3. Tidak Lebih Penting Dari Teman

1800 Words
“Ya, Allah. Bagaimana ini? Di mana kira-kira ada bengkel tambal ban?” tanya Zohrah kebingungan. “Maaf, Mbak. Bisa tanya sebentar?” tanya Zohrah ketika ada pejalan kaki yang lewat. Wanita muda kurang lebih seusianya itu, berhenti dan memperhatikan Zohrah beserta motornya. “Ban motor Mbak kempes ya?” “Betul, Mbak. Kira-kira di mana ya ada tempat tambal ban atau bengkel motor di sekitar sini?” tanya Zohrah. “Wah, kurang tau ya Mbak. Saya biasa naik bus atau kadang ojek. Nggak pernah lihat ada tempat tambal ban atau pun bengkel sepanjang jalan ini sampai pertigaan ujung sana. “Coba cari saja di internet. Mungkin ada jasa yang bisa dipanggil ke sini untuk memperbaiki motor, Mbak,” saran wanita itu. “Oh iya, terima kasih, Mbak. Saya cari di internet saja. Maaf telah mengganggu. Silakan lanjutkan kembali perjalanannya,” ucap Moza tersenyum sopan. “Sama-sama, Mbak. Semoga segera dapat tukang tambalnya.” “Amin... Terima kasih, Mbak.” Pejalan kaki itu pun kemudian meninggalkan Zohrah menuju halte bus yang tak jauh dari tempat itu. Zohrah membuka tas dan mengambil ponselnya di dalam. Namun tiba-tiba saja, mobil Alex berhenti menghampirinya. Masih menggenggam ponsel, Zohrah menatap Alex tak percaya. Seharusnya Alex sudah berjalan lebih dari satu kilo meter jika dengan kecepatan yang dia lihat tadi. Tapi bagaimana dia bisa tahu jika dirinya sedang dalam kesulitan. Zohrah yakin Allah telah menuntun Alex kemari. Entah apa pun itu tujuannya. Mungkin tak tega membiarkan dirinya berjalan sendirian di jalan raya kota ini untuk pertama kalinya. “Alhamdulillah... Terima kasih, ya Allah, telah Engkau kirim dia kemari." Ini seperti oase di tengah padang pasir. Alex datang pada saat dia sangat membutuhkan bantuannya. “Kenapa motormu?” tanya Alex memperhatikan motor Zohrah. “Bannya kempes. Apa di sekitar sini ada tempat tambal ban?” tanya Zohrah. “Tidak ada. Tempatnya masih jauh. Aku panggilkan bengkel langgananku saja. Motor ini biar diurus mereka. Kamu berangkat naik taksi saja. Aku akan panggilkan taksinya,” jelas Alex kemudian merogoh ponsel di saku baju memanggil taksi online. “Kenapa harus naik taksi? Bukankah tadi kita ke arah yang sama. Aku bisa menumpang kamu saja jika tidak keberatan.” Tatap Zohrah agak ragu. “Nggak bisa. Aku harus balik ke arah sana untuk menjemput Nessa, temanku,” jawab Alex mengarahkan pandangannya ke arah berlawanan lalu fokus dengan ponselnya lagi. “Apa kamu tidak bisa mengantarku lebih dulu? Baru kamu jemput temanmu itu,” usul Zohrah merasa kesal. Alex seharusnya tidak mendahulukan teman wanitanya. Tapi harus lebih dulu menolongnya. Karena walau bagaimana dia adalah istrinya. Dirinya punya jasa besar dalam usaha mendapatkan warisan papanya. Namun jasa dan keberadaan dirinya seperti tidak dia hargai oleh Alex. Padahal Zohrah merasa tidak mendapatkan apa pun selain penderitaan saja. Alex mengalihkan pandangannya dari ponsel kepada Zohrah. Dia merasa kesal karena Zohrah ingin memaksanya. “Tidak bisa. Temanku ternyata sudah menungguku sejak tadi. Kamu naik taksi saja. Jangan cemas, biayanya aku yang tanggung,” jawab Alex sinis. “Ini bukan masalah biaya Alex,” sahut Zohrah. “Jika kamu tidak menyukaiku. Setidaknya cobalah kamu punya rasa terima kasih padaku,” jelas Zohrah. Yang tidak sadar, mengapa dirinya jadi merasa agak emosi setelah mendengar Alex menyebut nama Nessa. “Terima kasih? Terima kasih soal apa?” tanya Alex dengan agak merentangkan kedua tangannya menatap Zohrah agak kesal. Zohrah menatapnya sinis lagi. “Apa kamu lupa? Kau telah menjadikanku Istri tapi aku tidak mendapatkan hakku? Sementara aku, terpaksa kau tahan di rumahmu demi warisan itu?” Belum sempat Alex membalas ucapan itu. Ponselnya berbunyi. Nessa kembali menelponnya. Alex pun lebih memilih menerima panggilan itu. “Iya, Nes. Aku akan segera datang. Setengah jam lagi aku sampai di rumah kamu,” sahut Alex lalu menutup telponnya berjalan tergesa menuju mobil lagi. Tapi dia segera berhenti dan menoleh pada Zohrah. “Aku sudah tidak punya waktu lagi. Tunggulah taksinya. Sebentar lagi taksi itu akan datang. Tunggulah sebentar.” Alex kemudian membuka pintu mobil lalu masuk ke dalam. “Ttunggu---,” ucap Zohrah belum Alex sudah masuk ke dalam mobil. “Hei, Alex!” sebut seorang wanita dari arah belakang Zohrah. Namun tiba-tiba dari arah belakang Zohrah, beberapa orang wanita menyerbu mobil Alex. Termasuk wanita yang dia ajak bicara tadi. “Alex... Alex... Alex... “ Mereka memanggil-manggil Alex sambil mengetuk-ketuk pintu kaca mobil. ““Alex, tolong keluarlah. Aku mohon keluarlah.” “Iya, Alex. Kita foto sebentar saja. Kami janji nggak akan lama.” Ucap para wanita itu silih berganti dengan penuh semangat campur senang bahkan ada yang menjerit-jerit histeris. Zohrah hanya bisa jadi penonton saja. Dia tak tau apa yang dia lakukan. “Bukalah pintunya, Alex. Kenapa gadis itu kamu tolong? Sedangkan kami cuma mau foto aja berat banget sepertinya,” protes salah seorang dari mereka mengarahkan tangannya pada Zohrah. “Iya, betul. Alex pilih kasih ya sama pada sesama fan,” sahut penggemar Alex yang lain. Alex akhirnya keluar. Mereka menjerit bahagia hampir bersamaan. “Oke. Aku keluar. Tolong kalian jangan cemburu lagi sama dia ya. Aku tidak pernah membeda-bedakan para fansku.” Alex melirik Zohrah sebentar lalu sibuk memenuhi permintaan para fan “Kita foto tapi jangan lama-lama ya. Aku masih ada keperluan penting,” pesannya pada para fan itu. Sementara itu Zohrah hanya memandangnya dengan perasaan kesal. Untuk para fan saja ada waktu. Lalu mengapa jika untuk dirinya tidak ada? “Aku memang tidak lebih penting dibandingkan teman dan fansmu. Katanya sudah tidak ada waktu lagi. Giliran fansmu yang datang kau masih bisa keluar lagi.” Zohrah menatap kerumunan itu sedih. Tak lama setelah itu ada taksi menghampiri mereka. Setelah berkomunikasi sebentar dengan sang sopir, Zohrah masuk ke dalam taksi. “Jika ada orang yang tak berperasaan itu adalah kamu Alex.” Zohrah menyeka air mata yang menetes di pipinya dengan sapu tangan yang dia ambil dari dalam tasnya. Ia tak tahu mengapa dirinya jadi cengeng begini. Tepatnya sejak Alex lebih memilih menjemput teman wanitanya dibanding dirinya. Padahal sejak semalam dirinya sudah dikecewakan lebih dari ini. Namun entah mengapa, selain sedih kali ini Zohrah bawaannya ingin marah juga. *** Taksi yang membawa Zohrah berhenti di depan halaman masjid Darussalam. Zohrah langsung turun setelah mengucapkan terima kasih pada pak sopir. Kemudian dia melangkah menuju madrasah yang terletak di samping masjid. Sepanjang menyusuri teras madrasah, Zohrah melihat ada banyak murid usia dewasa sampai lanjut sedang sibuk belajar di teras. Dari suara yang dia tangkap, ada yang sedang menghafal huruf-huruf hijaiyah. Ada yang sedang belajar menambahkan harokat dan ada juga yang sedang membaca Al Qur’an dengan sedikit terbata-bata. Dia tahu mereka memang harus mengulang pelajaran kemarin. Nanti ketika masuk kelas mereka harus maju ke depan untuk menghafalnya lagi sebelum mendapat pelajaran yang sebelumnya. Metode ini cukup ampuh diterapkan di pesantrennya. Sehingga mereka cepat menghafal dan memahami cara membaca Al qur’an atau pelajaran lainnya. Akhirnya Zohrah sampai di depan kantor ustadz Zulkifli. Tadi sebelum berangkat kemari Zohrah sudah mendapatkan pesan darinya. Jika dirinya harus menghadap lebih dulu ke ruangannya. “Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,” ucap Zohrah sambil mengetuk pintu yang terbuka lebar-lebar itu. “Wa’alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh. Oh, Zohrah. Silakan masuk. Silakan masuk!” Sambut ustadz Zulkifli dengan ramah dan langsung berdiri dari tempat duduknya di belakang meja kerja. Kemudian dia berjalan keluar untuk sekedar mempersilakan Zohrah duduk di kursi depan mejanya. “Duduklah Zohrah. Katakan kamu mau minum apa? Nanti paman pesan sama pegawai dapur.” “Terima kasih, Paman. Saya belum haus. Nanti saja saya minum di ruang guru.” Zohrah kemudian duduk di kursi yang ditunjukkan oleh pria yang merupakan sahabat lama abahnya sewaktu belajar di salah satu pesantren di daerahnya. “Ya-ya... Baiklah kalau begitu.” Ustadz Zulkifli manggut-manggut lalu duduk di tempatnya kembali. Pria murah senyum dan terlihat ramah itu menatap Zohrah. “Jujur Paman masih belum sepenuhnya yakin. Kamu mau mengajar di madrasah diniyah Darussalam ini. Kamu itu sarjana pendidikan agama Islam yang biasa mengajar di sekolah formal. Mengapa kamu tidak memilih sekolah formal saja? Paman, bisa carikan kamu sekolah cukup bagus dengan gaji lumayan di kota ini. Kalau mengajar di sini kamu tidak mendapatkan gaji yang cukup. Paman tidak meminta biaya pada mereka yang belajar. Dana di sini hanya dari donatur yang tergerak hatinya saja. Kadang ada. Dan kadang juga tidak.” “Saya kalau sore dan malam juga mengajar di madrasah pesantren, Paman,” jelas Zohrah. “Paman tidak usah khawatir. Saya kebetulan ada pekerjaan lain juga. Insya Allah saya ada rezeki dari jalan lain.” Terpaksa Zohrah sedikit berbohong. Karena menjaga janji pernikahannya yang harus dirahasiakan. “Jadi saya ingin mengajar di sini, benar-benar lillahi ta’ala. Melihat banyak orang dewasa masih semangat belajar agama saja, saya sudah senang. Soal rezeki kita bisa cari cara yang lain, Paman,” jelas Zohrah tersenyum tulus. “Masya Allah... Paman sangat kagum padamu, Nak. Saat ini sudah jarang ada pemuda yang peduli seperti kamu, Zohrah. Di sini ada beberapa murid yang berasal dari kalangan menengah ke atas. Mereka dengan suka rela mendermakan uangnya demi kelangsungan sekolah ini. Sekarang ditambah guru-guru seperti kamu. InsyaAllah, madrasah Darussalam akan terus berjalan,” ucap ustadz Zulkifli optimis. “InsyaAllah... Aamiin ya Allah,” ucap Zohrah khusuk. “Baiklah ustadzah Zohrah. Sekarang aku akan memberikan tugas pertamamu,” ucap ustadz Zulkifli terdengar lebih formal. “Siap, Ustadz.” Zohrah membalas tugas itu dengan senyum penuh semangat. “Begini ustadzah Zohrah. Madrasah Darussalam telah kedatangan siswa-siswi baru yang sedikit berbeda dari yang lain. Mereka ke sini dengan misi khusus Jadi aku percayakan tugas ini padamu.” “Sedikit berbeda? Misi khusus? Apa maksudnya, Ustadz?” tanya Zohrah merasa penasaran. “Beberapa hari lalu ada sutradara dan produser film telah datang kemari. Mereka mendaftarkan beberapa aktor dan aktris untuk belajar di madrasah ini.” “Aktor dan aktris? Belajar di sini, Ustadz?” “Iya, benar. Mereka dalam misi khusus demi mendalami peran dalam film religi yang akan mereka bintangi.” “Masya Allah... Sebenarnya ini sangat menarik. Tapi sepertinya akan penuh tantangan. Apa saya sanggup mengajari mereka? Mengapa tidak Ustadz saja yang mengajari mereka?” tanya Zohrah pada ustadz Zulkifli. “Tidak, ustadzah Zohrah. Aku pikir kamulah yang cocok mengajar mereka. Karena kalian seusia. Jadi jika kamu yang mengajar mereka, mungkin mereka tidak canggung dan lebih mudah menerima pelajaran. Kalau denganku, mereka mungkin akan sulit belajar karena merasa canggung dan kaku,” jelas ustadz Zulkifli. Zohrah menarik napas panjang. “Baiklah. Saya siap melaksanakan tugas ini, Ustadz. Mohon doa restunya semoga misi belajar berhasil.” “Iya, ustadzah Zohrah. Tentu saja aku akan doakan kamu semoga berhasil dalam menunaikan misi ini. Insya Allah Paman percaya kamu akan berhasil melakukannya.” “Aamiin... Terima kasih, Ustadz atas doanya. Kalau begitu saya permisi dulu. Saya akan ke ruang guru,” pamit Zohrah. “Silakan, ustadzah. Persiapkan dirimu. Karena sebentar lagi mereka akan datang,” ungkap ustadz Zulkifli. “Mari, assalamu’alaikum,” pamit Zohrah lagi. “Wa’alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh,” jawab ustadz Zulkifli.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD