Orang Asing

1116 Words
Sambil menyeruput kopi, aku masih asik berada di depan laptop. Seperti biasanya, kalau aku sedang buntu mencari ide pasti aku langsung ke Cafe Toba. Suasana di cafe disana sangat cozy, tentunya di sana adalah tempat favoritku untuk bisa membangkitkan menulis. Sudah lebih dari dua minggu, aku belum menyelesaikan lanjutan dari novelku ini. Kalau saja editor ku mba Erawati tidak meneror dari pagi sampai malam. Mungkin hari ini, aku tidak akan menulis. Beruntungnya aku memiliki editor seperti dia. Walaupun terkadang menyebalkan. "Mas..." aku memanggil pelayan. " Iya, mba. Ada yang bisa saya bantu?" " Saya mau pesan fries spicy dan Mocha Frappuccino satu," ucapku. Aku kembali mengetik, tempat ini begitu spesial buat aku. Di sini, inspirasi datang begitu saja. Saat aku melihat orang-orang yang datang ke tempat ini, aku selalu mengamatinya. Sekitar 15 menit pesananku datang. "Maaf !!" sapa lelaki yang tak ku kenal. "Iya, ada apa?" tanyaku penuh curiga. "Boleh saya duduk di sini!" ijinnya. Aku mencoba melihat di sekitarku, ternyata masih banyak bangku yang kosong. "Sepertinya banyak meja yang kosong. Kenapa harus di sini?" tanyaku dengan ketus. Sudah sangat jelas mimik wajahku tidak mengijinkan orang ini untuk duduk satu meja denganku. Namun, dia langsung menarik kursi dan duduk berhadapan denganku. "Maaf, siapa yang mengijinkan Anda untuk duduk di sini," kali ini aku benar-benar tidak suka dengan orang ini. "Tapi, saya ingin duduk di sini. Boleh, ya ! Aku janji tidak akan mengganggu kamu," ucapnya meyakinkan ku sambil memberikan senyuman. Dengan sedikit rasa jengkel, akhirnya aku membiarkan lelaki itu untuk duduk bersamaku. Aku tidak menghiraukan orang asing itu, dihadapanku. Aku pun, asyik dengan laptop ku sambil kupasang earphone. Dua setengah jam berada di tempat ini, tiga cangkir Mocha Frappuccino dan satu fried spicy ludes tanpa tersisa. Akupun menyerah dan segera ku masukkan laptop ke dalam tas. "Hai !!" sapanya. Aku tidak menanggapinya "Abra Susanto," katanya sambil menyodorkan tangannya. Cukup lama aku mendiami orang asing ini sambil aku mengamati orang-orang disekitar dan tidak membalas jabatan tangannya. Aku pura-pura sibuk dengan ponsel yang sedang ku otak atik. "Dira Verina," akhirya aku menyebutkan namaku kepada orang asing yang sedikit menyebalkan itu. "Jadi, nama kamu Dira Verina," ucapnya sambil senyam-senyum. Tidak banyak yang aku bicarakan dengan orang itu, dan aku memutuskan untuk meninggalkan dia dari tempat yang sangat nyaman ini. Sebelum orang itu datang. "Abra, aku tahu maksud dan tujuan kamu memaksa untuk duduk di meja ini bersama saya. Kamu sedang taruhan dengan kawanmu yang duduk di sudut meja itu kan?" kataku sambil menunjuk orang yang kumaksud. Terlihat jelas mimik wajahnya yang kaget. Pasti, orang ini bertanya-tanya kenapa aku bisa tahu maksud dan tujuannya untuk duduk di sini. "Walaupun aku sibuk dengan laptopku tapi aku tau, kalau kamu itu, mencoba untuk tahu nama saya. Kenapa saya tahu, maksud kamu tapi tetap memberitahukan nama saya. Abra pasti mengiranya, aku ini adalah cenayang. Aku tahu, dia sedang taruhan dengan temannya. Pertama, karena dari semua meja yang ada dia memilih untuk duduk di meja aku. Padahal, masih banyak meja yang kosong di sana. Kedua, aku tahu dia datang ke Cafe Toba tidak sendirian melainkan datang berdua bersama kawannya. Ketika, ia mengobrol dengan kawannya itu. Sesaat kemudian, ia menghampiri aku dan meminta ijin untuk bisa duduk bersama. Meski sudah aku menolaknya, namun dia tetap memilih untuk duduk. Aku juga teringat dengan novel berjudul 'Cinta & Rahasia' yang pernah aku tulis. Saat itu, aku sedang mencicipi es cream yang ada di daerah Kemang. Setiap pengunjung yang datang kesana, aku amati satu per satu. Tak sengaja aku mendengarkan percakapan dua pria yang sedang mencari mangsa untuk dijadikan bahan taruhan. Bagaimana aku tidak mendengarnya dengan jelas percakapan mereka. Posisi mejaku berada di depan dua orang tersebut. Salah satu dari mereka, harus bisa berkenalan dengan perempuan berwajah oriental yang sudah mereka incar sejak pertama kali masuk. Keduanya sepakat, jika ia berhasil mendapatkan nama dan nomor telepon perempuan tersebut, ia akan mendapatkan uang sebesar 500 ribu. Lima menit kemudian, ia mendekati meja perempuan berwajah oriental dengan mengenakan kaos dan celana jins pendek. Entah jurus apa yang digunakan oleh pria itu, hingga perempuan tersebut bisa dengan akrab mengobrol, seperti kawan lama yang tak pernah bertemu. Sambil merebahkan badan di atas kasur, aku tertawa sendiri. Kejadian ini sama seperti yang pernah aku tulis di novel keduaku. Lamunanku terhenti, ketika ponselku berdering. Trrrtttt....trrrtttt....tttrrrrrtttt. .. Ku coba merogoh ke dalam tas yang ku taruh di bawah dekat kasur. ku lihat layar ponsel tak ada nama dan nomor yang tak ku kenal. "Hallo..." sapaku di ujung telpon. "Apa benar ini dengan Dira Verina?" tanya pria yang tak ku kenal suaranya. "Iya, benar. Saya Dira Verina, maaf dengan siapa saya bicara?" tanyaku lagi. "Ternyata tidak susah, ya. Untuk cari nomor telepon kamu," ucapnya. "Maksudnya?" aku bertanya dengan rasa bingung. "Aku Abra, yang tadi sore bertemu di Cafe Toba," jawabnya. Kenapa orang ini bisa tahu nomor telepon ku. Seingatku, tadi aku tidak memberikan nomor telepon kepadanya. Aku masih meraba-raba dalam hati. "Tahu nomor saya dari mana?" Akhirnya aku mencoba menanyakannya. "Saat tadi kita berkenalan. Nama kamu tidak asing buat aku. Ternyata kamu adalah seorang penulis. Aku pernah membaca novel kamu yang judulnya 'Cinta & Rahasia'. "Cinta & Rahasia ? Cerita tentang apa? Saya baru dengar kalau ada novel judulnya itu. Dan saya bukan seorang novelis. Mungkin nama kami mirip," aku berusaha mengelak darinya. Dari ujung sana, Abra tertawa. Mungkin dia tahu kalau aku sedang berbohong. "Kamu tidak usah mengelak lagi, karena di belakang ada identitas dan foto kamu. Lagian aku suka banget dengan kisah yang kamu buat itu". Kali ini, aku tidak bisa mengelak lagi. "Terus sekarang mau kamu apa?" "Gak mau apa-apa. Aku hanya ingin kenal lebih dekat saja dengan kamu, boleh kan?" "Karena sudah malam, saya ingin istirahat," aku mencoba menyudahi pembicaraan. "Ya sudah, kalau kamu mau istirahat. Mungkin lain kali, kita bisa bertemu. Sekalian aku mau minta tanda tangan kamu di novel 'Cinta & Rahasia'. Aku tidak menanggapinya dan aku langsung mematikan sambungan telpon. Tuuttt....tuuutttt...ttuuuuttt..... Aku masih memikirkan apa yang baru saja diucapkan oleh Abra bahwa dia membaca novelku, apakah benar dia menyukai karyaku. Tanpa aku sadari senyum merekah di wajahku. Sebenarnya, ini bukan pertama kalinya seorang pria mengatakan bahwa dia mengagumi dan menyukai karyaku. Sudah ada beberapa pria yang memang ingin dekat denganku dan berpura-pura suka membaca novel ku. Untuk apa aku memikirkannya, toh aku tidak akan pernah bertemu lagi dengannya. Pagi ini, aku mendapat telpon dari mba Erawati. Ia tidak pernah bosan terus mengingatkan aku untuk segera menyelesaikan tulisanku. Meski agak sedikit jengkel sama sikapnya, tapi aku berusaha untuk menanggapinya dengan biasa saja. "Iya, mba. Pasti akan aku selesaikan sebelum waktunya, mba Era tenang aja, ya," ucapku sambil mengatur nafas agar tidak terpancing emosi. "Ok, kalau gitu. Aku tunggu, Ra. Jangan sampai melampaui batas waktu yang sudah aku tentukan". "Beres, mba"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD