Bab. 55

1805 Words
    Setelah dua hari aku tidak sekolah, karena merawat ibu di rumah. Dan tepat hari ini, aku pun akhirnya masuk ke sekolah dan hari ini juga aku melaksanakan perlombaan bola voli. Keadaan ibu juga sudah kembali sehat, dan ia juga pun hari ini mulai kembali bekerja di cafe. Tentang ayah, semenjak hari itu dimana hari ayah yang tidur bersama dengan seorang wanita yang entah tidak tau wanita itu siapa dan kepergok oleh ku dan ibu. Sikap ayah masih sama, tidak ada perubahan. Tidak ada permintaan maaf yang keluar dari mulut nya itu. Bahkan, ayah dengan tidak malu nya masih saja suka meminta uang dengan ibu. Dan untuk ibu, semenjak hari itu, ibu pun seperti menjaga jarak dengan ayah? Tapi, aku juga tak tau. Mungkin ini hanya perasaan ku saja. Sudahlah, aku tidak mau pusing memikirkan masalah itu.      Setelah aku mengikat rambutku menjadi satu dan merapihkan seragam olahraga ku, aku segera mengambil tas ku yang ku letakkan di atas kasur. Aku berjalan keluar dan di sana sudah ada ayah yang duduk di kursi makan dengan sambil menyeruput kopi panas nya. Namun, di sana tak terlihat keberadaan ibu. Aku pun berjalan menuju kamar ibu, aku mengetuk terlebih dahulu pintu kamar nya. Setelah itu, aku pun langsung membuka pintu tersebut. Di sana aku melihat ibu yang sudah memakai seragam kerja nya. Aku mengerutkan kening ku. Sekarang masih pukul tujuh pagi, namun tumben sekali ibu sudah rapih seperti ini.      "Ibu mau berangkat kerja sekarang?" tanya ku kepada ibu yang sedang memoleskan lipstik yang berwarna merah ke atas bibir nya itu. Ibu hanya berdehem.     "Tumben sekali Bu," ucap ku heran.     "Ibu mau datang lebih awal, tidak enak jika ibu datang kesiangan setelah ibu beberapa hari tidak bekerja," ucap nya. Aku mengangguk paham.     "Yasudah, aku mau pamit berangkat sekolah sekarang ya Bu," ucap ku berpamitan.     "Tidak sarapan dulu? Kenapa? Ibu sudah menyiapkan sarapan nya loh," tanya ibu. Aku menggeleng. Entah kenapa pagi ini aku sedang tidak nafsu untuk memakan apapun.     "Aku langsung berangkat saja Bu," ucap ku. Ibu pun mengangguk.     "Yasudah, hati-hati ya sayang," ucap ibu. Aku pun mengangguk. Tak lupa sebelum pergi aku mencium terlebih dahulu pipi ibu.      "Ini sayang, ibu ada uang dua puluh ribu untuk uang saku kau di sekolah. Maaf ya.... Ibu hanya ada uang segini, uang ibu sudah habis untuk pembiayaan ibu di rumah sakit kemarin," ucap ibu sedih. Aku tersenyum memahami kondisi ibu.     "Tidak usah seperti itu ibu, aku paham kok. Tidak apa-apa aku juga masih ada uang tabungan," ucap ku menenangi nya.     "Iya, ini ambil ya sayang," ucap ibu dengan tangan nya menyodorkan uang kertas dua puluh ribuan kepada ku. Aku pun dengan segera mengambil nya.     "Terima kasih ibu, aku berangkat sekarang ya," ucap ku. Kemudian, aku pun meninggalkan ibu di kamar nya yang masih bersiap-siap untuk berangkat kerja ke cafe. Aku menutup kembali pintu kamar nya. Ketika aku melewati dapur, di sana sudah tidak ada ayah. Entah kemana pergi nya ia pagi-pagi seperti ini. Aku pun langsung saja berjalan keluar rumah menuju halte untuk menunggu bus datang. ---     Aku memegang bola voli yang akan aku lemparkan ke lawan main kelas ku. Aku meluruskan tangan ku, bersiap untuk memukul bola agar terlempar ke lawan. Dan, aku pun memukul bola itu dengan kencang sehingga bola itu pun melambung melewati net yang berada di tengah-tengah antara kelas ku dengan kelas dua belas IPA satu. Aku pun bermain dengan fokus. Bukan hanya aku saja, pemain lainnya pun sangat fokus dalam pertandingan ini. Sorakan demi sorakan saling bersautan, menyemangati masing-masing kelas sendiri. Sampai ketika aku tidak sadar jika ada yang melemparkan bola nya ke arah ku dengan sangat kencang sampai bola itu pun jatuh dan terkena kepala ku. Aku pun langsung saja terduduk, merasakan pusing yang langsung menyerang kepala ku. Aku memejamkan kedua mata ku sambil tangan ku memegang kepala ku, aku tak mendengar lagi banyak nya suara-suara yang menanyakan keadaan ku. Aku tidak bisa menjawab nya.     "Aruna!!! Astaga!" ucap seseorang, dan suara itu pun tak asing di pendengaran ku. Itu adalah suara Duma tentunya. Aku tak menggubris panggilan nya.     "Teman-teman tolongin dulu loh ini, ini teman kita, anggota tim kita ada yang terkena bola. Kok bisa-bisanya kalian diam saja," ucap Duma mengomeli. Hati ku sebenarnya sedikit teriris, ternyata ketika aku terkena bola saja, sama sekali tak ada yang membantu ku. Kejam sekali, tega sekali hati mereka. Sampai ketika, aku sudah tak kuat lagi menahan rasa sakit yang mendera kepala ku. Sebelum aku kehilangan kesadaran, aku merasa ada seseorang yang mengangkat ku.  ---     Aku terbangun. Dan ternyata sekarang aku berada di atas kasur ruang kesehatan sekolah. UKS. Sendirian. Tidak ada yang menemani ku di sini. Aku mengingat Duma yang sebelumnya menanyakan keadaan ku ketika aku masih di lapangan pun, ia tak ada di sini. Yah, mungkin Duma masih melanjutkan pertandingan bola voli di lapangan. Aku memegang dahi ku, seperti nya sedikit benjol. Huh! Ada saja musibah nya. Ketika aku sedang menatap ke atap UKS, tiba-tiba saja tirai putih yang sebelumnya tertutup itu terbuka. Di sana ternyata Duma yang membukanya dengan tangan nya memegang sebotol Aqua yang masih penuh.     "Akhirnya kau sadar," ucap Duma sambil duduk di ujung kasur yang sedang aku tiduri. Aku pun dengan segera bangun dari posisi tiduran ku. Duduk bersandar di tembok.      "Ini minum dulu," ucap Duma sambil menyodorkan sebotol Aqua yang segel nya sudah terbuka. Aku langsung saja menerima nya dan meminum nya sedikit.     "Bagaimana kepala kau? Masih sakit?" tanya Duma dengan tatapan khawatir nya. Aku tersentuh dengan sikap khawatir nya kepada ku. Baru kali ini aku bisa merasakan ketulusan seseorang yang berteman dengan ku, sebelumnya aku memiliki teman yang hanya memanfaatkan diri ku, memanfaatkan kepintaran ku. Tidak ada yang benar-benar tulus berteman dengan ku. Sungguh, aku sangat bersyukur sekali memiliki teman seperti Duma yang berteman dengan ku tanpa memanfaatkan diri ku.     "Yah, sedikit. Tapi, lebih mendingan," jawab ku.      "Tadi, Kakak kelas yang melemparkan bola nya dan tidak sengaja mengenai kau itu sudah minta maaf sama kelas kita. Dan kau tau? Pertandingan nya dimenangkan oleh kelas kita, nanti kelas kita masuk ke semi final melawan kelas lain nya lagi," ucap Duma. Aku tersenyum, ikut senang mendengar kabar ini. Selanjutnya, Duma pun kembali menceritakan keseruan pertandingan tadi kepada ku. Aku pun hanya menyimak cerita nya saja. ---     Hari sudah malam, namun Emma masih berada di cafe. Hari ini pelanggan yang datang cukup ramai. Di cafe hanya tinggal Winda dan Emma. Mereka sedang merapihkan kembali meja-meja dan kursi-kursi. Mengangkat kursi-kursi ke atas meja. Namun, di sini Emma hanya melihat Winda menaikkan beberapa sisa-sisa kursi yang belum di naikkan ke atas meja. Sebenarnya, Emma daritadi sudah memaksa untuk membantu Winda, hanya saja Winda melarang keras kepada Emma untuk membantu nya, mengingat Emma juga baru sembuh dari sakit nya.      "Mba Winda," panggil Emma yang sedang berdiri bersandar di meja kasir. Winda yang di panggil oleh Emma pun menolehkan kepala nya.     "Kenapa Emma?" tanya Winda yang masih mengangkat beberapa kursi.      "Masalah uang yang aku pinjam untuk biaya ketika aku di rumah sakit itu, nanti akan aku bayar secepatnya ya mba, dan terima kasih sudah mau membantu ku waktu itu. Kalau tidak ada mba, aku tidak tau gimana mau bayar biaya administrasi ku di rumah sakit," ucap Emma. Winda yang sudah menyelesaikan tugas nya itu pun berjalan menghampiri Emma di dekat meja kasir.      "Ya ampun Emma, aku pikir kau mau bicara apa. Udahlah santai saja, aku juga tidak ambil pusing. Kau itu sudah aku anggap adik ku sendiri, dan aku juga tau masalah keuangan kau sekarang bagaimana. Udah tidak apa-apa," ucap Winda menenangkan Emma.      "Aku tidak enak saja sama mba Winda, aku berpikir siapa tau mba Winda juga sedang membutuhkan uang itu, namun mba Winda tanpa pikir panjang malah meminjamkan uang nya kepada ku. Aku juga bingung mau minjam uang sama siapa, kalau aku minjam uang ke rentenir aku takut mba," ucap Emma menatap Winda tidak enak. Winda tersenyum, lalu Winda meraih tangan Emma.     "Emma, udah berapa kali aku bilang kau jangan memikirkan masalah ini, pokonya kalau kau sudah ada uang nya, kau bisa ganti uang itu kepada ku. Aku tidak masalah mau kau mengganti nya kapan, pokoknya selagi kau sudah ada uang nya dan kondisi keuangan kau sudah membaik, nah kau bisa mengganti uang ku," ucap Winda. Winda melepaskan tangan Emma. Melihat jam dinding, sekarang sudah jam delapan malam. Dan suami Winda pun tadi sudah mengirimkan pesan kalau suami nya sudah sampai, menunggu Winda di depan cafe.     "Sekarang ayo kita pulang, ini sudah malam," ucap Winda mengajak Emma untuk segera keluar dari cafe. Emma pun mengikuti langkah Winda untuk segera keluar dari cafe. Winda mengunci pintu cafe tersebut dan memasukkan kunci tersebut ke dal tas sling bag nya. Dan di sana suami Winda sudah menunggu Winda, duduk di atas motor.      "Kau pulang naik apa?" tanya Winda kepada Emma yang berada di samping nya.      "Aku naik bus aja deh sepertinya mba," jawab Emma yang seperti kurang yakin.     "Apa? Naik bus? Malam-malam seperti ini? Udah sekarang kau mending naik ojek yang aku pesan aja," ucap Winda sambil membuka aplikasi ojek online di ponsel nya.      "Eh! Tidak usah mba. Tak apa, aku bisa naik angkutan umum yang lewat nanti," ucap Emma melarang Winda yang ingin memesankan ojek online untuk nya. Winda menatap Emma tidak yakin.     "Udah Emma, yang dikatakan oleh Winda benar. Kau ini perempuan, pulang sendirian apalagi sudah malam seperti ini berbahaya, kita kan tidak tau nanti ada kejahatan apa di luar sana," ucap suami Winda yang sedari tadi menyimak pembicaraan Winda dan Emma. Emma menoleh ke arah suami Winda.      "Tuh kan, suami aku aja malah setuju sama pendapat ku. Udah ikutin ucapan ku saja, kau pasti akan selamat. Lagian, juga suami kau ini mana sih. Masa dia tidak ada pengertian nya sama istri nya sendiri sih, istri nya udah capek berkerja harusnya di jemput dong," ucap Winda kesal. Emma hanya diam saja, tidak ingin menanggapi ucapan Winda tentang suami Emma.      "Memang suami kau kemana Emma? Kok aku perhatiin juga dia tidak pernah menjemput kau?" tanya suami Winda.      "Ada kok kak, lagi sibuk mungkin dia," jawab Emma seadanya. Suami Winda yang paham pun hanya diam saja tidak melanjutkan kembali pembicaraan nya. Tidak lama, ojek online yang di pesan oleh Winda pun datang.     "Nah, sudah datang. Udah sana kau pulang, Aruna pasti sudah menunggu kau di rumah," ucap Winda. Emma pun mengangguk.     "Terima kasih ya mba," ucap Emma. Kemudian Emma pun berjalan menghampiri ojek yang di pesan oleh Winda tersebut, setelahnya Emma pun pergi menuju ke rumah nya dengan di antar oleh ojek online. Winda yang masih berada di depan cafe pun dengan segera menaiki motor milik suami nya itu.     "Suami nya kemana sih Win?" tanya Agung. Suami Winda. Winda yang sudah duduk di belakang suami nya itu pun bingung mau menjawab nya bagaimana.     "Aku juga tidak tau mas, sudahlah ayo kita pulang. Aku sudah capek nih, mau cepat-cepat tidur," jawab Winda. Kemudian, Agung pun menuruti perintah dari istri tersayang nya itu. Menyalakan mesin motor nya dan segera melaju di jalan raya. []
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD