"Aku rasa kita harus menyewa rumah yang lebih privacy, May," Arkana menyelipkan anakan rambut yang jatuh menjuntai di pipiku.
"Kenapa begitu?" tanyaku masih dalam selimut yang sama. Aku masih belum mengerti maksud Bayu menyewa rumah lagi untuk apa.
"Kehamilanmu akan semakin besar, aku nggak mau orang lain tau sebelum kita menikah," jawab Bayu.
Benar apa yang dikatakan Bayu,
"Oh, kamu akan pindah dari kostan ini? Lalu kapan kamu bawa orangtuamu untuk menemui Papa Mama?" desakku.
"Aku akan tetap di sini, tapi akan lebih sering bareng kamu. Tentang pernikahan, aku akan bilang sama Mama Papaku dulu. Baru akan melamarmu,
ini gak akan mudah May tapi aku akan berusaha ngeyakinin mereka untuk nikahin kamu,"
"Dan sudah seharusnya mereka merestui Kita Bay, Aku nggak mau anak ini lahir tanpa Ayah," Aku mengelus perutku yang masih rata.
Ah kenapa juga aku harus hamil, segalanya akan berjalan lancar jika aku ngga hamil. Tanpa sadar aku memukul pelan perutku ternyata Arkana melihatnya.
"Hei, apa yang kamu lakuin? Bayi ini nggak bersalah, dia anakku jangan kau sakiti," Bayu meraih tanganku yang baru saja memukul perutku.
"Seharusnya dia nggak ada di sini Bay, aku belum siap," ucapku lirih.
Bagaimana dengan mimpiku menjadi seorang arsitek? bagaimana dengan orangtuaku?Mereka pasti akan sangat kecewa begitu tahu putri yang mereka banggakan melempar kotoran di wajahnya.
"Maya, aku akan tetap tanggung jawab apapun yang terjadi. Dengan atau tanpa restu orangtuaku, aku akan nikahin kamu," Ia membawaku ke pelukannya, kabut yang dari tadi menggenang di mataku akhirnya tumpah lagi menjadi lelehan air mata.
"Kamu janji nggak ninggalin Aku, Bay"
"Of course, Babe. I don't ever leave you," Bayu meremas jemariku kuat.
Aku harap ucapannya dapat dipercaya. Hanya janji yang bisa aku harapkan darinya saat ini.
Bayu menatapku intens, Ia menghapus air mataku. Diciumnya pucuk kepala dan pipiku, kemudian bibir ini juga tidak dilewatkannya di lumatnya pelan. Wangi aroma mint nafas Arkana sangat menenangkan hatiku.
Katakanlah aku bucin, memang seperti itu. Aku mencintai Arkana bukan karena kekayaan yang Ia miliki. Bisa saja Ia membelikan apa saja yang kumau, tapi bukan itu yang kusuka darinya. Semua tentangnya bagai candu untukku, perhatiannya, manjanya, tubuh kekarnya, rahang kokohnya dan juga wajah tampannya.
Sudah seminggu sejak mengatakan Aku hamil, perlakuan Arkana semakin manis. Ia menuruti apa saja yang aku inginkan.
Akhirnya kami memutuskan untuk menyewa sebuah rumah yang cukup terjaga privacy-nya. Alasannya Arkana tidak ingin kehamilanku terganggu karena omongan orang dan perubahan tubuhku yang semakin berisi.
"Sayang, habis ujian semester ini lebih baik kamu ambil cuti dulu yah, biar fokus sama kehamilan kamu,"
"Tapi Bay, kuliahku kan tinggal setahun lagi"
"Iya aku ngerti, tapi kamu mau kuliah dengan perut buncit seperti ini?" Bayu mengelus perutku pelan "Selamat pagi anak papah. Sehat-sehat di sini yah!" ucapnya seolah berkomunikasi dengan bayi dalam perutku. Diam-diam aku tersenyum melihatnya.
"Aku belikan s**u hamil, supaya anak kita lahir sehat dan sempurna," Ia mengeluarkan kantong belanja yang Ia simpan di dalam tas ranselnya, pasti sengaja Ia lakukan agar tak terlihat orang-orang.
"Makasih, Bay," kuletakan kedua tanganku di bahunya.
"Dengan senang hati, Sayang" Ia mencium pipiku sekilas.
"Hari ini aku ada kelas. Aku mau berangkat kuliah," ucapku. Aku tidak mau melewati mata kuliah Pak Raka.
"Oh ya. Kalau gitu aku anter. Bumil nggak boleh jalan sendiri," Ia meninggalkanku membawa s**u kotak tadi ke dapur. Kemudian kembali lagi dengan segelas s**u coklat ditangannya.
"Ini diminum,"
Aku mengambil gelas yang Bayu bawa hendak meminum s**u yang Ia berikan.
"Huekkk, nggak enak," ucapku hampir muntah. s**u ini sangat bau, aku tidak bisa menelannya.
"Oh, come on Babe, kamu harus meminumnya supaya bayi kita sehat." Bayu memegang gelas yang aku pegang. Ia membantuku meminumkan gelas s**u tadi. Entah kenapa setelah ia yang meminumkannya rasa bau tadi berubah menjadi rasa coklat yang enak.
"Good Job! Mau berangkat sekarang atau nanti?"
"Sekarang aja, Bay,"
"Oke Nona. Aku juga sudah siap."
Kami berjalan beriringan menuju mobil yang berada di garasi. Untung saja tetangga di sini tidak sibuk mengurusi orang, jadi aku dan Bayu bisa dengan leluasa keluar masuk rumah.
Arkana membukakan pintu untukku kemudian memakaikan seatbelt.
"Bay,"
"Ya, May!" Aku sebenarnya ingin bertanya tentang orangtuanya kapan akan datang ke rumahku, tapi rasanya masih terlalu pagi untuk membahasnya. Aku ingin pikiran kami tidak terganggu saat di kelas nanti.
"Nggak papa, kira-kira temen-temen sadar nggak ya aku hamil, tubuh aku pasti gendutan sekarang," sebenernya bukan ini yang ingin Aku bahas.
"Bilang aja kamu bahagia karena pacaran denganku, makanya makin gendut," jawabnya enteng.
"Jadi bener aku gendut, Bay?" entah mengapa ucapan Arkana membuatku sangat kesal, aku takut Arkana akan berpaling dariku karena aku gendut.
"Aduh, salah lagi. Walaupun kamu gendut. Aku suka makin pelukable," Arkana mencium tanganku dan meletakannya di pahanya. Pipiku menghangat mendengar ucapannya. Untuk apa aku meragukan Arkana kalau seperti ini.
Kami telah sampai di pelataran parkir. Rumah sewa kami cukup jauh dari kampus di pinggiran kota, sengaja supaya tidak terdeteksi teman-teman kalau kami tinggal bersama.
"Mayaaa...," Stefani sahabatku memelukku, baru seminggu nggak ketemu aja udah lebay. Tapi kami memang sedekat itu.
"Faniiiii,"
"Hmmm... Kalian ini udah kaya anak kembar," ucap Bayu.
Steffani tertawa mendengar protesan Arkana.
"Ish, Bayu kita kan dah lama nggak ketemu,"
"Seminggu Steffani, baru seminggu. Udah kaya nggak ketemu setahun aja," Bayu menyedekapkan kedua tangannya di perut.
"Biar aja sihhh. Kita kan bestie. Ya kan, May?" Aku terkekeh mendengar ucapan Steffani.
"Baru seminggu ngga ketemu makin bohay aja niy body,"
Deg!
Aku dan Bayu saling bertatapan karena mendengar ucapan Steffani.
"Iya, makannya banyak Stef. Yang pasti aku makin suka. Pelukabel banget," Arkana menangkap kegelisahanku dengan sigap Ia membalas pernyataan Steffani. Arkana merangkul pundakku dan mengusap-usapnya.
"Uhhh...so sweet banget deh kalian. Boleh ngga sih Bayunya di copy paste buat gue satu,"
Aku memelototi Steffani mencubit pinggangnya pelan.
"Becanda Mayyyaa, udah ayo masuk. Nanti Pak Raka ngomel kalau kita telat," Steffani mengajakku masuk ke dalam kelas meninggalkan Arkana yang berbeda kelas hari ini.
"Aku masuk kelas dulu ya, Bay. Nanti aku wasap kalau sudah kelar,"
"Iya, May."
Kelas sudah penuh dengan mahasiswa. Ada beberapa mahasiswa yang di atasku ikut mengambil mata kuliah ini. Mungkin remedial. Berarti semester depan aku juga kemungkinan akan bareng dengan adik tingkatku, karena menunda satu semester. Tanpa sadar aku mengelus perutku yang tertutup dengan kemeja besar untuk menyamarkan perutku yang sedikit membuncit.
"Kenapa kamu, May? Ngelus-ngelus perut. Lapar?" rupanya Steffani diam-diam mengamati gerakanku. Sepertinya Aku harus lebih hati-hati atau aku ceritakan nanti kepadanya. Tapi kalau aku cerita sama Steffani apa dia bisa menjaga rahasiaku. Lebih baik aku sembunyikan dulu saja.
"Eh, iya Fan, tadi buru-buru belum sempet sarapan," jawabku sedikit gugup semoga ia tidak curiga, 'Maaf Fani, aku jadi bohong sama kamu,' ucapku dalam hati.
"Ya ampun, Maya, Kamu kan nggak boleh telat sarapan, bisa kumat aslam kamu,"
"Iya Steffani, Aku bawa ini kok," Kukeluarkan roti yang tadi sempat Arkana masukan ke dalam tasku ternyata berguna juga roti ini. Memang sekarang Aku lebih sering lapar. Mungkin karena yang makan bukan aku saja makanya cepat lapar.
"Yaudah buruan makan sana, keburu Pak Raka dateng," Steffani memang sangat bawel perihal makan, sebab dia tahu kalau asam lambungku kumat bisa sampai masuk rumah sakit.
"Iya Gwen Steffani Malachyta," Ia mencebik mendengar namanya kusebut lengkap.
Steffani paling sebal jika aku menyebut nama lengkapnya. Sebab nama itu nama pemberian Ibu yang meninggalkan Steffani saat Ia berumur 9 tahun.
Tante Marissa Ibu Steffani lebih memilih pria lain karena Ayahnya terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Tante Marissa beralasan Ia tidak hanya butuh materi saja Ia juga butuh perhatian.
Steffani kecil belum cukup mengerti masalah orang dewasa saat itu yang Ia ingat Ia menangis saat Ibunya lebih memilih lelaki itu ketimbang dirinya.
Sejak kepergian Ibunya, Ayah Steffani semakin worcaholic hampir melupakan Steffani, akhirnya Nenek Steffani dari pihak Ayahnya membawa seorang perempuan dari kampung untuk mengurus Steffani.
Nenek Steffani melihat ketulusan Linda. Ia sangat menyayangi Steffani seperti anak kandungnya hingga akhirnya Nenek meminta Ayahnya menikah dengan Linda. Karena tidak mau pusing Om Anton ayah Steffani menerima begitu saja, yang penting Steffani terawat dengan baik.
Tante Linda pun menurut begitu Nenek Karmila mengutarakan niat menjodohkannya dengan anak majikannya itu sebagai bentuk terimakasih karena telah membantu perekonomian keluarga Tante Linda yang sedang terpuruk.
Di bawah asuhan Linda, Steffani tumbuh menjadi wanita penyayang. Dulu Ia lebih senang dipanggil Gwen, tapi sejak kepergian Ibunya Ia tidak mau dipanggil Gwen lagi.
Sama seperti Ibu kandungnya yang jelas-jelas dicintai Om Anton saja sering dicuekin, apalagi dengan Tante Linda. Om Anton lebih dingin walaupun tidur masih satu kamar.
Tante Linda tidak mempermasalahkannya, Ia tetap berlaku baik pada Steffani dan ayahnya sebagai bentuk bakti pada suami dan Nenek Karmila.
"Aduh, pusing banget." Aku memijit pelipis pelan, diakhir jam selesainya kelas aku merasa sangat pusing.
"Kamu kenapa, May?" Steffani berbisik pelan.
"Kayaknya aku masuk angin nih," kulihat jam tangan masih lima belas menit lagi kelas berakhir, sementara peluh membanjiri pelipisku. Mungkin ini yang dinamakan morning sickness atau mabuk hamil. Padahal tadi pagi di rumah baik-baik saja kenapa harus pusing di tengah kelas gini.
Rasa mual melanda, "Huek,"
kutahan suara sepelan mungkin agar tidak mengganggu jalannya kelas dan menimbulkan kecurigaan. Sungguh rasanya tidak enak sekali, ingin sekali kukeluarkan isi dalam perutku ini.
"Kamu kenapa May?" tiba-tiba Pak Raka sudah berada di belakangku.
'Ma ti aku, semoga ia tidak curiga '