"Jadi … dia orangnya?" pertanyaan itu keluar dari bibir Yudha. Dia terpaksa menyusul Marco ke tempat ini, dan menempuh perjalanan sekitar enam jam.
Marco mengangguk. "Ya, dia orangnya." pria itu nampak lesu, sambil memijat pelipisnya.
Mendengar kata dia, akhirnya Aleyah memberanikan diri untuk melirik Yudha sejenak, lalu kembali menunduk. Apa mungkin Marco mengatakan sesuatu pada Yudha tentang dirinya?
Yudha tertawa, sekali lagi dia menatap Aleyah yang menunduk. Tidak terlalu buruk, untuk wanita semacam Aleyah. Dia memiliki wajah yang cantik rupawan, kulot bersih dan juga bentuk badan yang bagus. Bahkan hampir mirip dengan Tamara. Bedanya, Tamara terawat dan Aleyah tidak karena kahanan. Pria itu langsung meminta Marco untuk fokus pada apa yang seharusnya dia baca. Dokumen ini sangat penting, berisikan tentang denah dan juga properti lainnya yang mereka butuhkan untuk proyek barunya. Dan Yudha tidak ingin Marco salah selangkah hanya karena proyek ini.
Marco mengangguk, dia membaca dokumen itu dengan teliti. "Bagus. Tempatnya sangat bagus, aku pikir semuanya akan menguntungkan."
"Awal yang bagus." komentar Yudha.
Disini, Aleyah benar-benar hanya diam saja. Dia tidak mengerti apapun tentang bisnis mereka. Dia hanya tau cara mewarnai rambut, mengeriting dan bahkan meluruskan rambut. Dia tidak tahu proyek, properti, dokumen dan apapun itu. Sungguh, dia lulus SMA saja sudah lebih dari cukup. Aleyah sudah bersyukur dia tidak harus kembali pusing hanya karena angka dan grafik. Dan sekarang, dia hanya duduk layaknya patung bodoh yang tidak tahu apapun di antara dua orang pintar. Semoga saja jika nanti dia memiliki anak, otaknya cerdas seperti bapaknya. Apalagi pendidikannya juga akan terjamin karena ayahnya adalah orang kaya dan terpandang.
Menutup maunya, Marco lun mengembalikan map itu pada Yudha. Sesekali melirik Aleyah yang diam saja di samping Marco. "Kita makan." katanya.
Padahal, Aleyah masih kenyang. Dia makan banyak lagi tadi, dan ini belum sampai jam satu siang Marco sudah mengajaknya makan kembali? Ingin rasanya Aleyah menolak, tapi Marco sudah melotot lebih dulu dan meminta Aleyah untuk menuruti apa yang dia inginkan. Mau tidak mau, Aleyah pun menurut, dia memesan ayam dan juga cemilan ringan. Sedangkan Marco dan juga Yudha memilih menu makanan berat dan penutup.
"Kenyang makan itu?" tanya Yudha menatap Aleyah.
"Kenyang Mas, tadi saya sudah makan."
Marco menoleh cepat, menatap Aleyah dan kembali fokus menatap Yudha. Hanya dengan tatapan saja Yudha paham apa yang ingin dikatakan oleh Marco. Pada akhirnya, Marco pun memutuskan untuk pergi ke toilet. Sedangkan Yudha memilih pergi untuk mengangkat panggilan masuk entah dari siapa, dan meminta Aleyah untuk menunggunya sejenak.
Sedangkan yang sebenarnya, Marco dan juga Yudha bertemu di luar restoran ini dengan wajah lesu. Lebih tepatnya wajah Marco yang terlihat lesu dan sedih.
"Aku gak tau harus apa!!" kata Marco
Yudha mengusap dagunya. "Kamu sudah melakukan itu sama dia?"
Marco mengangguk tentu saja sudah. Semalam, dia malah membuat Aleyah mabuk hingga tak sadarkan diri. Barulah Marco menyentuhnya, agar pria itu tidak merasa bersalah sama sekali. Meskipun dipaksa tapi Marco bukan tipe orang jahat yang mengambil keuntungan dalam hal ini. Dia sudah merasa bersalah karena telah membohongi Tamara, apalagi sampai wanita itu tahu. Bahkan pagi tadi, ketika melihat Aleyah masuk ke kamar mandi awalnya Marco tidak ada niatan untuk kembali melakukan hal itu. Tapi setelah itu, dia berpikir jika sering melakukannya, maka, Aleyah akan cepat hamil dan semuanya akan selesai apalagi ketika Aleyah melahirkan bayi dan Marco bisa kembali pada Tamara seutuhnya.
Yudha menggeleng. "Nggak semudah itu. Menurut aku, kalau kamu mau ngikutin saran aku. Setelah ini jangan terlalu sering jenguk dia, aku takut Tamara akan curiga padamu karena terlalu sering tidak pulang. Cari waktu yang tepat, atau waktu dimana Tamara kunjungan ke luar kota untuk bisnisnya."
Marco juga berpikir seperti itu. Makanya dia mengatur jadwal yang pas untuk bisa mendatangi Aleyah dan meminta jatah. Setelah mendapatkan apa yang dia inginkan, tentu saja Marco akan kembali pada Tamara. Dia akan setia dan sehidup semati dengan Tamara. Mana mungkin Marco akan memilih Aleyah hanya sebuah anak? Jika bukan mau Pamela juga Marco tidak mungkin mau.
"Jalani saja. Kedepannya kita tidak ada yang tahu, yang penting Tamara jangan sampai tau hal ini."
Marco mengangguk. Dia juga meminta Yudha untuk tutup mulut. Akhirnya, mereka pun memutuskan kembali ke meja Aleyah. Dia takut jika Aleyah mendadak curiga pada dirinya dan juga Yudha, lebih tepatnya lagi wanita itu pasti ketakutan dan berpikir jika Marco dan juga Yudha pergi meninggalkan dirinya.
"Kok lama banget Mas. Aku pikir kamu ninggalin aku loh." bisik Aleyah.
Marco tersenyum. "Gak mungkin." jawabnya cuek dan menatap makanannya dengan sengit. "Selamat makan." ucapnya dan tersenyum manis, membuat Yudha yang duduk di depannya langsung speechless.
****
Kembali ke kamar, Aleyah langsung merentangkan kedua tangannya. Badannya pegal semua mendadak dan Aleyah merasa lelah. Mungkin karena tempatnya yang indah dan nyaman membuat Aleyah ingin merebahkan dirinya terus menerus. Maklum saja, selama di rumah yang namanya libur saja Aleyah tidak pernah merasakan. Dari pagi hingga sore dia bekerja. Mal hari, kadang Aleyah harus mengurus rumah, memaksa dan juga mengawasi ibunya. Penyakitnya benar-benar sudah merajalela. Hanya dengan diam. Bisa saja detak jantungnya berhenti dan Aleyah kehilangan semuanya.
"Kamu suka tempat ini?" pertanyaan itu keluar dari bibir manisnya.
Aleyah menoleh sejenak, setelah melihat kolam renang privat di samping kamar resort. Hanya terbatas pintu kaca saja. "Suka."
"Selama ini sudah liburan kemana aja?"
Jangankan liburan, makan setiap hari tidak kekurangan saja sudah membuat Aleyah senang. Bahkan ketika di tempat kerjanya mengadakan liburan. Kadang, Aleyah masih kepikiran ibunya. Dan meminta tetangganya untuk menjaga ibunya, menelpon Aleyah jika dibutuhkan. Itu pun juga tidak akan sejauh ini. Mungkin hanya ke pantai atau tempat wisata lainnya dan lebih sering ke pantai. Kalau ke tempat begini tentu saja ini kali pertama Aleyah.
"Ini kita kesini berapa hari ya Mas? Soalnya aku gak enak sama mbak Sinta udah bolos kerja lama banget." kata Aleyah pelan.
Kalau mau berapa hari Marco sendiri juga tidak tahu mau sampai kapan. Dia akan pulang jika Marvo sudah ingin pulang, jika belum ingin yang jelas Marco juga belum ingin pulang. Kalau masalah kerjaan Aleyah, alangkah lebih baik jika Aleyah keluar dari kerjaannya. Semua kebutuhan akan ditanggung oleh Marco apapun itu, dan pria itu memastikan kalau Aleyah tidak akan kekurangan sedikitpun. Aleyah tidak perlu bekerja terlalu keras lagi, untuk hidupnya. Dua sudah memiliki Marco, lalu untuk apa juga Aleyah kembali bekerja?
Aleyah menggeleng, dia tahu jika Marco adalah suaminya. Dia memiliki tanggung jawab penuh untuk mencukupi kebutuhan Aleyah. Tapi Aleyah tak ingin membebankan hal itu, dia tahu Marco sanggup hanya saja Aleyah masih ingin bekerja. Ini tidak akan buruk, jam kerja Aleyah hanya sampai jam enam sore. Setiap hari selasa tempat kerja Aleyah libur, dan itu tidak akan terlalu berat untuk Aleyah. Lagian, kalau dia tidak kerja dia mau ngapain di rumah? Apalagi dia terlalu terbiasa untuk bekerja.
"Hmm, begitu ya. Terserah deh, kalau kamu libur aku akan berkunjung." kata Marco.
Aleyah tersenyum kecil. Dia kembali menatap kolam renang yang tenang itu dengan tersenyum tipis. Andai saja ibunya tahu, jika ada tempat indah selain surga. Mungkin dia akan mengajak Aleyah kesini setiap hari. Aleyah menatap Marco sejenak, pria itu sudah membaringkan tubuhnya dengan kedua mata yang sudah terpejam. Padahal baru juga beberapa menit berbicara dengan Aleyah, dan sekarang pria itu tertidur?
Tidak tahu harus apa, akhirnya Aleyah pun mengambil ponselnya. Menatap banyak sekali pesan masuk dari temannya, yang meminta Aleyah untuk cepat pulang ke rumah. Tempat kerjanya sepi tanpa ada Aleyah, belum lagi bosnya yang suka marah karena kerjaan tidak ada yang beres sama sekali. Bisa dikata mbak Sinta ini lebih tenang jika ada Aleyah di salon. Mau ditinggal satu minggu atau satu bulan pun, selagi Aleyah ada semuanya terkendali. Itu sebabnya jika Aleyah tidak ada sudah dipastikan akan ada banyak sekali keluhan tentang pekerjaan.
Marco yang hanya pura-pura menutup mata pun, kembali membuka mata. Dia melihat punggung Aleyah yang bergetar, ini bukan semua tanggapan tapi sebuah tawa kecil yang berasal dari wanita itu. Entah apa yang wanita lihat yang jelas Marco sama sekali tidak peduli.
Mencoba menggerakkan badannya, Aleyah pun langsung menoleh. Mungkin Marco terganggu dengan tawa Aleyah, buru-buru wanita itu langsung menutup ponselnya dan kembali menyimpannya. Perutnya sangat kenyang, dan rasa kantuknya menyerang. Satu atau dua jam untuk tidur mungkin akan membuat tubuh Aleyah kembali segar. Membaringkan tubuhnya di samping Marco, wanita itu tak lupa juga menarik selimutnya untuk menutupi setengah tubuhnya bagian bawah. Hanya membutuhkan waktu sepuluh menit, akhirnya Aleyah pun terlelap dalam tidurnya.
Sedangkan Marco yang merasakan hal itu langsung menghela nafasnya. Mengambil ponselnya dan menatap banyaknya pesan masuk dari Tamara membuat Marco tersenyum. Istrinya ingin, mengirim satu foto dirinya dengan pose manyun, yang dimana Tamara ingin pulang dua hari lagi, tapi kliennya meminta Tamara untuk tinggal lebih lama lagi. Tidak hanya Tamara tapi juga Marco merindukan Tamara. Ingin rasanya Marco melihat wajah Tamara dan berbincang, tapi Marco sadar jika dia berbohong pada Tamara jika dirinya berada di rumah dan sibuk dengan proyek barunya. Tamara tidak tahu jika Marco pergi keluar kota bersama dengan istri barunya. Setidaknya Marco bertindak adil dengan mereka berdua.
****
Malam pun tiba, resort ini terlihat sangat indah di malam hari. Banyak sekali lampu yang menyala, di sepanjang jalan ke kamar Aleyah pun ada lampu menyala yang indah. Belum lagi beberapa lampu di bawah pohon kamboja putih dan juga merah. Aleyah juga bisa melihat bunga kamboja merah yang jatuh di atas air tenang di kolam renang.
Aleyah tersenyum sambil mengusap rambutnya yang basah. Mereka tidak melakukannya kembali setelah hari itu, hanya saja waktu mandi rambut bagian belakang Aleyah basah sehingga membuat wanita itu mau tidak mau membasahi rambutnya kembali.
Marco?
Pria itu hanya duduk diam di sofa tengah mengamati Aleyah yang berdiri di dekat pintu kolam renang. Semenjak datang ke tempat ini, Aleyah paling suka berdiri disana. Padahal jika wanita itu mau berenang pun tidak masalah, toh, sebelah juga ada pintu yang langsung mengarahkan pada kamar mandi. Atau mungkin mau kembali masuk ke dalam resort dengan keadaan basah pun juga tidak masalah. Tapi kenapa dia paling suka berdiri disana hanya berdiam diri?
Menghela nafasnya, Marco membuka ponselnya pelan dan mengirim pesan kembali pada Tamara. Sayangnya, ponsel wanita itu tidak bisa di hubungi. Antara mati, atau mungkin kehabisan baterai Marco juga tidak tahu.
"Saya—" Aleyah membalik badannya menatap Marco yang bangkit dari duduknya. "Mau beli kopi sebentar. Mau ikut?" tawar Marco.
Aleyah yang tidak ingin pergi kemanapun akhirnya menggeleng. Malam ini Aleyah ingin berada di kamar ini, entah melakukan apa yang penting Aleyah ada di dalam kamar. Badannya masih pegal, dan dia merasa malas untuk melakukan apapun juga.
Marco pergi ke kedai resort dan memesan kopi. Dia mencoba untuk menelpon Tamara dengan harapan jika wanita itu bisa di hubungi. Sayangnya, ponsel Tamara sangat sulit untuk dihubungi. Dia sudah memilih pergi, menjauh dari Aleyah agar bisa menghubungi Tamara. Tapi yang ada …
Tak lama, ponsel pria itu bergetar hebat. Dia pikir itu adalah Tamara taunya malah Pamela. Langsung saja Marco menekan tombol hijau, dan sedikit menjauhkan ponselnya dari wajahnya.
"Iya mam. Kenapa?" tanya Marco malas.
Pamela tertawa kecil. "Itu … dimana kamu? Kenapa sendiri? Aleyah mana?" kata Pamela bertubi-tubi.
Marco mendengus, dia menjelaskan pada Pamela jika Aleyah berada di kamar. Dia merasa lelah, makanya dia tidak ikut Marco untuk pergi ke kedai. Pria itu juga hanya menikmati kopi saja tidak lebih, dan setelah ini Marco juga akan kembali ke kamar untuk menemui Aleyah.
"Pokoknya ketika kamu pulang harus ada kabar gembira. Mama pengen cucu cepet!!" kata Pamela gembira.
Kalau masalah itu, tentu saja hal Marco tidak tahu apapun. Dia hanya melakukan apa yang harus dia lakukan dan dia inginkan, selebihnya tentu saja milik Tuhan. Mau dikasih anak cepet ya syukur, tidak juga tidak masalah. Marco memberi kesempatan Aleyah untuk hamil, selama dua tahun jika Aleyah tidak hamil jangan salahkan Marco yang akan meninggalkan Aleyah dan kembali pada Tamara. Apapun yang terjadi, Pamela juga tidak memiliki hak untuk mengancam, dan jika hal itu terjadi jangan salahkan Marco jika dia akan pergi dari rumah itu bersama dengan Tamara.
"Pernikahan bukan untuk mainan, Marco. Mama Minta kamu menikah dengan Aleyah untuk mencetak banyak anak. Jangan gila kamu!!" ucap Pamela memperingati.
Marco tertawa. "Tapi kan Mama udah mempermainkan pernikahan. Mama tau kalau aku sudah menikah, tapi Mama Minta aku menikah kembali dengan identitas yang lain. Aleyah tidak tahu kalau dia istri kedua ku!!"
"Marco mama begini juga pengen punya cucu dari kamu bukan dari panti asuhan. Harusnya kamu–"
"Mas … "
Deg … jantung Marco berhenti berdetak mendengar kata Mas. Yang dimana hanya Aleyah yang memanggil Marco dengan Mas.
Menolehkan kepalanya pelan, Marco menatap Aleyah yang berdiri tak jauh dari tempatnya. Apa mungkin wanita itu mendengar semua ucapan Marco dan juga Pamela?
To be continued