Bab 3. Unwanted Arranged Marriage

1606 Words
Mata Audrey mengerjap beberapa kali ketika merasakan silau matahari menyentuh wajahnya. Audrey memijat pelan pelipisnya saat rasa sakit di kepalanya menyerang. Hingga ketika sakit di kepala Audrey mulai membaik, wanita itu membuka kedua matanya seraya mengendarkan pandangan ke sekitarnya—namun seketika raut wajah Audrey berubah kala melihat dirinya berada di sebuah kamar nuansa abu-abu kombinasi hitam. Kamar yang tak asing. Ditambah aroma parfume yang dia hafal menyeruak ke indra penciumannya. “Kenapa aku ada di apartemen Xander?” Audrey langsung menyadari bahwaa dirinya berada di apartemen pribadi Xander. Tentu Audrey tak akan mungkin lupa kamar di apartemen pribadi Xander. Tatanan kamar maskulin. Ranjang. Aroma parfume. Semua sangat Audrey hafal. Sesaat, Audrey terdiam berusaha mengingat kenapa dirinya bisa ada di apartemen Xander. Seingatnya tadi malam dirinya mendatangi klub malam akibat begitu frustrasi dengan sikap Xander yang selalu mengabaikannya. Pun Audrey mengingat dirinya minum sangat banyak dan pastinya mabuk. Tapi kenapa sekarang bisa ada di apartemen Xander? Apa mungkin Xander menjemputnya di klub malam? Tidak. Itu sangat mustahil! Tidak mungkin Xander menjemputnya. Audrey sangat mengenal dengan baik tunangannya itu. “Selamat pagi, Nona Audrey.” Seorang pelayan melangkah menghampiri Audrey seraya membawakan nampan yang berisikan s**u cokelat hangat. “Silahkan diminum, Nona. Saya membuatkan s**u cokelat hangat untuk Anda.” “Terima kasih.” Audrey menerima s**u cokelat itu, dan meminumnya perlahan. Lalu ketika s**u yang diberikan oleh pelayan telah habis, Audrey mengembalikan gelas itu pada sang pelayan sambil bertanya, “Di mana Xander? Kenapa aku tidak melihatnya?” “Tuan Xander berada di ruang kerjanya, Nona. Beliau sedang memeriksa pekerjaannya. Mungkin sebentar lagi Tuan Xander akan ke sini,” jawab sang pelayan sopan. Audrey menganggukan kepalanya. “Kau boleh pergi sekarang. Terima kasih sudah membuatkanku s**u hangat.” “Dengan senang hati, Nona Audrey. Kalau begitu saya permisi.” Sang pelayan menundukan kepalanya, lalu pamit undur diri dari hadapan Audrey. Saat pelayan itu sudah pergi, Audrey menyibak selimut, turun dari ranjang dan hendak menuju kamar mandi. Namun gerak Audrey terhenti kala kenop pintu bergerak menandakan akan ada yang masuk ke dalam kamar. Ceklek! Pintu terbuka. Tampak senyuman samar di wajah Audrey terlukis melihat Xander melangkah masuk ke dalam kamar. Rasa sakit di hatinya seakan lenyap kala melihat Xander. Sejak dulu, Audrey memang tak pernah bisa marah lama dengan Xander. Berkali-kali diabaikan dan ditolak tetap saja tidak akan membuat cinta Audrey berkurang. “Xander, tadi malam kau yang menjemputku?” Audrey melangkahkan kakinya mendekat pada Xander. Wanita itu menatap Xander dengan tatapan lembut dan penuh kasih sayang. “Bisakah kau satu kali saja tidak menyusahkan hidupku, Audrey? Kenapa kau pergi ke klub malam sendirian? Kalau terjadi sesuatu padamu maka aku yang akan disalahkan!” seru Xander meninggikan suaranya. Tatapan pria itu menatap Audrey begitu tajam. Audrey sedikit menunduk. Harus Audrey akui dirinya lah yang bersalah karena pergi ke klub malam seorang diri. Rasa putus asa dan patah hati yang mendorong Audrey melampiaskan pergi ke klub malam. Sebenarnya Audrey pun cukup sering mendatangi klub malam tapi biasanya Audrey akan bersama dengan sepupunya dan tentu dijaga dua pengawal yang menemeninya. Namun, tadi malam Audrey memutuskan melarikan diri beralasan pada kedua orang tuanya ingin mengerjakan pekerjaan di apartemen pribadinya. “Aku pergi ke klub malam karena aku kesepian, Xander. Setelah pesta ulang tahunku, kau tidak pernah membalas pesanku,” ucap Audrey pelan dan raut wajah yang begitu muram. Tak lagi terhitung berapa ratus kali Audrey mengirimkan pesan untuk Xander. Meski hati Audrey terluka dengan kata-kata Xander tetap saja Audrey mengirimkan pesan untuk sang tunangan. Tapi tak ada satu pun pesan yang dijawab oleh Xander. “Aku sibuk,” jawab Xander dingin dan begitu acuh. “Kau bisa membalas pesan dari asistenmu ataupun karyawanmu di kantor. Tapi kenapa kau satu kali saja tidak bisa membalas pesanku, Xander?” seru Audrey dengan wajah yang memerah menahan rasa kesal. “Aku tidak mau bertengkar, Audrey! Berhenti bersikap kekanakan!” Xander menatap Audrey tajam dan penuh peringatan. Mata Audrey memerah menahan air matanya agar tak tumpah. Setiap kali berdebat dengan Xander; maka Xander akan selalu mengatakan dirinya selalu kekanakan. “Aku tunanganmu, Xander. Aku bukan bersikap kekanakan tapi aku hanya ingin kau memberikan kabar padaku! Apa sulit bagimu untuk memberikan kabar padaku? Aku setiap hari selalu memberikan kabar padamu. Tapi kenapa kau tidak bisa melakukan apa yang seperti aku lakukan padamu?” Xander memejamkan mata singkat. Berusaha untuk tidak terpancing emosi. “Jangan meminta aku untuk melakukan hal yang sering kau lakukan. Kau jelas tahu, sejak dulu aku tidak pernah menginginkan itu. Berhenti mengharapkan sesuatu hal yang tidak mungkin!” Audrey mati-matian menahan air matanya agar tidak jatuh. Sejak dulu Audrey memiliki keyakin kalau sifat dingin dan kasar Xander adalah bentuk dari ungkapan perasaan pria itu padanya. Namun, setelah Audrey beranjak dewasa, Audrey merasakan kekosongan. Bahkan Audrey merasakan Xander tidak pernah benar-benar peduli padanya. “Tuan Xander?” Seorang pelayan melangkah mendekat pada Xander. Refleks, Xander mengalihkan pandangannya pada sumber suara itu. “Ada apa?” tanya Xander dingin dengan raut wajah tanpa ekspresi. “Maaf mengganggu, Tuan. Tapi saya ke sini ingin memberitahu kalau Tuan Marco datang. Beliau sudah menunggu Anda di depan,” jawab sang pelayan yang langsung membuat raut wajah Xander berubah menjadi kesal. ‘s**t!’ Xander mengumpat dalam hati mendengar ayahnya datang. Sejak kejadian di pesta ulang tahun Audrey; Xander memang tidak pernah muncul di depan keluarganya. Tak hanya itu saja tapi Xander selalu menghindari kedua orang tuanya. Pasalnya setiap kali bertemu keluarganya, Xander akan selalu terpancing emosi. Xander mengembuskan napas kasar. Berusaha mengendalikan diri. Setiap kali bertemu dengan ayahnya tidak akan mungkin jika tidak berdebat. Ingin sekali Xander menghindar tapi Xander tahu dirinya tak mungkin bisa menghindar sekarang. Terlebih Audrey pun berada di sini. “Minta ayahku untuk tunggu. Aku akan segera menemuinya,” ucap Xander dingin dan raut wajah begitu terpaksa. “Baik, Tuan. Kalau begitu saya permisi.” Pelayan itu menundukan kepalanya, pamit undur diri dari hadapan Xander dan Audrey. Xander mengalihkan pandangannya, menatap Audrey yang sejak tadi hanya diam namun menunjukan kemuraman di wajahnya. “Mandilah. Aku akan menemui ayahku.” Audrey mengangguk mematuhi ucapan Xander. Pun Audrey lelah berdebat dengan Xander. Karena perdebatannya akan selalu sama yaitu tentang sifat Xander yang begitu acuh padanya. *** Xander melangkahkan kakinya menuju ruangan di mana ayahnya berada. Tampak aura wajah Xander begitu dingin dan tegas serta tersirat menahan rasa kesalnya. Hingga ketika Xander tiba di ruang tamu, tatapan Xander menatap Marco—ayahnya yang menyambut dirinya dengan tatapan tajam dan sorot mata penuh peringatan. “Kau dari mana saja, Xander? Kenapa kau menghindariku dan ibumu?” seru Marco menahan amarahnya. “Kau masih bisa menemuiku di sini artinya aku tidak menghindarimu. Jangan berlebihan. Aku bukan anak kecil,” tukas Xander dingin. Marco mengepalkan tangannya dengan kuat. Pria paruh baya itu terlihat berusaha menendalikan diri berhadpan dengan putra sulungnya yang suka sekali membantahnya. “Pernikahanmu dan Audrey sudah diatur. Dua minggu lagi kalian akan menikah. Aku ingin kau fokus dengan pernikahanmu. Ambil cuti di perusahaan,” ucap Marco tegas. Xander terdiam beberapa saat mendengar ucapan Marco. Xander sudah tahu ayahnya hanya akan membahas tentang pernikahannya dengan Audrey. Pembahasan yang tak akan pernah berakhir. Meski Xander menolak sekalipun; maka tetap saja ayahnya akan memaksanya. “Kau tahu aku belum mau menikah sekarang. Kenapa kau terus-terusan memaksaku, Dad?” geram Xander berusaha mengendalikan diri. “Mau sampai kapan kau belum mau menikah, Xander? Usiamu sudah 30 tahun. Sudah waktunya kau menikah. Kau dan Audrey sudah tujuh tahun bertunangan. Tidak mungkin kau menggantungkan hubunganmu dengan Audrey terlalu lama!!” seru Marco dengan nada penekanan. Xander tersenyum sinis. “Perjodohan ini atas paksaanmu. Aku berkali-kali meminta dibatalkan tapi kau tidak pernah membiarkan aku membatalkan pertunangan ini. Kenapa, Dad? Kalau kau menyukai Audrey, kau saja yang menikah dengannya.” “Jaga mulutmu, Xander! Aku sudah menganggap Audrey seperti putri kandungku sendiri!” bentak Marco emosi. “Terserah apa pun katamu! Aku belum mau menikah. Jangan memaksaku untuk menikah!” tukas Xander penuh peringatan. “Tidak ada penolakan. Kau dan Audrey harus menikah dua minggu lagi. Kalau kau masih membantahku, lebih baik kau angkat kaki dari perusahaan. Ingat bukan hanya kau angkat kaki dari perusahaan tapi kau juga tidak bisa menemui ibumu ataupun adikmu lagi. Semua pilihan ada di tanganmu, Xander. Apa kau membiarkan keluarga kita menghadapi malu di hadapan publik?” Marco membalikan ucapan Xander. Kali ini Marco berkata dengan penuh ancaman dan sengaja membuka pikiran Xander agar tak salah mengambil keputusan. Ya, perkataan Marco sukses membuat Xander bungkam. Xander bukan takut kehilangan harta tapi Xander tidak ingin melihat ibu dan adik perempuannya menanggung malu karena pembatalan pernikahan yang sudah di depan mata. Publik pasti akan menjadikan beritaknya dan Audrey menjadi panas. Mengingat Audrey adalah putri dari seorang pengusaha ternama di Roma, rasanya tidak akan mungkin kalau berita ini tidak ramai. Selama ini yang Xander pikirkan hanya ibunya dan adik perempuannya—yang masih duduk di bangku kuliah. Xander mengatur napasnya meredakan emosi yang terbendung dalam dirinya. Benak Xander begitu kacau. Di sisi lain, Xander tidak bisa menikah dengan Audrey. Hati dan pikiran Xander masih dan akan selalu tertuju pada satu wanita yang selalu ada di hati dan pikirannya. Namun, dalam keadaan seperti ini rasanya Xander pun tidak memiliki pilihan lain. Xander seperti berada di tepi jurang dan di belakangnya adalah musuh yang ingin membunuh. Satu kali melangkah Xander akan terjun ke jurang. Tapi kalau dia mundur pun kemungkinan kematian yang akan menjemputnya. Dari segala aspek, Audrey memiliki segalanya. Hanya saja hati Xander tidak pernah tertambat untuk Audrey. “Fine, kau atur saja persiapan pernikahanku dan Audrey sesuai yang kau inginkan,” jawab Xander yang akhirnya memilih menyetujui permintaan ayahnya. Walau tak dipungkiri hatinya sangat berat tapi Xander tidak memiliki pilihan lain.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD