Sepuluh tahun telah terlewati dengan berat, saat ini sama seperti malam itu hujan masih turun dengan bau logam yang sama. Namun kali ini, Josephine sudah tidak lagi bersembunyi di balik pintu kamarnya. Beranjak dewasa, gaya rambutnya kini tidak sepanjang seperti dulu. Dengan tubuh kecil dan wajah manis tidak ada yang menyangka kemampuan fisik Josephine sama dengan Omega lain.
Dia berdiri di pelataran gudang tua milik Rox, Alpha resesif yang pernah menjadi tangan kanan kakeknya, Dev. Sekaligus Paman kecil yang diangkat kakeknya untuk menjaga mendiang Papa Dion.
“Pegang pistolnya seperti ini,” ujar Rox dengan suara serak dan sabar.
Tangannya besar, tapi gerakannya tidak pernah mengancam. “Kalau kamu tegang, pelurunya tidak akan lurus. Nafas juga mengatur arah sasaran selain pengaruh angin.”
Josephine mengangguk. Jemari panjang mantap, tidak bergetar. Konsentrasi tertuju pada tujuan. Dentuman senjata menggema — tembakan itu menembus tepat di tengah papan kayu. Ia melepaskan kacamatanya untuk melihat hasil tembakan.
Rox tersenyum samar. “Kamu belajar cepat, Jo.”
“Tidak ada alasan untuk lambat,” jawabnya dingin. “Banyak orang menunggu aku gagal.”
Rox menghela napas pelan. Sebagai Alpha resesif, Rox tahu bagaimana rasanya dianggap kurang. Di dunia di mana kekuatan feromon menentukan hirarki sosial, resesif seperti dirinya nyaris dianggap Beta. Kalau bukan karena status anak angkat Dev, mungkin dirinya sudah menjadi gelandangan.
Karena itu ia mau mengajarkan segalanya pada Josephine—Omega keras kepala yang menolak tunduk pada siapa pun. Satu-satunya keponakan yang ia sayangi semenjak Dion menunjuknya menjadi Ayah angkat Josephine.
Suara liontin terbuka saat Josephine melepas rompi menarik Rox ke masa lalu. Di mana liontin itu hadiah kelahiran Josephine saat Dion hampir kehilangan nyawa. Ya, Dion berulang kali hampir kehilangan nyawa setelah mengenal Alpha yang hanya memanfaatkannya.
“Kalung itu sepertinya terlalu kecil, mau ku belikan yang agak panjang?” tawar Rox.
Josephine menggelengkan kepala. “Paman. Lebih baik memikirkan hadiah baru karena sebentar lagi upacara wisuda.” Senyuman licik itu keluar penambah manis aura yang ditangkap mata Rox.
“Aku akan memberikan 2% saham Bio Tech.”
“Ei, bukannya hadiah itu harus jadi kejutan!” pekik Josephine begitu Pamannya masuk ke dalam gudang. Ia terus menggelengkan kepala mengingat tingkah Paman yang tidak peduli dengan harta dan kekuasaan.
Tangannya pun melepaskan kalung yang melingkar di lehernya. Dia melihat siluet Papanya dan juga dirinya yang baru lahir. Ia tahu liontin ini adalah hadiah dari Rox, karena Dion berulang kali menceritakan peristiwa kelahiran Josephine yang menurutnya sebuah keajaiban.
“Keajaiban apa kalau Ayah sama sekali tidak datang untuk kelahiran Putrinya.” Josephine mendecih sinis, kemudian menyusul masuk ke gudang.
Hari-harinya di markas Rox tidak pernah benar-benar tenang. Bangunan tua di pinggiran distrik utara itu dulunya gudang senjata militer yang terbakar sebagian, kini berdiri dengan dinding bata bobrok, jendela besar berkarat, dan pintu baja yang selalu berdecit setiap kali angin berhembus dari arah pelabuhan. Asap mesiu dan oli mesin menjadi bau keseharian mereka, bercampur dengan aroma feromon Alpha yang terlalu lama menempel di udara — tajam, agresif, dan selalu membuat udara terasa lebih berat dari seharusnya.
Di tempat seperti itu, ketegangan bukanlah hal baru. Markas itu dipenuhi anak muda yang sebagian Alpha yang ingin menguji kekuatan dan sebagian beta yang membuktikan bahwa mereka tidak cuma mayoritas b***k. Adu ego menjadi rutinitas—perkelahian kecil, perdebatan keras, bahkan adu feromon di tengah lorong hanya untuk menentukan siapa yang lebih dominan. Rox membiarkan sebagian dari itu terjadi karena menurutnya, “kalau mereka tidak bertarung di sini, mereka akan bertarung di jalan.”
Namun Josephine berbeda. Ia jarang bicara, tidak pernah ikut berteriak, dan lebih sering duduk di pojok ruangan dengan buku catatan di tangannya. Setiap kali sesi latihan selesai, sementara yang lain tertawa atau saling mengejek, Josephine sibuk menulis hasil pengamatan dari kecepatan reaksi, tekanan tubuh, fluktuasi aroma. Tidak ada yang tahu apakah ia mencatat miliknya sendiri atau milik orang lain.
Kadang, Rox berpikir justru dirinya yang sedang diuji oleh gadis itu. Cara Josephine menatap setiap hal — dingin, tenang, seolah ia selalu menghitung jarak antara dirinya dan dunia.
Suatu siang yang lembab, ketika udara di dalam markas terasa seperti perangkap panas, Rox menatap Josephine yang sedang memeriksa senjata. Gadis itu terus menerus meminum penghambat heat.
“Jo,” panggilnya pelan sambil menatap laporan di tangannya, “kalau kamu terus menekan feromon seperti itu, tubuhmu bisa rusak.”
Josephine mengangkat kepalanya perlahan. Matanya berwarna abu-abu pekat, mirip baja yang disepuh dingin. “Kalau aku tidak menekan, mereka akan menyerangku.”
Rox meletakkan berkasnya, menatap gadis itu dari balik meja yang penuh bekas luka bakar. “Mereka tidak akan berani. Aku ada di sini.”
“Alpha lain selalu berani, Rox.” Suaranya pelan, tapi mengandung tekanan yang tidak bisa diabaikan. “Selalu ada yang berpikir Omega itu lemah.”
Kipas tua di langit-langit berputar lambat, berderit setiap kali angin menabrak bilahnya. Rox tidak menjawab. Ia tahu kata-kata itu bukan bentuk perlawanan. Itu kenyataan.
Sore harinya, Josephine berjalan pulang melalui lorong sempit distrik utara. Jalanan dipenuhi kabut asap kendaraan dan aroma besi karat. Di kejauhan, gedung-gedung tinggi tampak seperti bayangan yang menunggu saat malam datang.
Apartemennya terletak di atas toko bunga kecil milik Elizah—adik perempuannya yang kini berumur lima belas tahun. Tempat itu berbeda seratus delapan puluh derajat dari markas Rox, harum bunga segar menggantikan bau mesiu, dan sinar jingga matahari sore memantul lembut di kaca etalase. Sangat kontras dengan pekerjaannya.
Begitu membuka pintu, suara Elizah langsung menyambut dari dalam.
“Kakak, bau para Alpha lagi,” protesnya sambil menata vas di meja. Rambutnya merah panjang diikat sederhana, wajahnya lembut tapi memiliki sorot mata yang sama seperti kakaknya — abu-abu dingin dengan cahaya waspada yang tak bisa disembunyikan.
“Rox memaksamu latihan lagi?” tanyanya sambil menatap tajam.
“Aku sendiri yang minta,” jawab Josephine, melepaskan jas kulitnya dan meletakkan pistol di atas meja. “Kamu tahu, aku harus siap. Kakek tidak akan hidup selamanya.”
Elizah mendengus, memutar mata. “Kau bicara seolah umur Kakek tinggal seminggu.” Ia berucap dengan terus menerus menyemprot cairan penghilang feromon ke kakaknya.
“Dalam dunia ini, satu minggu sudah lama,” jawab Josephine ringan sambil tersenyum kecil.
Mereka tertawa sebentar, tawa yang lebih menyerupai refleks daripada kegembiraan. Tapi tawa itu cepat memudar ketika Elizah menambahkan, “Aku dengar kabar, ada Omega yang hilang di distrik barat.”
Josephine berhenti melepaskan sarung tangannya. “Berapa lama?” tanyanya datar.
“Dua hari,” jawab Elizah, menunduk.
“Mereka bilang dibawa oleh kelompok Alpha tua yang masih pakai sistem ‘tanda paksa’.”
Kata-kata itu menggantung di udara, seperti racun halus yang perlahan merembes ke dalam kesadaran mereka. Josephine menatap keluar jendela. Di luar, langit mulai gelap, awan hitam menggumpal di atas distrik barat.
“Kamu tidak takut, kak?” suara Elizah nyaris berbisik.
Josephine menoleh, menatap adiknya lama, kemudian berkata pelan, “Aku sudah hidup dengan ketakutan seumur hidup, Eli. Sekarang aku lebih takut jika aku tidak berbuat apa-apa.” Elizah tersenyum lebar dan mendorong tubuh Josephine.
“Ayo kita makan, Mama sudah memasak makanan favoritmu!”
Beberapa hari kemudian, Rox mengajak Josephine menghadiri pertemuan dengan para pemimpin kecil organisasi bawah tanah. Tempatnya di ruang bawah gedung tua yang dulunya hotel, kini menjadi markas bayangan bagi kelompok Alpha yang tidak ingin tunduk pada pemerintah.
Udara di sana tebal oleh asap rokok dan feromon bercampur, membuat setiap tarikan nafas terasa berat. Lampu redup menggantung rendah, memantulkan bayangan panjang di dinding bata.
Salah satu Alpha besar, pria bernama Bagas, duduk di ujung meja. Tubuhnya besar, suaranya berat seperti batu yang terguling. Ia menatap Josephine dari atas ke bawah dengan senyum sinis.
“Dev sudah gila,” katanya sambil menyalakan cerutu. Asapnya berputar lambat di udara. “Tidak kapok dengan kelakuan anaknya, sekarang cucu Omeganya yang mewarisi posisi. Sekuat apapun dia, pada akhirnya Omega tetap Omega.”
Beberapa orang tertawa kecil, tapi Rox diam. Ia tahu Josephine cukup pintar untuk menahan diri. Tapi kali ini, gadis itu menatap lurus, tanpa ekspresi.
“Lucu,” katanya pelan, tapi nadanya menohok. “Aku juga berpikir Alpha seperti Anda sudah punah — ternyata masih ada yang hidup dengan otak abad lalu.” Matanya mengerling tajam membuat seluruh ruangan hening. Bagas berhenti mengisap cerutunya.
“Berani bicara apa, bocah?”
Josephine berdiri. Langkahnya mantap, suaranya tetap rendah tapi penuh tekanan. “Aku bicara fakta. Dunia berubah, tapi pikiran kalian tidak. Karena itu kalian semua masih di sini — di ruang bawah tanah, menyembah kekuasaan yang sudah usang.”
Beberapa orang tegang. Rox mengangkat tangannya, berusaha menahan situasi, tapi Josephine sudah melangkah lebih maju. Tawa sinisnya pecah — bukan tawa yang keras, melainkan dingin dan tajam seperti retakan kaca.
Dalam sekejap, feromon Rox keluar pelan, menekan atmosfer ruangan. Walau ia Alpha resesif tapi cukup kuat untuk menahan ledakan situasi. “Cukup,” katanya singkat. “Dia berbicara di bawah perlindunganku.”
Bagas menatap tajam, tapi akhirnya mendecak kesal dan duduk kembali.
Josephine juga duduk, menatap lurus ke depan seolah tidak terjadi apa-apa. Rox hanya bisa menghela napas, mencatat dalam pikirannya karena gadis itu seperti bara yang menolak padam. Pertemuan yang sudah terencana bisa kembali sesuai keinginannya. Matanya pun tidak lepas dari tangan Josephine yang sudah siaga sampai rapat usai.
“Kamu akan membuat banyak musuh, Jo,” bisiknya setelah pertemuan bubar.
Josephine menatapnya datar, tanpa senyum. “Musuh tidak masalah. Yang penting mereka tahu keberadaanku.”
Malamnya di apartemen kecilnya, Elizah duduk dengan buku catatan di pangkuannya. Lampu-lampu kota memantul di matanya, menciptakan kilau lembut di iris abu-abu yang mirip milik kakaknya. Di bawah sana, lalu lintas berderu seperti sungai cahaya yang tak pernah berhenti.
“Eli sudah tidur?” tanya Josephine, berdiri bersandar di pintu balkon sambil memegang secangkir teh hitam. Aroma relaksasi sedikit masuk karena angin.
Elizah tidak menoleh ke arah balkon kamar kakaknya, matanya fokus pada coretan tangannya. “Belum. Aku sedang menulis.”
“Hm,” Josephine mencoba mengintip, menatap buku itu. “Tentang apa kali ini?”
Elizah tersenyum kecil. “Tentang kita. Tentang dunia yang menolak kita.”
Josephine menatap langit. Lampu-lampu neon dari gedung-gedung jauh berpendar seperti bintang buatan. Angin malam membawa aroma bunga dari toko di bawah.
“Kenapa kamu memilih jalan ini, Kak?” tanya Elizah pelan.
“Karena aku tidak ingin ada lagi Omega yang dipaksa tunduk.”
Elizah menutup bukunya perlahan, dia akhirnya melihat Josephine yang tersenyum. “Dan kalau dunia menolakmu?”
Josephine menatap jauh, ke arah lampu-lampu kota yang berpendar seperti medan pertempuran. “Maka aku akan memaksa dunia untuk berlutut.”
Elizah terdiam lama hingga mendengar suara pintu tertutup. Sepertinya Josephine sudah akan tidur dan Elizah menghentikan tulisannya. Ia tahu kakaknya tidak sekadar berani — ia berbahaya.
Sementara itu, di bawah cahaya redup ruang latihan, Rox berdiri sendirian menatap catatan hasil pengamatan Josephine. Setiap minggu, grafik menunjukkan penurunan drastis reaksi feromon gadis itu. Ia benar-benar berhasil mengendalikan tubuhnya di tingkat biologis — sesuatu yang bahkan tidak bisa dilakukan Alpha dominan.
“Kalau terus begini,” gumam Rox, suaranya pelan, nyaris kagum, “dia akan jadi sesuatu yang lebih dari sekadar Omega.”
Ia menutup map laporan itu, menatap ke arah pintu tempat Josephine biasa berdiri seusai latihan. Di satu sisi, ia merasa bangga — gadis itu adalah simbol kekuatan baru, bukti bahwa sistem lama bisa hancur. Tapi jauh di lubuk hatinya, Rox juga merasa ngeri.
Sebab setiap kali Josephine menatap dunia, ia tidak melihat seseorang yang ingin hidup, tapi seseorang yang ingin menang. Dan kemenangan, di dunia mereka, selalu datang dengan harga diri.