Jika berkenan, bisa bantu subscribe ya, Kak. Semoga suka dengan ceritanya dan jangan lupa tinggalkan jejak.
————
"Kenapa, Mas?" tanya Maura setelah mengantar Pak Yuda dan Alvero pulang.
Menjijikkan! tadi aja pura-pura pintar, tapi sekarang malah pura-pura polos dan tidak merasa bersalah.
"Kamu pikir aja sendiri!" bentakku kesal.
"Loh, Mas? Aku kan gak ngelakuin kesalahan apapun." Maura malah membereskan piring kotor di meja makan, biasanya kan minta maaf. Ini enggak sama sekali.
"Iya, Mama kan gak salah." Aira mulai membela.
"Diam kamu! Anak kecil tahu apa!" mereka berdua hanya bisa membuatku kesal. Sudah tadi tidak jadi pergi, sekarang malah makan hati. Tahu gitu tadi aku usir dulu si Maura.
"Papa tuh yang selalu menyalahkan Mama, berhentilah menyalahkan orang lain, pak." Aira tetap saja membela ibunya. Andai saja dia laki-laki, pasti sudah faham rasanya berada di posisiku. "Jadilah orang bijak yang sukses tanpa merendahkan orang lain, Pa." lanjutnya membuatku semakin pusing kepala.
"Kamu itu hanya anak kecil, jangan ikut-ikutan bicara hal yang tidak-tidak!" ucapku geram. Heran, baru saja jalan sebelas tahun, tapi sudah berani nantang orang tua. "Kalau bicara lagi Papa potong uang jajanmu!" ancamku pada Aira, sudah pasti dua akan takut.
"Dan kamu!" Aku menatap Maura tajam. "Jangan ikut campur dalam urusanku lagi, atau aku tidak akan memberikanmu uang!" ucapku sambil menaiki tangga.
Lebih baik aku berendam di air hangat, agar pikiran kembali segar.
Ketika sedang berendam, ponsel yang kusimpan di tempat tidur berdering keras. Ingin bangun tapi nyaman, kalau dibiarkan takut penting.
Ah, makin gerah!
Terpaksa aku mandi asal dan langsung mengambil ponsel yang masih berdering, ternyata dari Majid.
"Halo, Jid. Ada apa?"
"Besok kita sudah mulai sibuk, Fer. Aku juga akan berangkat pagi sana kaya kamu dan kamu juga pulang sama seperti jam pulang aku," ujarnya, aku mengangkat sebelas alis.
"Kenapa tiba-tiba jadi lembur?"
"Itu kata Pak Yuda mulai besok akan ada pembangunan tempat bermain dengan modal seratus juta, kalau kurang bisa ambil hasil esok di kita." Majid terus menjelaskan, tapi pikiran dan hatiku malah tidak bisa fokus.
Karena yang tadi aku dengar dari Majid adalah masukan dari Maura kemarin, masa iya Pak Yuda langsung mendengarkan semuanya? Kupikir hanya sekedar bertukar pendapat, kenapa malah direalisasikan?
"Halo, Fer! Fer?" Majid memanggil namaku dengan panik, padahal aku masih mendengarnya dengan jelas.
"Aku dengar!" ucapku masih tenggelam dalam lamunan.
"Abisnya malah diam, bukannya ngasih tanggapan." Majid terdengar kesal. Bagaimana kalau dia tahu aku hanya mendengarkan setengah, sudah pasti dia akan marah bukan?
"Iya-ya, aku sudah dengar dengan jelas kok. Terus apa lagi?" tanyaku sambil berharap kalau dia mau mengulang perkataannya yang tadi.
"Enggak ada. Ya udah, aku tutup, ya." ucapnya tidak sesuai harapan, bahkan sangat jauh, dan sambungan telpon pun terputus.
Yah mau bagaimana lagi, terpaksa besok harus lembur.
****
"Mas bangun, sudah subuh!" Maura menarik selimut yang sedang menutupi tubuhku. Aku menarik kembali selimutnya tanpa membuka mata. "Para malaikat sudah nungguin kamu sholat tuh," ucapnya lagi.
"Berisik!" Aku langsung menutup telinga dengan bantal. Maura bisanya hanya ganggu tidurku saja.
"Bangun, Mas. Emang Majid gak bilang kalau semua staf harus berangkat habis subuh?" Maura tiba-tiba berkata aneh.
Dengan terpaksa kusibak selimut dan membuka mata. "Apa maksudnya?"
"Kemarin Pak Yuda bilang kalau pembangunan untuk tempat main anak dimulai, semua staf restoran harus berangkat setelah subuh," ucapnya sambil membuka jendela.
"Habis subuh?" Entah kenapa aku malah percaya dengan apa yang dikatakan Maura. Secepat kilat mandi dan bersiap.
"Loh, kamu masih belum berangkat, Mas?" Maura menatapku heran, tapi aku dibuat takjub dengan penampilannya.
Mau kemana dia hari, kok rapi banget? Aira juga. Namun, aku tidak punya waktu untuk menanyakan itu. "Ini juga mau berangkat! Jangan sok ngatur aku, deh. Kamu gak punya hak, kecuali sudah bisa menghasilkan uang lebih besar darimku." Aku berucap bangga.
Padahal pagi ini aku harus sudah sampai di restoran, tapi jalanan macet parah. Enggak bisa gerak sama sekali.
Sesampainya di restoran, mataku terbelalak ketika melihat Maura dan Aira sedang bersama beberapa orang penting. Bahkan mereka memakai baju yang mahal dan sedang berbincang-bincang santai di teman samping restoran. Rupanya Maura kini sudah lebih berani, aku harus bertindak lebih dulu.
Karena penasaran, aku pun langsung mendekat untuk menguping pembicaraan mereka.
"Saya benar-benar tersanjung, Bu." ucap Pak Yuda dan beberapa orang lainnya.
Tersanjung? Sama Maura?
Sepertinya mata mereka buta.
"Mana ada, saya hanya manusia biasa. Sama seperti semuanya." sanggah Maura dengan nada bicara yang terdengar sombong.
"Iya, Mama memang hebat. Bahkan selalu sabar ketika menghadapi Papa yang emosian dan selalu berbicara buruk." sahut Aira membuat kedua tanganku mengepal kuat. Dia anak yang tidak tahu terima kasih!
Bersambung....