anjani membaca itu baik-baik kemudian tersenyum saat menyelesaikan bacanya. “Kerja bagus Bu Darce, saya akan berusaha memperbaiki Sean lagi menjadi lebih baik,” ucap Anjani sambil menutup lembaran kertas tersebut dan memasukkannya ke dalam tas tangan yang ia selalu bawa kemana-mana. Darce menghela nafasnya pelan, ia ingin mengatakan pada Anjani yang sebenarnya namun takut wanita itu tersinggung. “Apa ada yang ingin ibu sampaikan?” tanya Anjani yang sedari tadi memperhatikan wajah tua Darce. Wanita paruh baya itu mengangguk kemudian mendeham sebentar. Beberapa anggota komite yang ada langsung melihat Darce dengan serius. “Begini, bukankah lebih baik ibu-ibu di sini jangan terlalu keras dalam nilai akademik, biarkan mereka menghabiskan waktu dengan bakat mereka. Toh, kalau mereka berhasil dengan cara mereka sendiri bukankah lebih baik? Karena menurut saya pekerjaan yang dilakukan berdasarkan niat adalah yang terbaik,” ucap Darce mencoba memberikan sedikit pencerahan pada semua anggota komite yang hadir. Mendengar itu tentu saja membuat Anjani dan beberapa ibu-ibu lainnya melotot tak senang pada Darce, bagaimana bisa ia memberikan pencerahan seperti itu? Mereka yang di sekolah itu adalah anak-anak yang sudah ditentukan hidupnya oleh kedua orang tua mereka. “Saya yakin anak-anak disini adalah calon orang besar saat dewasa dan pasti kita disini adalah orang tua yang telah menentukan masa depan anak kita seperti apa, bagaimana bisa anda sebagai kepala sekolah berbicara sembarangan seperti itu?” tanya Reta- sang ibu dari salah satu siswi di sana membuat beberapa orang tua yang berkumpul mengangguk membenarkan, kecuali Anjani, ia hanya terdiam merasa bahwa tindakannya tidak tepat dan tidak juga salah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD