1. Ketuk Palu

1266 Words
Suara ketukan palu itu terdengar nyaring. Sedikit menggetarkan d**a dan seperti ada yang meremas hati ini. Akan tetapi, entah mengapa air mataku enggan luruh. Mungkin bulir bening itu telah surut. Karena sudah acapkali tertumpah satu tahun terakhir. Berbeda dengan Mas Ferdi. Lelaki itu tampak beberapa kali mengelap sudut matanya yang basah dengan punggung tangan. Lalu ketika aku menoleh, mata kami bertemu pandang. Dia menatap lekat dan memasang rupa yang mengiba. Enggan terhipnotis wajah memelasnya, aku membuang muka. Cukup sudah! Aku lelah dan muak. Hari ini hakim telah memutuskan. Sudah tidak ada lagi hubungan antara aku dan Mas Ferdi. Baik secara agama ataupun negara. Semua sudah diputuskan. Hak asuh anak dan harta gono-gini. Kami sama-sama menyetujuinya. Walau agak terasa lemas, tetapi aku bangkit dari kursi persidangan dengan tegar. Bahkan masih mampu mengulas senyum pada kerabat yang menyaksikan putusan. Karena memang inilah kemauanku. Bercerai dari Mas Ferdi. Lelaki yang telah menjadi imam selama sepuluh tahun terakhir. Tak mau membuang waktu percuma, bergegas kutinggalkan pengadilan agama Yasmin Bogor ini. "Ay!" Refleks aku menoleh. Mas Ferdi dengan tergesa menghampiri. "Kita pulang bareng," ajaknya datar. Sebenarnya ini perintah bukan ajakan. Sorot mata seteduh telaga saat berada dalam ruang persidangan, kini berubah setajam elang yang memaksaku untuk mematuhi titahnya. "Tidak usah! Aku sudah pesan taksi." Suaraku pun tak kalah datar dengannya. "Ay!" "Mas, ingat kita bukan siapa-siapa lagi. Aku sudah bukan lagi istrimu, tetapi mantanmu," potongku membuatnya terbungkam. Mas Ferdi menunduk. Mungkin tengah membenarkan perkataanku. Ah ... andai kelakuanmu terpuji, Mas. Mungkin aku takkan pernah mengambil keputusan seberat ini. Tak dapat dipungkiri, Mas Ferdilah lelaki pertama yang menawarkan indahnya cinta padaku. Tanpa mau berdusta pula, hingga detik kini masih ada rasa kasih untuknya. Namun, semua rasa kasih dan cinta itu harus secepatnya kukubur dalam-dalam. Bahkan sebisa mungkin pintu hati ini akan kututup rapat baginya. Karena rasa perih yang ia torehkan ini sunguh menyiksa. Benar-benar terasa nelangsa, saat mengetahui orang yang kita cinta setulus hati, tega mengkhianati. Lebih dari sekali dosa itu dilakukan, dan aku laksana keledai bodoh yang terjatuh pada satu lubang. Selalu memaafkan kealpaannya. Namun, tidak untuk kesalahan berzina! Jadi, walaupun berat tetap kuputuskan untuk berpisah dengan Mas Ferdi. * Melihat taksi pesanan datang, bergegas kutinggalkan Mas Ferdi yang masih mematung. Lalu segera menghempaskan badan ke jok belakang sopir. Dalam perjalanan pulang, berkelebat adegan pertengkaran demi pertengkaran antara aku dengan Mas Ferdi terulang di kepala. Pertengkaran yang terjadi akibat masuknya orang ketiga dalam rumah tangga kami. Lalu tiba-tiba saja, air mata yang enggan turun saat di ruang sidang tadi, kini tumpah membasahi pipi. Ah ... ternyata stok air mataku sangat melimpah. Ini terbukti dari tak berhentinya butiran bening itu, walau sudah berkali-kali kuhapus. Bahkan aku semakin tergugu dalam tangis, bila mengingat siapa penyebab retaknya rumah tanggaku. Adalah Nella teman lama, sekaligus teman satu grup arisan. Dua tahun yang lalu, wanita itu sering mengeluh masalah rumah tangganya. Menurut Nella, dirinya kerap kali cekcok dengan sang suami karena kondisi ekonomi yang sedang morat -marit. Suami Nella di PHK dari pekerjaan dan menjadi pengangguran. Sebagai seorang sahabat, aku berusaha membantu sebisa mungkin. Tanpa punya pikiran buruk, kukenalkan Nella pada Mas Ferdi. Karena Mas Ferdi adalah seorang manager operasional sebuah hotel berbintang empat di kawasan Gadog Bogor, maka niatku mengenalkan Nella padanya adalah untuk membantu mencarikan pekerjaan. Yaitu dengan cara menjadikan Nella sebagai anak buah Mas Ferdi. Namun, ternyata itu adalah suatu kesalahan yang fatal. Entah siapa dulu yang memulai pengkhianatan itu. Aku tak tahu. Masih jelas terekam di benak. Semenjak perkenalannya dengan Nella, Mas Ferdi yang biasanya kaku dan cuek berubah menjadi pria yang romantis dan manis. Dia yang jarang sekali mengungkapkan kata cinta, tiba-tiba saja royal mengumbar kata I Love you padaku. Baik itu secara langsung atau pun lewat telepon. Kejutan-kejutan manis pun kerap ia lakukan. Seperti tiba-tiba saja memberiku hadiah, walau tidak sedang berulang tahun. Atau mendadak mengajak candle light dinner. Padahal dulu, dia paling malas kalau diajak makan di luar. Ternyata semua itu dilakukan, demi untuk menutupi kebusukan yang ia lakukan bersama Nella. Aku yang polos dan selalu berpikir positif, tidak pernah menggubris ketika teman menggosipkan kedekatan Mas Ferdi dengan Nella. "Ay, kemarin aku gak sengaja ngeliat suamimu jalan bareng ma Nella lho di Botani square. Mereka gandengan mesra. Kamu gak curiga?" adu Ria salah satu teman grup arisan. "Eh iya, tiga hari yang lalu, aku juga liat mereka lagi makan bareng di food court Jogja lho," timpal Evi menyebut nama salah satu mall di daerah kami dengan yakin. "Ah ... Nella kan anak buahnya Mas Ferdi, wajarlah kalo mereka sering jalan bareng." Karena rasa percaya yang amat sangat pada Mas Ferdi, tak kuambil pusing aduan teman-teman kala itu. "Saranku sih, kamu mesti berhati-hati sama Nella. Tau sendiri dia ma suami kurang harmonis. Bukannya su'udzon, tapi mencegah itu lebih baik dari pada mengobati." Tersenyum kecut aku mendengarnya. Tiba-tiba rasa takut menjalar di hati. Karena beberapa waktu yang lalu saat hendak mencuci baju, di saku kemeja Mas Ferdi, aku menemukan secarik bill pemesanan hotel kelas rendahan. Ketika kutanyakan langsung, dia beralasan bahwa itu adalah hotel yang digunakan pas acara gathering kantornya. Aku yang punya prinsip tidak akan menuduh bila belum menjumpai dengan mata kepala sendiri, tetap percaya pada Mas Ferdi. Apalagi bila melihat sikapnya semakin manis akhir-akhir ini. "Bunda, kemarin Davin liat Ayah satu mobil dengan Tante Nella waktu jemput Keyra." Bahkan omongan si sulung yang berusia tujuh tahun, aku anggap hanya angin lalu saja. Davin satu sekolah dengan Keyra, anak Nella di SD Polisi 4. Setiap hari aku yang antar jemput anak itu. Namun, karena kesibukan kadang aku gunakan jasa ojek online untuk menjemputnya. * Namun, serapat-rapatnya bangkai disembunyikan, baunya pasti akan tercium juga. Malam itu Mas Ferdi tengah berulang tahun yang ke tiga puluh. Aku dan anak-anak menunggu kepulangannya dari kantor. Kami berencana membuat party kecil-kecilan untuknya. Dari pagi aku sudah sibuk membuat kue ulang tahun dan aneka masakan lainnya. Siang hari pergi ke salon untuk perawatan, agar terlihat segar di depannya nanti. Namun, sampai tengah malam orang yang akan diberi kejutan, tak kunjung tiba. Bahkan sampai anak-anak tertidur karena kelelahan menunggu sang ayah, tidak ada tanda-tanda batang hidungnya muncul. Hati kian kesal karena Mas Ferdi meng non-aktifkan ponselnya. Kemudian perasan semakin terasa tidak enak saat mendapat telepon dari suami Nella. "Hallo ... selamat malam, Aya." "Ya, malam Mas Rudi. Ada apa?" "Maaf, mau nanya. Apa ada liat Nella? Soalnya dari kemarin hingga malam ini belum pulang dari kantornya." "Oya?" "Suamimu kan satu kantor, bisa minta tolong tanyakan pada dia, mungkin tau keberadaan Nella. Maaf menggangu, Nella matiin hapenya dari kemarin." "Iya Mas, nanti saya tanyakan ke Mas Ferdi," janjiku pada suami Nella berusaha menenangkan. Walaupun hati sendiri juga sedang ketar-ketir. Tidak mau terlarut dalam kebingungan, aku menelepon Mami. Ibu dari Mas Ferdi. "Waduh ... Ferdi tidak mampir tuh ke mari. Memang Aya tidak menghubungi kantornya?" "Udah Aya tanyain sekretarisnya, Mi. Katanya, Mas Ferdi udah pulang dari enam jam yang lalu." "Oh ... mungkin dia lagi main dulu sama temannya. Aya yang tenang saja nunggu di rumah, ya!" Tak kusangka nasihat Mami kala itu adalah dusta belaka. Wanita yang kusayangi dan kuhormati melebihi Ibu kandung, sampai hati ikut menutupi kebohongan putranya. Sungguh tega! * Kembali pipiku banjir oleh air mata bila mengingat kejadian masa itu. Namun, aku bertekad, ini tangisan terakhir. Selanjutnya tiada lagi air mata untuk Mas Ferdi. Demi anak-anak, aku harus kuat dan tegar. Ah ... rasanya ingin cepat sampai di rumah. Lalu segera hengkang dari situ bersama Abella, putri bungsuku. Walaupun harus nelangsa karena akan berpisah dengan Davin, putra pertama kami. Sungguh perpisahan ini benar-benar menyisakan luka, tidak hanya kepada kami selaku orang tua. Tetapi juga pada anak-anak. Namun, keputusan sudah diambil. Dan aku harus siap menjalaninya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD