Part 4

828 Words
"Kal, yang kemaren itu beneran kakak kamu? Kok aku gak tau." "Iya. Bukan kakak kandung sih, Ka. Cuma dia tu udah kayak keluarga." Ya, hanya keluarga. Danar sudah menikah, tak ada harapan lagi buat Kalla. Saatnya menyerah. "Ooh. Aku baru liat soalnya." "Lagian ngapain kamu nanya-nanya sih." "Penasaran aja." "Udah ah aku mau tidur. Besok kerja ngantuk." "Ngusir nih ceritanya?" "Gak kok. Kalo kamu masih mau di sini ya gak papa. Aku mau tidur." "Pengusiran secara halus", sindir Raka sembari tertawa. "Bagus deh kalo kamu sadar", Kalla tertawa. "Aku pulang yaa?" "Ati-ati." Raka mengacungkan ibu jarinya. Ingin sekali rasanya memberikan kecupan selamat tidur di dahi Kalla, atau minimal membelai rambutnya. Namun apalah daya, ia bukan siapa-siapa di hati Kalla. Ralat, belum jadi siapa-siapa. Raka masih semangat untuk berjuang mendapatkan hati Kalla. Kalla merebahkan tubuhnya di ranjang. Dia sama sekali belum mengantuk, hanya tak ingin membahas tentang Danar dengan siapa pun. Terlalu menyakitkan ketika dipaksa untuk membuka lagi kenangan lama yang mati-matian berusaha kita lupakan. Bukan melupakan, lebih tepatnya mengabaikan karena kenangan itu tidak akan pernah terlupakan selagi kita masih hidup dan tidak mengalami amnesia. Kalla juga tahu Raka menaruh hati padanya. Terlalu jelas terlihat. Namun Kalla tak mau besar kepala dan memanfaatkan Raka. Sebelum ada pernyataan resmi dari Raka bahwa Raka menyukainya, Kalla akan membiarkan saja apa yang terjadi antara dia dan Raka. Dia nyaman dengan Raka. Raka baik, perhatian, tahu apa yang Kalla inginkan, sama seperti seseorang. Tapi Kalla tak tahu apa dia menyukai Raka sebagai lelaki atau hanya sebagai teman. Hati Kalla telah tertambat pada Danar. Belum terlepas, hingga kini. =================================== "Guys, hari ini Bu Billa ultah lho. Beliau mau traktir kita-kita di resto depan", salah seorang senior Kalla mengabarkan dengan sumringah dan disambut sumringah pula oleh rekan-rekannya. "Yeaaayyy..." "Entar aja pulang kerja kita makan seafood yang deket ruko itu. Waktunya bebas. Kalo pas maksi terlalu buru-buru, gak seru", Billa mengoreksi. "Siap, Bu! Kita mah ngikut aja yang penting gratis." Gelak tawa memenuhi ruangan kerja Kalla. "Udah-udah, ayo kerja lagi. Dipelototin bos baru tau rasa kalian." "Iya, Bu." =================================== Sebuah meja yang telah diatur memanjang telah terisi banyak hidangan laut mulai dari berbagai jenis ikan, kerang, udang, dan cumi-cumi. Para penyantap telah siap dengan peralatan makan mereka. Setelah mendoakan si empunya acara agar berumur panjang dan dilimpahi kebahagiaan, mereka menyantap hidangan dengan suka cita. Suasana kekeluargaan yang kental. Kalla menyukainya. Selesai makan, mereka mengobrol ditemani cemilan-cemilan kecil yang dibeli di sekitar tenda seafood. "Kabarnya Bu Diana hamil lagi." "Ih, tokcer ya Pak Danar. Padahal Xavia masih kecil." "Doyan." "Lelaki mana sih yang gak doyan kalo di depannya disuguhin wanita cantik yang menggugah selera." "Dikira Bu Diana makanan." Bla bla bla ..... Otak Kalla blank seketika. Untung saja obrolannya baru dimulai setelah perutnya kenyang. Kalla tak ingin mendengarnya lagi. Tapi kalau dia pamit pulang duluan takutnya mereka menganggap Kalla tak sopan mengingat Kalla juga karyawan baru. Kalla memang sudah bertekad untuk tidak lagi mengharapkan Danar, tidak lagi peduli dengan kehidupan Danar. Tapi mendengar langsung tentang kehidupan Danar masih terasa sangat menyakitkan hatinya. Sepertinya Danar memang telah membuang dirinya. Hidup Danar kini bahagia dengan istri cantiknya, putrinya, dan calon bayinya. Sedangkan Kalla? Dengan bodohnya dia masih berjalan di tempat. Masih berharap Danar datang dan menepati janjinya. Kalla bodoh, t***l, dungu! Kalla menggeleng-gelengkan kepalanya. "Kamu kenapa, Kal? Ngantuk?", tanya salah seorang seniornya. "Eh, i-iya Mbak", Kalla tergagap. "Pulang duluan aja gak papa. Rumah kamu kan lumayan jauh." "Gak ah Mbak. Bareng-bareng aja." Sungguh, Kalla ingin sekali mengiyakan. Namun sekali lagi, Kalla tak enak hati. Jadi sekarang dia masih setia mendengarkan obrolan-obrolan para rekan kerjanya. Memang ya jika mengikuti rasa tak enak itu justru menyiksa diri kita sendiri. Beberapa menit kemudian, Billa mengajak mereka pulang. Kalla sangat lega. Segera dipesannya ojek online. Sebuah mobil yang terasa familiar tengah parkir di depan rumah kost Kalla. Kalla langsung bisa menebak pemiliknya. Kalla sangat ingin menyuruh si abang ojek untuk terus melaju. Kalla sangat tak ingin menemui si pemilik mobil berlogo bintang tiga itu. Tapi Kalla mau kemana lagi? Yang ada nanti dia malah nyasar. Dengan berat hati, Kalla melangkahkan kakinya memasuki halaman rumah kostnya. Danar langsung menyambut dengan senyuman yang sialnya sangat manis dan menyejukkan di mata Kalla. "Kok baru pulang? Ada acara?" Seperti dulu, Danar tak pernah blak-blakan menyatakan ketidaksukaannya. Dia akan dengan sabar menanyakan apa yang sebenarnya terjadi dengan bahasa yang halus. Dan itu hanya berlaku pada Kalla. "Aku abis makan-makan. Bu Billa ultah." "Ooh." "Ada apa Kakak ke sini?" "Kakak bawain kamu makanan. Tadinya pengen makan sama kamu tapi ternyata kamu belum pulang. HP gak aktif juga." "Lowbat, lupa ngecas." "Nih." Danar menyerahkan paper bag berisi makanan. "Aku udah makan, kan. Kakak makan aja sendiri yaa. Aku juga udah ngantuk." "Buat kamu aja. Masih bisa buat sarapan besok. Tinggal diangetin." Kalla menerima paper bag dari Danar. "Ya udah Kakak pulang dulu yaa. Jangan keseringan pulang malem." Tanpa diduga, Danar mencium puncak kepala Kalla. Kalla mematung seketika. Ya Tuhan, sadarkan Kalla untuk tidak terbawa perasaan. Danar hanya menganggapnya adik. ===================================

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD