Ep-02

2121 Words
Sejujurnya Dion susah pulang dengan sikap Pamela. Ini sudah hari ketiga wanita itu tak kunjung keluar kamar. Dion sudah membujuknya, menambah uang belanja dan memberikan apapun yang Pamela inginkan. Tapi yang ada Pamela tetap dengan pendiriannya, jika dia ingin cucu dari Marco bukan dari adopsi atau apapun itu. Dion juga tak berani berbicara dengan Marco tentang hal ini, dia hanya takut menyinggung perasaan Marco tentang masalah anak. Lagian Marco juga sudah setuju dengan Tamara yang ingin mengadopsi bayi di panti asuhan. Sedangkan sekarang Pamela malah berubah pikiran. Helaan nafas keluar dari bibir Dion. Dia melihat meja makan rumah ini terasa kurang tanpa adanya Pamela. Meskipun Dion beberapa kali melihat Pamela diam-diam pergi ke dapur untuk mengambil jatah makannya. Atau mungkin hanya membuat oufen dan juga teh hangat. "Pi kenapa sih mami gak mau keluar. Dia lagi sakit atau gimana? Perlu Tamara panggilin dokter tah, buat mami?" ucap Tamara sambil mengusap sudut bibirnya dengan tisu. Menantunya itu juga bukan dari keluarga biasa. Bahkan bisa dibilang keluarga mereka itu satu level. Keluarga Tamara pebisnis, sayangnya kantor yang Tamara miliki dipegang oleh kakaknya. Sedangkan Tamara memegang beberapa butik dan juga properti lainnya seperti kos dan juga beberapa apartemen yang disewakan dan dijual belikan. Sedangkan Marco memiliki beberapa perusahaan juga hasil dari Dion, hotel dan juga restoran miliknya. Itu sebabnya dua orang ini jarang sekali di rumah, karena memang sibuk dengan pekerjaan mereka juga. Dion tersenyum kecil. "Mami kamu lagi capek aja, nanti juga capeknya hilang." "Perlu dokter gak, Pi?" Tentu saja Pamela tidak membutuhkan dokter. Dua hanya membutuhkan pengakuan dan izin dari Dion untuk Marco menikah. Dion meminta Tamara untuk menghabiskan makannya dengan cepat, begitu juga dengan Marco yang katanya harus pergi ke kantor pagi ini karena ada pertemuan penting. Tamara juga semalam cerita jika dia ada klien dari luar negeri untuk menikah di ibukota. Lebih baik mereka berangkat lebih awal dan tidak terlambat. "Pertemuan ku di undur jam delapan, Pi. Jadi aku punya waktu untuk ke hotel lebih dulu." Tamara mendesah arah hotel dan butiknya tidak satu arah, sedangkan dia berpikir jika dia akan meminta Marco untuk mengantarnya. Tamara terlalu malas jika harus membawa mobil ke tempat kerja. Dia juga kasihan jika harus menggunakan supir yang menunggu Tamara hingga sore. "Naik taksi online aja sayang, nanti pulang aku mampir ke butik." ucap Marco lembut. Disini, Dion melihat betapa cintanya Marco pada Tamara, memang wanita itu adalah pilihan Marco sendiri. Hubungan mereka terjalin sejak mereka masih sekolah, jadi wajar jika ikatan cinta diantara mereka cukup kuat. Belum lagi, Marco juga tidak mempermasalahkan soal anak. Dia juga tidak mempermasalahkan Tamara yang tidak pandai memasak, walaupun ada pembantu setiap hari Dion tahu jika sekali saja Marco juga ingin mencicipi masakan Tamara. Tapi karena cintanya lebih besar dari apapun, hal itu menutup mata Marco akan kekurangan Tamara. "Yaudah, nanti jemput aku jam empat ya. Aku mau butik tutup lebih cepat." Marco menoleh heran. "Tumben. Ada apa?" Bukannya menjelaskan, Tamara malah tersenyum malu. Dia pun memilih berpamitan untuk pergi lebih dulu. Dia sudah terlambat, dia juga sudah memesan taksi online yang satu menit lagi akan datang menjemputnya. Syukur rumah ini di lingkup perumahan elit tengah kota, jadi mau mencari apapun juga mudah dan gampang. Bahkan lingkup perumahan ini juga memiliki cafe, supermarket, gym, lapangan dan juga taman. Ada banyak sekali pemuda pemudi yang datang untuk menghibur diri, atau mungkin berkumpul dengan yang lainnya. Marco hanya mampu menggeleng kecil. Dia pun menghabiskan sarapannya cepat, dan memeriksa pesan masuk dari ponselnya. Disana dia membaca pesan masuk dari Tamara, jika wanita itu tengah menyiapkan makan malam dengan Marco di salah satu restoran ternama. Dia ingin Marco menemaninya di sana, bahkan Tamara juga sudah menyiapkan hadiah spesial untuk Marco. Tersenyum kecil, Marco pun menyimpan kembali ponsel itu di saku jasnya sambil menatap ayahnya. "Ada apa? Apa ada masalah?" "Jika Papi bilang ada, apa kamu akan menyelesaikannya?" tanya Dion penuh harap. Marco mengangguk kecil, selagi dia bisa menyelesaikannya tentu saja pria itu akan menyelesaikannya dengan cepat. Jika tidak bisa, sudah dipastikan Marco akan mengatakan tidak bisa. Dan kali ini Dion berpikir jika Marco bisa menyelesaikan masalah ini. Cuman, mau atau tidaknya itu tergantung Marco. "Papi tinggal bilang proyek mana yang harus aku tangani. Aku pasti bisa menyelesaikan semuanya dengan cepat." ucap Marco penuh percaya diri. Dion mendengus. "Ini masalah proyek bayi. Kamu tau hal itu." Mendengar kata bayi, dan tau arah ucapan Dion. Marco pun kembali mengingatkan jika mereka sudah sepakat untuk tidak membahas hal ini. Mereka juga sepakat untuk mengadopsi bayi di panti asuhan yang sudah mereka kunjungi beberapa minggu yang lalu. Dion dan juga Lamela sudah menentukan jenis kelamin bayi apa yang ingin mereka adopsi. Berapa bayi yang akan mereka bawa juga, sudah mereka bahas. Lalu kenapa sekarang papanya kembali membahas perkara anak? "Tapi masalahnya mami kamu ngamuk, dan dia mengunci diri di kamar tidak mau makan karena bayi." jelas Dion. "Papu kita–" "Marco … mami kamu berubah pikiran. Dia tidak ingin mengadopsi bayi di panti asuhan. Dia meminta kamu menikah untuk mendapatkan bayi yang murni dari kamu." Marco mendadak pusing, sudah dipastikan jika Dion tidak mungkin mengkhianati Tamara. Dion tahu bukan jika Marco sangat mencintai Tamara, dia tidak ingin menyakiti wanita yang dia cintai selama ini. Pernikahan mereka juga sudah cukup lama, dan tidak ada masalah apapun. Sekarang Dion meminta Marco untuk menikah hanya karena anak? Usia Marco tak lagi muda, mana mungkin bisa dia memiliki sosok anak dari Tamara? "Ini bukan dari Tamara. Bahkan mami kamu sudah menyiapkan satu gadis cantik untuk menjadi istri keduamu. Mami kamu sudah menyiapkan semuanya, memalsukan identitas kamu juga." jelas Dion yang kesal dengan putranya. Dia tahu jika Marco cinta mati dengan Tamara, setidaknya jangan diperlihatkan. "Aku gak bisa Papi. Aku sudah berjanji untuk sehidup semati dengan Tamara. Bagaimana bisa aku harus menikah kembali." "Kamu cuma punya dua pilihan. Menikahi gadis itu atau melihat mami kamu meninggal. Papi sendiri juga tidak bisa berbuat banyak, semua jawaban dan keputusan ada ditangan kamu, Marco. Papi sudah mencoba membujuk mami kamu dan nyatanya Papi gagal." jawab Dion cepat hingga membuat Marco pusing. *** Sepanjang meeting Marco benar-benar tidak fokus dengan apa yang ada di hadapannya. Proyek besar ini seakan membuat Marco kembali pusing. Dia masih terus memikirkan ucapan ayahnya, yang dimana sudah tiga hari ini dia sudah membujuk ibunya agar tidak melakukan hal konyol ini lagi. Tapi Dion kalah, dia tidak tahu lagi harus berbuat apa. Dion sudah menyerah, tiga hari tidak melihat istrinya keluar kamar dan makan. Bahkan ketika dibawakan makanan pun Pamela juga tidak mau makan apapun. Dion hanya takut Pamela jatuh sakit. Situasinya sangat tidak memungkinkan. Dion sangat mencintai Tamara, dia sudah memilih Tamara sebagai istrinya sejak dia masih sekolah. Mereka juga memiliki cita-cita untuk hidup bersama. Tapi sayangnya, sekarang harus hancur karena anak. Memijat pelipisnya, rasa pusing itu kembali Dion rasakan. Apalagi Yudha yang tahu hal itu langsung menghentikan rapatnya. Dia melihat Marco yang tidak baik-baik saja sejak pria itu datang ke kantor. "Rapat kita lanjutkan besok." ucap Yudha. Marco terkejut dengan hal itu, dia melihat Yudha dengan penuh tanda tanya. Rapat ini harus selesai saat ini juga, lalu kenapa Yudha menundanya besok? Satu persatu orang keluar dari ruang rapat ini sambil menundukkan kepalanya pada Marco sebelum mereka benar-benar pergi. Sampai akhirnya tinggallah Marco dan juga Yudha berdua di ruang meeting ini, dengan layar proyektor yang masih menyala. "Apa ada masalah dengan dokumen meeting kali ini?" tanya Marco heran. Yudha menggeleng. "Nggak ada masalah." "Terus kenapa ditunda?" Pertama kali masuk ruang meeting. Yudha sudah tahu jika Marco tidak bisa fokus dengan materi meeting hari ini. Meskipun Yudha tahu jika sekretaris Marco sudah mencatat banyak hal tentang hal ini, tapi tetap saja Yudha lebih fokus pada Marco yang terus melihat pelipisnya. Yudha pikir Marco membutuhkan dokter atau istirahat sejenak, atau mungkin dia terlalu lelah karena banyak sekali kerjaan yang harus dilewati setiap hari. Mungkin saja Marco kurang tidur hingga membuat pria itu pusing dan kurang fokus. Itu sebabnya karena Yudha tidak ingin membebankan, atau mungkin membuat pria itu semakin sakit. Dia lebih memilih menunda pekerjaan ini besok, ketika Marco sudah baik-baik saja. Sedangkan yang ada dipikiran Marco kali ini adalah gadis mana yang sudah ibunya siapkan untuk menikah dengan Marco. Apa ibunya itu sudah gila meminta Marco menikah kembali? Sedangkan ibunya tahu jika Marco sangat mencintai Tamara. Helaan nafas keluar dari bibir Marco. Dia meminta Yudha untuk menutup pintu ruangan meeting ini, agar tidak ada satu orang pun yang mendengar obrolan mereka. Apalagi ada beberapa karyawan kantor ini adalah teman Tamara. Selain sungkan Marco juga tidak ingin ada masalah dengan Tamara. "Katakan, apa yang terjadi." ucap Yudha. Yudha ini bisa dibilang orang kepercayaan Marco. Sejak dulu yang membantu semua masalah Marco adalah Yudha. Dia yang selalu ada untuk Marco, bahkan masalah adopsi anak itu juga pun ide Yudha. Karena ayah dan ibunya selalu saja mengeluh dan meminta cucu, apalagi pernikahan mereka juga tidaklah seumur jagung. Marco menjelaskan inti masalah ini, jika ibunya menyiapkan satu gadis untuk dinikahi. Gadis yang nantinya akan mengandung dan juga menjadi penerus keluarga Marco. Dan tentunya, Marco langsung membantah karena dia tidak ingin mengkhianati Tamara. Yudha tersenyum sambil menundukkan kepalanya. "Kalau masalah ini memang sangat berat, dengan posisi istrimu tidak mau hamil. Tapi kalau dipikir secara logika, orang menikah ingin memiliki keturunan. Untuk kelangsungan hidup dan juga bahagia. Tapi banyak juga yang bilang bahagia itu tidak harus memiliki anak, menikah dengan orang yang dia cintai itu sudah lebih dari cukup. Anak adalah bonus, dan ada banyak sekali pasangan suami istri yang menginginkan memiliki banyak anak untuk hidup mereka. Dan prinsip orang itu berbeda." Marco tahu hal itu. Dia tahu tentang pernikahan tak melulu memiliki anak. Sedangkan diluar sana ada banyak orang yang menginginkan anak. Setidaknya ketika mereka tua nanti ada yang merawat dan menjaganya. Jika masih dalam hubungan darah masih memiliki rasa iba. Sedangkan yang tidak, satu dari seratus orang yang memiliki hati baik dan tulus untuk merawat ibu dan ayah angkat. Itu sebabnya Yudha meminta Marco untuk memikirkan kembali tentang adopsi anak, meskipun dia yang memberikan ide bukan berarti apa yang Yudha katakan Marco harus mengiyakan. Yudha hanya memiliki perumahan, tapi banyak juga keluarga yang tidak memiliki anak dan mereka hidup bahagia. Marco semakin pusing, dia pun meminta Yudha untuk diam sejenak. Dia akan kembali berpikir jika dia ingin. Tapi masalahnya, ibunya akan mengancam tidak akan mau makan jika Marco tidak menuruti apapun yang ibunya katakan. Sedangkan Yudha tahu jika Marco tidak bisa hidup tanpa ibunya. Dia tidak ingin terjadi sesuatu dengan ibunya hanya karena dirinya. "Ketemu aja dulu, kalau sreg ya nikah kalau gak ya gak. Ini hanya sementara, kalau ibu kamu sudah menyiapkan itu tandanya semuanya hanya sebentar. Gadis itu juga sudah tahu tentang dirimu dan juga Tamara." kata Yudha. "Yakin? Aku bahkan tidak tahu apapun tentang hal ini. Aku— sangat pusing." jelas Marco. "Pulang saja, bicara baik-baik dengan ibumu. Semuanya akan baik-baik saja." Mau tidak mau, akhirnya Marco memutuskan untuk pulang. Dia meminta Yudha untuk mewakili rapat perusahaan dan juga kerjasama dengan perusahaan lainnya. Jika masih ada waktu, Marco akan kembali jika tidak, dia akan kembali esok. Belum lagi dia juga ada janji makan malam dengan Tamara di salah satu restoran ternama di ibukota. Yudha mengangguk, jika Tamara menelponnya. Dia akan beralasan jika Marco sedang ada rapat penting dan tidak bisa di tinggal. Marco tersenyum. "Terimakasih karena sudah membantu." "Jangan merasa seperti itu, santai saja. Kita sudah seperti saudara, lebih baik pergi lebih awal agar semuanya selesai." kata Yudha dan mendapat anggukan dari Marco. *** Rumah di depannya tidak besar, tidak mewah dan bahkan bisa disamakan dengan garansi mobil di rumah. Marco melihat sekeliling tempat ini dan merasa asing. Ada banyak sekali orang melihat mereka, lebih tepatnya mereka penasaran untuk apa Marco dan juga ibunya datang ke rumah kecil ini dengan membawa mobil mewah. "Mbak Parmi ini mereka siapa?" tanya Marni bingung. "Marni ini Ibu Pamela, majikan Mbak. Kalau yang ini putranya, namanya Pak Marco." Ya, akhirnya Marco menuruti apa yang Pamela inginkan. Dia datang ke rumah ini dengan Pamela, Marni dan juga Dion yang menunggu mereka di depan rumah, sambil melihat situasi rumah ini yang sudah ramai dengan penduduk. Tidak ada jalan lain selain melihat siapa gadis yang akan menikah dengan nya. Gadis mana yang nantinya akan mengandung calon penerus Frederick. Marco juga tidak ingin salah orang, atau mungkin gadis itu memiliki wajah yang buruk karena lingkungan rumah mereka juga bisa dibilang pinggiran kota. "Oh iya, saya Marni adiknya Mbak Parmi," Marni mulai memperkenalkan diri dengan gugup. Dia menatap Parmi yang hanya diam saja sambil tersenyum di sifat singel reot. "Kedatangan kalian kemari ada perlu apa ya?" ujar Marni terang-terangan, sungguh dia tidak tahan dengan rasa penasaran ini. Pamela tersenyum kecil sambil melihat Marco yang diam saja di samping Marco. "Ibu Marni, kedatangan saya kemari ingin melamar putri ibu, Aleyah." Sudah diduga, jika hal ini akan terjadi!! Pikir Marni. To be continued
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD