***
Setelah dari studio rahasia, aku langsung pulang ke rumah orang tuaku. Seperti biasa, hanya ada nyonya Nadia Pratiwi, itu Mama. Sedangkan tuan Arolubis Gahar, Papaku, tentu saja masih di luar Kota. Apa lagi kalau bukan memenuhi hasratnya memperluas usaha demi memberi lapangan kerja untuk orang lain. Papaku gila kerja. Hanya Mama yang tahan dengan kegilaannya itu. Bukan mama yang mengomel sepanjang kepergian Papa tetapi aku yang sibuk mempreotesi kegilaannya itu.
Baiklah, kembali pada masalahku. Dengan hati-hati aku memberitahu Mama mengenai rencanaku yang akan menyusul Galen. Ku pikir mama akan terkejut namun ternyata Mama begitu antusias. Tentu saja mengingat Galen adalah calon menantu idaman bagi mama. Badu kalah banyak dibanding Galen, begitu kata mama.
"Kamu hati-hati. Fokus aja ke mimpimu kalau memang mau pergi," nasihat mamaku mulai mengalir. Ia tampak serius mengatakan itu mengingat aku anak perempuannya satu-satunya.
Aku mengangguk saja. Mama juga sempat bertanya tentang perasaanku pada Badu. Okay, biar ku ceritakan. Mamaku tahu kalau aku menyukai Badu sejak dulu. Hebatnya, Mama tidak pernah melarang walaupun Badu tidak pernah peka. Tapi, Mama juga tidak pernah berhenti untuk menjodohkan aku pada Galen. It's okay! Aku tidak peduli asal Mama tidak pernah memaksa.
"Jadi, intinya kamu ini mau melarikan diri, gitu?" ini bukan pertanyaan tapi pernyataan. Mamaku memang paling peka sedunia. Dengan cepat mama mengetahui niatku yang sesungguhnya. Bahwa memang aku ingin kabur dari Badu dan segala perasaan sayangku untuk dia.
Aku terkekeh, "Mama jangan bocor dong hehe,"
Mamaku mendelik. "Kamu nih yang sopan kalau lagi ngomong sama Mama!" ujarnya sambil menepuk lenganku.
Aku meringis, mengusap bekas tamparan Mama. Lumayan sakit ini. "Maaf, Ma. Maksud Zera tuh Mama jangan bilang siapa-siapa ya. Apa lagi orang tua Badu." Tentu aja aku khawatir. Takut Mamaku menceritakan rencana ini pada tante Kina. Bukan berarti aku berharap Badu menahanku di sini namun aku lebih suka semua urusanku tak ada lagi kaitannya dengan lelaki itu.
Aku terkekeh, mana mungkin semua urusan ini tak ada hubungannya dengan Badu. Mengingat kepergianku adalah karena ingin melupakannya.
"Ya, nggaklah sayang. Untuk yang satu ini Mama pasti jaga rahasia. Secara anak Mama lagi usaha buat move on." Kata Mama seraya menaik turunkan alisnya. Ini akibat dari terlalu seringnya curhat pada ibu-ibu gaul seperti Mama. Umur saja dia yang udah kepala Lima tapi kelakuan masih seperti ABG.
Aduh percayalah.. Mama benar-benar contoh perempuan yang bisa berperan jadi segalanya. Sini aku list dulu, Mamaku bisa saja menjadi emak-emak sosialita zaman now yang suka main di medsos. Tapi dia juga bisa menjadi ibu dan istri siaga jika anak-anaknya dan juga Papaku membutuhkannya. Salah satu contohnya adalah mama pandai memasak meskipun kita memiliki asisten rumah tangga. ART biasanya mengikuti arahan mama karena mama lebih suka turun tangan secara langsung.
Mama juga bisa menjadi sekretaris dadakan untuk Papa. Entah bagaimana ceritanya tapi dia paham betul soal perusahaan. Dan yang paling aku kagumi adalah, Mama perempuan yang diam-diam pandai melukis. Tapi itu semua hanya ia lakukan untuk keluarga saja. Dia tidak suka menjual lukisannya, apa lagi berkarir dalam dunia itu.
Mama mengatakan dia lebih suka jadi Ibu Rumah Tangga yang baik untuk anak dan suaminya. Makanya Papa sayang dan cinta pada Mama. Malah kadang rela bolak balik luar kota kalau lagi kangen Mama. Jangan heran. Papa Mamaku layaknya remaja yang sedang tergila-gila sama yang namanya cinta. Meskipun sering LDR, tapi tetap saja mesra.
Pertanyaanku adalah, siapa dan di mana serta kapan aku bisa menemukan laki-laki setulus Papa yang mencintai Mama?? Entahlah. Satu-satunya laki-laki yang aku harapkan justru sama sekali tidak memiliki perasaan yang sama denganku.
Percakapan antara aku dan nyonya Nadia Pratiwi berakhir sampai di situ saja. Aku izin masuk ke kamar tanpa berniat keluar lagi untuk sarapan. Aku akan segera mandi dan tidur sampai pagi.
Sungguh semua itu benar-benar ku lakukan. Beruntung mamaku mengerti bahwa aku sedang tak ingin diganggu.
Ketika pagi menjelang, biasanya aku teramat menyukai sang mentari yang menyapa, menampakan diri di atas langit pagi. Setelah mimpi indah semalaman, paginya aku selalu menvoba mewujudkan mimpi-mimpi itu dengan bertemu Badu. Tapi pagi kali ini tidak ada lagi mimpi indah, tidak ada lagi waktu untuk memaksa Badu makan siang bersama.
"Nggak apa-apa, Ze. Lo bisa lupain dia," ucapku.
Setelah itu ku biarkan mataku menjelajah kamar. Aku mengeluarkan napas dengan berat. Begitu sulit menjalani hari ini tetapi tetap saja aku harus pergi bekerja ke kantor Papa yang sekarang diambil alih oleh Kak Raga, kakak kandungku.
Baiklah, aku harus mandi. Setelah itu sarapan. Namun ketika baru saja ingin beranjak, aku mendengar teriakan mama.
"Alea Kazera!" entah apa tujuan mama menghampiriku sepagi ini sambil berteriak.
Pintu terbuka, suara kencang memekakan telinga karena didorong terlalu kuat dari luar. "Astagfirullah.. Mama apa-apaan sih???" teriakku. Jujur, aku terkejut meskipun sudah menyiapkan diri menghadapi apa yang selanjutnya mama lakukan.
Mama mengatur pernapasannya terlebih dahulu sebelum berkata, "Hiro meluluh lantakan perusahaan Laxavier. Kayaknya dia nggak main-main soal balas dendam yang kamu bilang waktu itu." Okay! Mama memang tahu segalanya.
Reaksiku atas informasi yang baru saja mama bagi adalah terkejut. "Serius, Ma?" tanyaku. Mama mengangguk dengan antusias. "Kalah banyak perusahaan itu." Kata Mama.
Aku buru-buru berdiri dari dudukku. Berlarian ke kamar mandi. Cuci muka dulu agar lebih jelas. "Mama tahu dari mana?" tanyaku setelah keluar dari kamar mandi. Mama memutar bola matanya. "Internet kali Ze! Makanya melek. Jangan info soal Badu aja yang kamu tahu." Skakmat. Persis apa yang mama katakan, hanya informasi tentang Badu saja yang ku tahu. Aku mencebikan bibir.
"Emang di apain sama Hiro perusahaan Laxavier, Ma?" tanyaku mengabaikan apa yang mama katakan tentang kebodohanku selama ini.
"Ya kalah tender dong Ze. Apa lagi coba?" jelasnya. Mama terlihat kesal padaku akibat ketidaktahuan ini. Maafkan anakmu yang tidak tahu apa-apa ini, mama. Lagi pula aku bekerja di perusahaan papa hanya karena ingin menghabiskan waktu saja.
Mama berdecak. "Kagum banget Mama tuh sama si Hiro. Pertama, dia bungkam Perusahaan Entertainment milik Adnan Laxavier. Sekarang, dia hancurkan pula Perusahaan besar milik Papa si Adnan," ucap Mama. Keahlian Hiro dalam bersaing di dunia bisnis memang tak perlu diragukan lagi. Lelaki itu juaranya dalam bidang hancur menghancurkan. Tangannya teramat dingin pada siapapun yang menyerang.
Laxavier benar-benar salah mencari lawan. Mana mungkin seorang Hiro bisa terkalahkan. Apa lagi Adnan mencoba merebut wanita yang lelaki itu cintai. Ck. Adnan betul-betul bodoh karena telah mengusik Hiro.
Saat aku mengalihkan tatap, mama sedang memperhatikan aku. "Kamu nggak ke kantornya Hiro?" tanya Mama. Iya, aku tahu itu kebiasaanku kalau ada berita besar seperti ini. Tapi sekarang sudah berbeda. Tidak mungkin aku ke sana. Karena bisa aja ada si Badu juga sedang ada di sana. Terancam gagal move on diriku nanti kalau nekat pergi.
Maka gelengan kepala yang ku berikan pada mama, "nggak Ma, aku mau langsung ke kantor Papa aja." ucapku. Jangan berharap Mamaku menghela napas berat dan memasang wajah kasihan sekalipun aku mengatakan itu dengan nada putus asa.
Mama dengan senang hati pamer gigi putihnya. "Alhamdulillah... Anak Mama akhirnya sadar juga." Mama memang tidak terduga. Ahh sudahlah.. Lebih baik aku mandi kemudian berangkat kerja. "Dasar anak kurang ajar! Jangan lupa sarapan!" teriak Mama di dalam kamarku. Aku terkekeh. Jelas saja Mama berteriak lagi padaku mengingat aku langsung meninggalkannya yang sedang cengar cengir sendiri.
Bukankah buah jatuh tak jauh dari pohonnya? Jika mama suka sekali menjahiliku, maka aku pun mampu melakukan hal yang sama. Makanya Ma jangan suka usil pada anaknya sendiri. Diusilin balik baru tahu rasa. Aku menggeleng lucu melihat tingkahku dan mama yang kadang bisa membuat papa sakit kepala. Untung papa sedang berada di luar Kota.
Tapi dibalik semua keusilan itu, aku tahu Mama mendukungku. Dia menjagaku dengan caranya sendiri. Aku tahu Mama akan selalu memelukku.
.
.
Bersambung.