2 - Ini Duniaku, Callisa

1465 Words
Mataku membulat menatap calon jodohku sedang sibuk menatap laptopnya, wajah tampannya nyaman sekali di pandang. Aku ingin duduk disampingnya, memandangnya tanpa henti membuat dunia hanya milikku saja. Ayolah Callisa, berhenti mengkhayal dan cari saja kakak iparmu yang sibuk sekali itu. Bukannya menjaga anaknya yang cerewetnya minta ampun, kak Rasya malah berangkat ke kampus memberikan ilmu pada sekumpulan mahasiswa. "Cari bu Rasya ya kak?" kubalikkan badanku menatap orang yang baru saja menyapa. "Kok tau?" tanyaku bingung, sudah sejak lima menit lalu aku berdiri disamping pintu ruangan dosen. Aku juga belum menyapa siapapun tapi mahasiswa ini sudah tau maksud kedatanganku? "Kakak kan datangnya bareng Ratu, jadinya pasti cari Bu Rasya." jawabnya lagi, telunjuknya menujuk kebawah. Oh iya aku lupa, sejak tadikan tanganku tepatnya jemariku digenggam sama Ratu, anaknya kak Rasya juga kakakku dong. Aku yang seharusnya foya-foya malah berakhir menjaga bocil manja ini. Tapi engga papa sih,sekalian ngapelin ayang walaupun orangnya dingin banget. "Lupa, habisnya dia diem terus. Mana kak Rasya?" "Masih mengajar kak, ini aku mau ambil buku materi di mejanya." Mahasiswa yang mukanya biasa saja itu berlalu didekatku, otomatis aku ikut menatap kedalam tanpa sengaja bertemu pandang dengan Pak Aydan selama berberapa detik. Mama! Kenapa Pak Aydan tampan sekali? "Ayo Ratu, mama masih mengajar." ajakku tapi keponakan cantikku malah memasang wajah sedih. Aku berusaha sabar, sedikit membawanya menjauh dari sisi pintu ruang dosen kan ini kampus bukan punyaku, takutnya dikatai sok-sokan. Ditempatku ini mataku masih bisa menatap Pak Aydan yang kembali sibuk dengan dunianya, kapan ya aku jadi dunianya? Aku pengen di tatap penuh Cinta juga, seperti lembaran kertas itu. Jatuh cinta sendirian memang begini,suka sekali mengkhayal dan menjatuhkan diri sendiri. Fokusku kembali ke arah Ratu, mensejajarkan tubuhku dengan tingginya, mengelus kepalanya cantiknya dengan sayang. "Ratu sayang, Mammy masih mengajar, apa ya namanya? Mammy masih ketemu sama orang, banyak banget. Kita jalan-jalan aja yuk! Keliling sini, nanti Tante beliin permen, mau?" wajahnya masih belum berubah, masih menampilkan wajah sedih. Harus apa ya? Ayo mikir Callisa jangan mikirin Pak Aydan terus. "Kita main barbie mau? Kalau Tante tidak salah ingat di mobil Tante ada barbienya Ratu, mau?" senyumku mengembang saat dia mengangguk, matanya berbinar senang. Keponakanku ini bernama Ratu Adinda Deravendra, cantik seperti Kak Rasya. Dikasi nama Ratu supaya jadi perempuan mirip dengan nama itu, tau ah! Kakakku dan Kak Rasya memang sulit untuk dipahami. Aku kembali berdiri, kami meninggalkan tempat itu sambil mengajak Ratu menyanyikan lagu anak-anak yang sempat aku hapal, bagaimana tidak hapal setiap hari dirumah Kak Rei, itu terus yang diputar. "Pelukis mu Agung siapa gerangan..." kami berdua bersenandung, aku ikut tertawa apalagi Ratu begitu bahagia keliatannya. *** Setelah memeriksa Callisa pergi melalui pandangan sekilas, Aydan membuka kacamatanya memijat pelipisnya yang terasa pening sekali. Bayangan Callisa yang sedang membujuk anak rekan kerjanya tiba-tiba terulang. Reka ulang bagaimana saat Callisa mengelus rambut Anak Rasya, membujuknya. Aydan memang sesekali melihat hal itu, sudah lama Callisa berlalu lalang di sekitarnya tapi Aydan berusaha untuk tidak peduli. Baginya, Aydan dan Callisa adalah siang dan malam. Begitu mustahil untuk diadakan. "Belum pulang Pak?" Aydan mengangkat pandangannya hanya sekilas bertemu dengan Rasya, kemudian kembali menatap tumpukan kertas didepannya. "7 menit lalu ada Callisa membawa anak anda." Pergerakan Rasya sejenak terhenti membereskan barang-barangnya bersiap pulang, sulit mempercayai apa yang barusan rekan kerjanya katakan tapi ia berusaha tidak peduli. "Saya tau Pak, tadi ada Mahasiswa yang memberitahu. Biasanya kalau sabtu begini memang Callisa yang jaga, suami saya sibuk diluar. Callisa suka bermain dengan Ratu, hanya sering kesal kalau Ratu dalam mode rewel. Saya pamit pulang duluan Pak Aydan, Assalamualaikum." Rasya memberikan senyuman tipisnya meskipun ia tau Aydan takkan memandangnya sama sekali. Berlalu meninggalkan Aydan yang kini sendirian diruangan dosen. "Callisa terlihat benar-benar menyayangi anak anda, wa'alaikumussalam." Senyum Senang Rasya terbit, tertawa setelah berada diluar ruangan dosen. Ia tau, sudah lama juga Aydan suka dengan adiknya apalagi bukan sebentar Callisa terus berkeliling di sekitarnya. Tapi sayangnya keduanya sama-sama punya jalur berbeda, Rasya tidak mau bergabung diantara kerumitan itu. "Ih! Kak Rasya lama." "Kamu seperti lebih muda dari Ratu, dek." tegurnya membuat Callisa mengerucutkan bibirnya tapi tetap menyalakan mesin mobilnya setelah melihat kakak iparnya duduk memangku Ratu. Meninggalkan pekarangan kampus, yang terjadi tadi tak lepas dari pandangan Aydan. Berdiri dibalik tembok menatap wajah kesal Callisa dari jauh, Aydan merasa semakin jauh dengan itu. "Selamat siang Pak Aydan," "Selamat Siang, Pak." "Permisi, Pak." Beberapa sapaan mahasiswanya Aydan balas dengan anggukan, kini menuju mobilnya. Mengendarainya dalam keheningan, mana mungkin Aydan memeriksa lembaran tugas mahasiswa sedang pikirannya sibuk kearah lain? bisa-bisa Aydan salah. Hanya butuh beberapa menit sampai di sebuah rumah sederhana peninggalan orangtuanya, rumah batu tanpa tingkatan dan catnya sudah memudar sebagian. Di teras terdapat dua kursi kayu rotan serta meja kaca, dulunya tempat paling nyaman orangtuanya setiap pagi. Masih pukul sebelas tapi Aydan sudah kembali, langkahnya ingin masuk kedalam rumah terhenti saat matanya menangkap motor kesayangan adiknya terparkir disana. "Assalamualaikum," ujarnya, "Wa'alaikumussalam, Abang!" Aydan disambut perempuan cantik berjilbab panjang, cadarnya tersampir keatas. Memeluk Aydan manja, "kangen." "Kamu sudah menikah tapi masih manja begini, kesini sama siapa hm? Suamimu mana? Jangan bilang kamu naik motor kemari?" Pertanyaannya dibalas dengan tawa pertanda dugaan Aydan benar, Aydan menyimpan tas jinjingnya dikursi kayu rotan panjang, menatap Adik keduanya dengan wajah marah. "Abang ih! Aku bosan dirumah, Mas Qabir juga masih lama pulangnya. Mending kesini sambil nostalgia juga sama abi dan Ummi." rengeknya manja. "Kamu sedang Hamil Qeisya, masih sangat rentan. Abang tidak mau tanggung jawab kalau suamimu marah," Aydan meninggalkan adiknya sendirian diruang depan, masuk kedalam dapur untuk ambil minum. Membuka kulkas mengambil sebotol air dingin, duduk dimeja makan sederhana itu. Menuangkan air kedalam gelas, meminumnya dalam beberapa teguk. Adiknya berdiri dijalan masuk dapur, menunduk takut. "Lain kali jangan diulangi." "Terimakasih Abang ganteng." Aydan tersenyum menatap wajah ceria adiknya, Qeisya Anantara. Sudah menikah dengan seorang guru pesantren milik kakek neneknya, malahan sedang hamil muda maka dari itu Aydan takut terjadi sesuatu pada adiknya. Muhammad Qabir, nama suami dari adiknya. Salah satu orang terpercaya kakek neneknya makanya saat mengutarakan niatnya ingin melamar Qeisya kedua kakek nenek Aydan langsung setuju, katanya baik tidak pantas ditunda. "Kamu sebenarnya bahagia sama dia kan?" tanyanya tiba-tiba, pasalnya keduanya hanya bertemu beberapa kali sebelum pernikahan terjadi. "Bahagia kok, cuman aku sesekali kesepian karena Mas Qabir sering sibuk. Sejak dulu kan aku terbiasa rame sama abang dan juga Yaksa. Kalau dirumah, Mas Qabir berangkat kerja ya aku sendiri." curhatnya, adiknya ini sangat taat agama. Adiknya sudah lama menikah, sejak 2 tahun lalu. Kabar kehamilannya pasti kegembiraan untuk dua keluarga, harusnya pertanyaan seperti tadi tidak Aydan tanyakan sama sekali. "Kamu istirahat dulu, nanti Abang bangunin kalau masuk waktu shalat." Untungnya adiknya menurut, Aydan menatap gelas ditangannya isinya sudah ia habiskan. Sejak kecil sudah diajarkan untuk jangan menyisakan makanan, usahakan ambil sesuai keinginan saja jadinya tidak mubazir. Aydan mempunyai dua orang adik, ia anak pertama dari tiga bersaudara. Adik keduanya yang tadi, tetap kuliah meskipun sudah menikah, baru wisuda beberapa bulan lalu. Adik ketiganya bernama Yaksa Ananthallah. Masih berumur 20 tahun, juga masih sibuk kuliah jurusan Tarbiyah sama dengan jurusan Qeisya. Sesekali adik bungsunya akan pulang tapi lebih sering bermalam di pesantren milik kakek neneknya, disana rame katanya. Yaksa itu laki-laki, wajahnya mempunyai kesamaan dengan Aydan. Palingan yang berbeda dibagian mata saja, Aydan memutuskan meninggalkan tempatnya, tak lupa mengambil tas jinjingnya lalu masuk ke kamarnya. Melalui gajinya sebagai dosen, Aydan bisa saja membeli rumah yang mewah tapi Aydan enggan. Banyak kenangan bersama orangtuanya disini, ia dibesarkan dengan baik ditempat bersejarah ini. Aydan mana mungkin meninggalkan rumah orangtuanya. Selepas berganti pakaian, sambil menunggu waktu shalat Aydan memutuskan membaca Al-qur'an, memberikan ketenangan dalam dirinya untuk terus berserah diri pada sang kuasa. Aydan selalu ingat agama, peraturannya. Walaupun sejak kecil memilih sekolah umum hingga kuliah dan menjadi dosen di kampus daripada guru di pesantren. Tapi Aydan tetap ingat dengan petuah-petuah abinya. "Abi tidak pernah membatasi Aydan. Tapi ingat, dunia hanyalah tempat untuk mengumpulkan amalan yang cukup banyak agar nantinya di akhir kita bisa bahagia, kamu pasti lebih paham makna seperti itu dari Abi." Aydan menghentikan bacaannya sejenak, menangis mengingat wajah sang ayah. Aydan sangat dekat dengan orangtuanya, sayangnya keduanya harus pergi pagi itu. Meninggalkan ketiga anaknya. "Abang," Ia mendekati Aydan, memeluknya erat. Suara tangisnya semakin terdengar pilu, memang diantara mereka bertiga abangnya lah yang mempunyai kenangan dengan baik dengan orangtuanya. Qeisya masih berumur 8 tahun kala itu, Yaksa apalagi. Masih berumur 6 tahun. Umur seperti itu memang sudah mengenal baik kematian, tapi yang paling terpukul adalah kakaknya. Aydan Athallah. "Aku yakin abi dan ummi sudah baik-baik saja, Abang. Jangan menangisi, kita harus bisa menjadi anak-anak yang bermanfaat untuk mereka bukan malah menangis pilu begini. Kita akan memberikan cahaya terang didalam kuburnya, iyakan?" Karena kehamilannya, Qeisya jadi ikut menangis. Padahal sebelumnya Qeisya selalu kuat tiap kali menemukan abanganya menangis seperti ini. "Abang harusnya cepat cari pendamping, biar bisa menemani Abang." Aydan tersentak, kenapa Nama Callisa serta wajah Callisa tiba-tiba saja terlintas?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD