2. Hancur

1262 Words
Tahun 2012 Pukul tujuh malam Dizza baru tiba di rumahnya. Dengan linangan air mata ia berjalan melewati bundanya yang sedang menonton televisi. Seragam sekolahnya terlihat berantakan. Ia tutupi bagian depan seragamnya dengan ransel agar tidak terlihat karena tiga kancing teratas sudah terlepas. Ia terus menangis. Meratapi nasibnya. Ia masuk ke kamar mandi yang ada di dalam kamarnya. Ia nyalakan shower. Air shower jatuh membasahi tubuh Dizza yang terduduk di lantai dengan kepala menunduk di antara dua lututnya. Bajunya belum ia lepas. Ia membiarkan air terus membasahi tubuhnya. Seolah-olah air tersebut mampu membersihkan tubuhnya yang sudah terlanjur kotor. Merasa jijik dengan tubuhnya sendiri. Ia sudah hancur. Ia tidak tahu bagaimana nasibnya ke depannya. Sesuatu yang seharusnya ia jaga untuk suami masa depannya justru sudah hilang. Pintu kamar diketuk brutal. Bunda sangat khawatir dengan puteri satu-satunya. Berkali-kali ia menelpon putrinya karena tak kunjung pulang, tetapo nomornya tidak aktif. Sementara suaminya sedang dinas di luar kota sehingga tidak bisa menjemput Dizza. Dan ia dikagetkan dengan kepulangan putrinya yang justru terlihat kacau. Apa yang sudah terjadi? "Dizza.. Kamu kenapa Nak? Buka pintunya sayang. Ada apa Nak? Bunda khawatir banget." Bunda panik karena putrinya tidak juga membuka pintu kamar mandi. Bunda keluar kamar Dizza untuk mengambil kunci cadangan. Begitu kembali ia segera membuka kunci kamar Dizza. Tidak ada Dizza di kamarnya, tetapi ia melihat pintu kamar mandi tertutup dan terdengar suara air mengalir. Ia juga mendengar Dizza menangis. Ceklek. Bunda terkejut melihat kondisi putrinya yang tengah terduduk dengan kepala menunduk di antara kedua lututnya. Seragam sekolahnya sudah basah kuyup. Dizza terlihat sangat kacau. Bunda melangkah mendekati putrinya. Ia bantu putrinya untuk berdiri. Tanpa mengucapkan apapun ia membimbing putrinya keluar kamar. Kedua matanya sudah bengkak akibat menangis terlalu lama. Hidungnya memerah. Bunda membantu Dizza mengganti seragamnya dengan baju rumahan. Setelah semua selesai, ia mengajak Dizza duduk di tepi kasurnya. Menghapus air mata putrinya yang terus saja mengalir tanpa henti. "Dizza.. Ada apa Nak? Cerita sama Bunda." Dizza memandang Bunda sambil menangis sesegukan. Ia merasa bersalah pada Bundanya karena tidak bisa menjaga diri. Tanpa mengatakan apapun ia memeluk Bundanya. Dengan sabar bunda mengelus punggung putrinya itu. Walaupun ia sangat penasaran apa yang membuat putrinya terlihat terpuruk, tetapi ia mencoba menahan pertanyaannya. Ia ingin Dizza menceritakannya dengan tanpa paksaan. "Yaudah kalo enggak mau cerita enggak apa-apa." Bunda terus mengelus punggung putrinya. Sampai akhirnya Dizza melepas pelukannya. Menatap bunda dengan matanya yang sembab. "Bunda." Bunda memegang sisi wajah Dizza dengan kedua tangannya "Ada apa Nak?" "Bunda... Dizza... Dizza..." Dizza berusaha menjelaskan tapi entah kenapa rasanya sangat sulit. Ia tidak mau melihat wajah kecewa bundanya. "Cerita ke Bunda ada apa?" "Dizza.. Dizza kotor Bunda." Air mata kembali menetes di kedua pipinya "Maksud kamu apa?" "Dizza diperkosa." Akhirnya kata-kata itu meluncur dari mulut Dizza. Bunda menatap nanar putrinya. Ia sangat terkejut dengan apa yang dikatakan Dizza. Air mata menetes di kedua pipinya. Dan mengalir lah cerita dari mulut Dizza. Bagaimana ia diserang oleh laki-laki yang tidak dikenalnya. Dan bagaimana laki-laki itu kabur setelah melakukan aksi bejatnya. Keduanya menangis sambil berpelukan. Hati ibu mana yang tidak hancur melihat putri semata wayangnya yang ia lindungi sepenuh hati, ia jaga, ia rawat dengan baik telah ternodai oleh p****************g yang bahkan tidak dikenal putrinya. Setelah bunda berhasil menenangkan putrinya hingga tertidur karena kelelahan menangis, bunda keluar dari kamar Dizza. Ia langsung menghubungi suaminya. Suaminya harus tau peristiwa apa yang telah dialami oleh putri mereka. "Hallo Bun." "Yah.. Dizza Yah." Bunda menangis menelpon suaminya "Dizza kenapa Bun?" Bunda menghela nafas. "Dizza diperkosa yah. Putri kita dilecehkan." Bunda terus menangis Hening di sana. Tapi ia tahu suaminya pasti terkejut sekaligus sedih. "Astagfirullah... Ayah pulang sekarang." Terdengar suaminya menghela nafas sambil mengucapkan istighfar berkali-kali. Sambungan terputus. Bunda duduk dengan lunglai di sofa. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan. Merasa tidak becus menjaga putri semata wayangnya. Hancur hatinya. Berbagai pikiran buruk mulai melintas di kepalanya tentang efek yang akan timbul akibat pelecehan pada puterinya. ### Satu bulan berlalu sejak kejadian pelecehan yang dialami oleh Dizza, hari-hari yang wanita itu lalui hanya dengan menyendiri di kamar. Ia selalu mengurung dirinya. Tidak mau sekolah, tidak mau bertemu teman-temannya. Ia merasa tidak percaya diri bertemu teman-temannya. Ia merasa tidak pantas. Bahkan ketika ada teman sekolahnya yang datang ke rumah untuk menjenguknya, ia sama sekali tidak mau keluar kamar. Tidak ada yang tahu musibah yang menimpa Dizza kecuali orang tuanya. Bahkan orang tuanya tidak lagi membahas perihal tersebut karena tidak mau membuat Dizza bertambah sedih. Tok tok tok "Dizza.. Makan yuk." Malam itu bunda membuka pintu kamar putrinya. Terlihat Dizza tengah meringkuk dengan posisi membelakangi bunda. Selimut menutupi seluruh tubuhnya kecuali kepala. Ia sama sekali tidak bersemangat melakukan apapun. Setiap hari yang ia lakukan hanyalah tiduran di kasur. Jarang berbicara. Menutup diri dari orang lain termasuk ayah dan bunda. Depresi yang ia alami setelah kejadian sebulan lalu membuatnya hilang arah. Ia tidak tau apa yang akan ia lakukan nanti. Ia merasa sudah tidak punya masa depan. Karena masa depannya sudah dihancurnya oleh lelaki berengsek yang bahkan tidak ia kenali. Ayah dan bunda hanya bisa menatap sedih keadaan putrinya. Dizza yang periang, Dizza yang manis, Dizza yang selalu tersenyum ramah kini sudah berubah menjadi Dizza yang pendiam, dan pemurung. Mereka sempat mengajak Dizza ke psikolog untuk menyembuhkan depresinya namun Dizza selalu menolak. Karena ia merasa tidak gila, kenapa pula harus dibawa ke psikolog. Bunda mengelus kepala putrinya. "Dizza, kamu belum makan dari siang. Makan yuk. Biar enggak sakit." Dizza menggelengkan kepala. Tidak mau menatap bundanya. Setiap melihat bunda dan ayahnya, ia selalu merasa bersalah. "Jangan kayak gini Za. Bunda sedih liat kamu kayak gini. Ada Bunda sama Ayah yang selalu mendukung kamu. Jangan menutup diri kayak gini Nak." Setetes air mata turun di pipi Dizza. Ia bangun dari tidurnya. Menatap bundanya. "Maafin Dizza, Dizza udah bikin kecewa Bunda sama Ayah. Dizza enggak bisa jaga diri. Dizza ngerasa bersalah sama Bunda dan Ayah." "Udah Nak. Kamu enggak salah apa-apa. Semua bukan kesalahan kamu. Itu semua musibah. Kamu jangan patah semangat gini. Bunda sama Ayah tetep bangga sama Dizza. Karena Dizza adalah permata hati Bunda sama Ayah." Dizza tidak mampu berkata apa-apa. Hanya air mata yang terus turun dari kedua matanya. "Kita makan yuk. Perut kamu kosong dari siang. Makanan juga enggak disentuh sama sekali. Kamu enggak mau kan bikin Bunda sama Ayah sedih." Dizza menggelengkan kepalanya. Ia tidak mau membuat bunda dan ayahnya bersedih. Bunda membimbing Dizza menuju ruang makan. Di sana sudah ada ayah yang tersenyum kepadanya. Dizza menundukkan kepala. Dalam keadaan apapun, ayah dan bunda selalu menyayanginya, selalu menyemangatinya. Ayah bangun dari duduknya lalu menghampiri putri kesayangannya. Tanpa bicara apapun ia peluk Dizza dengan penuh kasih sayang. Ia elus punggung puterinya itu. Memberikan semangat agar puterinya tidak kehilangan semangat hidup. "Kita makan ya sekarang." Ajak Ayahnya. Dizza mengangguk. Baru satu suapan Dizza merasa ada yang aneh dengan perutnya. Ia merasa ingin muntah mencium aroma masakan tersebut. Padahal itu adalah masakan kesukaan Dizza. Tidak biasanya ia merasa mual begini. Atau mungkin asam lambungnya naik karena akhir-akhir ini ia jarang makan. Dizza menutup mulutnya dan berlari ke kamar mandi yang ada di dekat dapur. Ia muntahkan semua yang ada di perutnya. Tubuhnya terasa lemas. Kepalanya juga pusing. Bunda bantu memijat tengkuk Dizza dan ayah berdiri di dekat pintu kamar mandi dengan ekspresi khawatir yang sangat kentara. "Dizza enggak sanggup makan Bun. Mual banget. Kayaknya asam lambung Dizza kumat deh." "Yaudah kita balik ke kamar kamu aja ya. Istirahat. Nanti bunda gosokin minyak angin biar mualnya ilang." Dizza mengangguk. Bunda memapah Dizza kembali ke kamarnya. Wajah Dizza pucat. Tubuhnya lelah walau tidak melakukan aktivitas apapun. Tidak biasanya ia seperti ini. Dizza merasa aneh dengan tubuhnya sendiri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD