Catatan Papa dan Alpha

2093 Words
Suatu pagi di mana meja makan harusnya sudah diisi oleh Josephine, Elizah dan Elara malah kosong. Josephine sedang memberi sedikit cairan penghambat ke mulut Elizah. Sedangkan Elara terus mengingatkan putrinya untuk tetap tenang. Saat ini, Elizah mengalami demam tinggi. Para dokter dan perawat sudah ambruk karena tekanan feromon. Yang bertahan hanya segilintir penjaga Alpha yang terus memegang tubuh kejang Elizah. “Nak, ingat. Kamu kuat,” ujar Elara yang hampir kehilangan suara. Walau sudah mengenakan APD pencegah feromon tetap saja dia adalah seorang Omega. Hanya Josephine yang masih bertahan untuk terus memberikan penghambat. “Ikat Elizah jangan terlalu kencang,” katanya setelah memastikan semua penghambat diminum Elizah. “Baik Nona.” Dua penjaga mengikat tangan dan kaki gadis itu. Lainnya mengikuti perintah jari Josephine yang menunjuk para dokter dan perawat. Mereka membawa orang—yang terdiri dari 2 Dokter Alpha, 1 Dokter Beta dan 12 perawat Beta—tidak ada omega selain Elara dan Josephine mengingat Elizah adalah Alpha yang belum teridentifikasi. Rox yang mendengar laporan dari sebagian penghuni apartemen sudah tiba dan menatap dingin ke arah Elara. Wanita itu berjalan sempoyongan penuh keringat. “Lebih baik kamu berada di Vila saja, Elara.” Perkataan itu membuat hati Elara mencelos. Semenjak kematian Dion, baik Dev dan Rox tidak menganggap keberadaannya. “Aku masih bisa menjaga putri-putriku.” Ucapan itu tidak ditanggapi oleh Rox. Ia malah melenggang pergi memasuki kamar Elizah. Di dalam ruangan kacau, Josephine duduk lemas di sofa dekat meja belajar. Sedangkan dua penjaga yang mengikat tubuh Elizah jatuh pingsan tidak lama Rox masuk. Rox bisa merasakan tekanan yang sangat kuat meski jendela sudah terbuka lebar. “Feromon ini bisa menguasai kota,” kata Rox mengibaskan tangan. Feromon pekat dengan aroma seperti serbuk kayu sangat menusuk hingga lapisan epidermis. Mata Rox melirik ke arah Elizah yang tidak sadar di atas tempat tidur. “Aku sudah menghubungi orang-orang untungnya mereka sudah mengungsi ke luar gedung ini.” Rox mengerti. Semua yang mengisi ruangan apartemen adalah karyawan dan penjaga keluarga Dion. Mereka adalah aset berharga bagi Josephine yang ingin menginjak tahta tertinggi. “Kalau begitu lebih baik Elizah pindah ke kota yang memiliki resiko sedikit.” Saran yang masuk akal diberikan Rox. Ia melihat banyak Alpha yang berjaga di bawah gedung. Mata Josephine melirik ke arah Rox entah apa yang dipandang dari jendela. Dia benar. Namun, Elizah berhak memiliki kehidupan normal, menurutnya. “Setelah sadar aku akan pertimbangkan.” Desah Josephine menengadahkan kepala. Tenaganya sudah terkuras habis untuk sekedar membaca. Padahal ia tahu Jeremi sudah meringkas dengan sangat baik. “Ngomong-ngomong Jeremi sangat baik,” kalimat Josephine menggantung. Tangannya mengingat kejadian beberapa hari lalu. “...” “Aku tidak tahu hubungan kalian sedekat itu hingga dia seperti tikus kalau tidak ada Paman,” lanjutnya. Kali ini dia membalikkan pandangan ke arah Rox. Wajah yang sudah menumbuhkan keriput baik di mata dan dahi masih sangat menawan. Terutama Pamannya adalah pria single. Banyak beta dan omega yang mengincarnya sekedar bercinta atau menjadi parasit. “Aku akan di sini lebih baik kamu pelajari itu semua.” Rox mengalihkan percakapan. “Heh, jadi benar ya?” “Apa?” Josephine kecewa saat Rox memilih beranjak. Tidak ada balasan untuk pernyataannya. “Paman suka dengan Jeremi.” Wajah Rox mengeras. “Lakukan tugasmu itu atau kulaporkan ke Kakekmu.” Josephine tertawa. Baru kali ini Rox tidak menjawab pertanyaannya. Padahal sewaktu kecil pertanyaan konyol darinya dijawab cukup serius. Dia bangkit lalu membawa dirinya ke ruang kerja. Untuk beberapa saat dia melihat adiknya yang sudah bernafas normal. “Cepat sadar, Elizah.” Hujan deras menjadi latar jendela apartemen Josephine malam itu. Rox kembali ke kantor setelah ia menjenguk atau lebih tepatnya memberikan pekerjaan dari Jeremi padanya. Ia masih bertahan di ruangan kerja setelah selesai. Hanya suara hujan dan desis api dari tungku kecil menemani Josephine saat dia melihat sesuatu menarik di laci. Sebuah kotak logam. Kotak yang berisi dokumen milik Papanya. Di dalamnya terdapat tumpukan dokumen, catatan medis, dan satu buku harian lusuh bertanda 'Confidential D. Agust' Ia menarik napas dalam. Tangannya sedikit gemetar saat membuka halaman pertama — tulisan tangan sang Papa, Dion. “Jika suatu hari kamu membaca ini, berarti kamu sudah cukup dewasa untuk mengerti bahwa darahmu tidak sederhana, Jo. Dan darahku bahkan lebih rumit. Begitu juga Ayahmu karena dia Alpha Dominant.” Josephine terkaget saat membaca catatan itu seperti Dion telah mengetahui dia akan mencarinya. Tinta itu pudar tapi jelas ditulis dengan kepanikan yang dalam. Layaknya dia sudah memprediksi masa depan. Di lembar-lembar berikutnya, Dion menulis hasil penelitian pribadi baik analisis genetik, laporan laboratorium, hingga coretan yang menunjukkan hasil tes pheromone response dari Elizah saat masih di dalam kandungan. “Elizah bukan Beta atau -omega-(tulisan omega dicoret). Tanda-tandanya tidak pernah hilang. Ia mengalami represi sistemik akibat manipulasi hormon ketika Elara hamil. Aku menduga — anak itu Enigma, tapi darah itu berbeda dari Alpha. Tapi instingku selalu benar. Aku ingin menjauhi anak itu dari Julien” Josephine menutup buku itu pelan. Kata Enigma di situ terasa seperti hantaman. Ia menatap foto tua di meja Papanya tersenyum, memegang Josephine kecil. Senyum lembut itu… tapi matanya — dingin dan kuat, seperti menyembunyikan sesuatu. Hampir semua foto hanya mereka berdua. “Papa tahu, tapi tidak pernah memberitahu siapa pun,” gumam Josephine lirih. Ia berdiri, mengambil telepon dan menelepon Rox. Di kepalanya hanya Pamannya yang bisa membantu. “Rox, aku butuh seseorang,” katanya cepat. “Seseorang dari luar negeri, spesialis genetik feromon.” Terdengar suara balasan dari seberang. “Dan aku ingin tahu siapa sebenarnya Julien.” Rox terdiam beberapa detik. “Ini bukan hal kecil, Jo. Kamu tahu riset feromon Alpha lintas negara diawasi ketat. Lagian Julien adalah buronan kita.” Ingatnya karena banyak hal terjadi akibat Ayah Josephine. “Aku tidak peduli,” jawab Josephine dingin. “Aku hanya butuh hasil. Aku akan kirim file Papa padamu.” Putus Josephine. “Baik,” kata Rox akhirnya. “Kamu sadar telah membuka pintu yang mungkin tak bisa ditutup lagi?” Josephine menatap kaca jendela, melihat refleksinya sendiri bersama hujan. “Aku sudah lama hidup dengan pintu yang terkunci. Sekarang waktu yang tepat untuk dibuka.” Keesokan harinya, bandara milik Rox menerima tamu yang tidak biasa—seorang pria tinggi berambut pirang pucat dengan mata kekuningan tajam, mengenakan mantel panjang abu-abu. Namanya Dr. Hyun Gilbert, Alpha dari konsorsium riset feromon di Timur. “Jadi Anda Josephine Agust,” katanya saat menyalami. “Tuan Rox bilang Anda bukan hanya lulusan terbaik tapi juga calon pewaris.” Josephine membalas tatapan itu tanpa gentar. “Saya mempekerjakan Anda untuk menganalisis sindrom yang belum diklasifikasikan. Ini adalah bidang anda, bukan?” “Baik,” jawabnya. “Tapi untuk meneliti, saya butuh sampel genetik — dari subjek dan keluarganya.” Josephine mengeluarkan amplop tebal. “Darah adik saya, rambutnya, dan catatan medis dari Papa dan Ayah saya. Semua sudah di dalam sini.” Hyun mengangguk pelan, lalu menatapnya lagi. Tatapan Alpha itu sangat dalam seperti menyelidik. “Dan Anda ingin saya memastikan apakah dia… Enigma?” Josephine diam sejenak, entah mengapa badannya menegang. Padahal dia sudah meminum banyak penghambat untuk pertemuan ini. “Ya. Tapi jangan hanya itu. Aku ingin tahu kenapa darahnya tidak bisa didonor oleh ibunya atau keluarga— bahkan Ayah saya tidak tahu.” Ungkap Josephine. “Menarik,” gumam Hyun. “Itu berarti Anda juga mengindikasikan represi genetik.” Josephine menatap Alpha itu tajam hingga akhirnya ia menutup. Rox sudah berusaha keras untuk mengundang dokter terbaik jadi dia tidak akan mengacau. “Aku ingin tahu apakah ini buatan yang diciptakan Ayah saya—atau kutukan keluarga saya.” Sebuah gedung bekas laboratorium milik Rox berubah jadi rumah sakit non-komersial. Mesin sekuensial, tabung pendingin, layar monitor penuh grafik. Hyun bekerja dengan tim kecil milik Rox, sementara Josephine duduk tenang mengamati tanpa bicara. Wajahnya datar, tapi matanya menatap setiap data seperti membaca nasib keluarganya sendiri. Ia ingin memastikan dokter itu tidak melakukan kesalahan. Terutama sudah tiga hari adiknya belum sadar. Hyun memecah keheningan. “Nona Josephine,” katanya pelan. “Aku harus jujur. Hasil ini… tidak biasa.” “Berapa persen kepastian?” “Delapan puluh sembilan.” Hyun memutar layar ke arahnya. Ia sangat yakin akan nilai tersebut. Sedangkan Josephine hanya memijat pelipisnya pelan. “Darah Ayah kalian mengandung gen dominan Alpha yang tidak aktif karena blokade feromon sintetis. Artinya, seseorang atau sesuatu sengaja menekan.” Josephine mengangguk mengerti tapi dia juga bingung. “Siapa yang bisa melakukan itu?” “Hanya satu pihak di era ini,” jawab Hyun hati-hati. “Konsorsium GeneSol — mereka yang dulu meneliti kompatibilitas Alpha-Beta untuk pengendalian populasi.” Nama itu membuat Josephine membeku. Ia tahu nama itu dari satu tempat laporan rahasia Papa — halaman terakhir buku harian yang belum sempat ia baca. Hyun memberikan sebuah injeksi berisi cairan obat yang sudah diracik. “Terima kasih atas infonya,” ujap Josephine mulai bersiap pergi. “Ya. Semoga adikmu cepat sadar.” Josephine buru-buru berlari kembali ke apartemennya. Dia mengemudi dengan kecepatan tinggi. Hingga sampai ke apartemen, ia tidak peduli dengan sapaan Elara. Dibukanya ruangan kerja untuk membuka halaman terakhir dengan tangan gemetar. “Jika aku gagal melindungi Elizah, tolong jangan percaya siapapun dari GeneSol. Mereka ingin mematikan Alpha murni agar dunia tidak lagi punya pemimpin sejati. Carilah Julien karena dia berhasil keluar dari sana.” Josephine menutup buku itu. Dadanya terasa sesak. Julien adalah orang GeneSol. Ia mengirim pesan pada Rox: [Aku tahu lokasi persembunyian Julien.] Pagi berikutnya, Elizah membuka matanya. Di sampingnya Josephine tengah membaca lembar-lembar kertas. “Kak,” panggilnya dengan suara serak. “Untunglah kamu sudah sadar. Apa kamu haus?” Kepalanya menggeleng lemas dan dipaksakan tubuhnya bergerak. Josephine membantu Elizah untuk duduk. Beberapa kali batuk membuat perut Elizah nyeri. “Mau mandi?” “Iya.” “Sebaiknya minum ini dulu dan makan masakan Mama.” Kepalanya masih menggeleng. Badannya sudah sakit semua. Apalagi dia cukup ngeri dengan bekas jerat di kedua tangan. “Sudah berapa lama aku tidak sadar, Kak?” “Empat hari. Sekolahmu aman. Tony banyak memberikan catatan setiap hari walau dia dan Tanya tidak bisa menjenguk.” Menunduklah kepala Elizah. Ia sangat sedih telah merepotkan banyak orang. Tangan Josephine spontan mengelus kepala dan menepuk punggung kecil Elizah. Berusaha membangkitkan semangat adiknya. “Maaf.” Josephine mendesis tidak suka. “Pasti menyakitkan ya. Kakakmu ini akan berusaha mencari obat yang cocok untuk rut-mu.” Ucap Josephine menyentuh tangan Elizah yang membiru. “Apa semua Alpha perempuan sepertiku?” Josephine tidak kaget akan pertanyaan Elizah. Malah dia mendekap tubuh Elizah. “Entahlah, Kakakmu ini omega jadi tidak tahu.” Elizah membalas pelukan itu hingga tangan Josephine mendorong pelan. “Kita cuci muka dan makan dulu. Setelah tenagamu pulih baru mandi? Gimana?” Remaja itu mengangguk dan pelan-pelan menurunkan kakinya. Josephine pun memanggil salah satu perawat untuk menyiapkan baju ganti. Ia berjalan dipapah menuju ruang tamu, saat ini ia mengenakan sweater abu-abu dan syal sederhana. Wajahnya lembut, tapi sedikit gugup melihat perlengkapan medis milik beberapa dokter. Dia tidak melihat Ibu selain banyak orang yang tidak dikenal. “Kak, apa ini?” tanyanya pelan. Ia berdiri di belakang tubuh kecil Josephine. Josephine menarik tubuh Elizah tentu ia menatapnya dengan campuran kasih dan rasa ingin tahu yang dalam. “Ini kepala dokter yang akan mengurusmu. Namanya Hyun Gilbert.” Tunjuk Josephine pada pria tinggi berambut pirang. Sejak tadi pria tersebut tersenyum memandanginya. “Salam kenal Elizah Agust.” Ucap Elizah sembari membalas uluran tangan pria tersebut. Dari aromanya jelas bahwa dokter itu adalah Alpha. Elizah kembali menatap Josephine. “Dia dokter khusus untukku?” tanya memastikan. Josephine mengangguk dan turut memperkenalkan beberapa anggota tim kedokteran yang dipimpin oleh Hyun. Setelah perkenalan tersebut mereka mengundurkan diri kecuali Hyun yang sudah menerima tawaran makan malam dari Elara. Sedang Elizah sejak dari awal perkenalan memandang tidak suka ke arah Hyun. Bukan karena dia Alpha yang dekat dengan kakaknya melainkan sikapnya. Bisa-bisanya pria itu dengan terang-terang mendekati kakaknya menggunakan feromon. Bahkan ibunya-Elara tidak menyadari sejak tadi pria pirang tersebut menyebar feromon. “Kakak yakin tidak salah merekrut?” bisik Elizah masih menatap jijik ke arah Hyun yang menggoda Elara. Dia sedang memuji masakan Elara yang menurutnya lebih enak dari catering kantor. “Paman Rox sendiri yang merekomendasikan.” Kepala Elizah menggeleng. “Kakak kenapa mau?” “Ya. Seperti yang kamu tahu bahwa kamu belum menerima kartu dan banyak dokter tidak bisa mengidentifikasi kalau kamu seorang Alpha. Jadi kakak merekrut ahli genetik.” “Aku hanya ingin tahu sesuatu yang harusnya Papa sudah bilang dari dulu.” Lanjutnya yang membuat Elizah semakin bersalah. Banyak orang yang menginginkan kesembuhannya. Padahal dia adalah anak angkat Dion. Dia merasa bersalah telah merepotkan banyak orang terutama kakaknya, Josephine.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD