Biar Aku Ajari!

1257 Words
"Kamu mau uang?" Pria itu mengangkat satu sudut bibir. "Aku akan memberikan lima juta pertamamu setelah kamu tidur denganku," sambungnya. Sial. Apa dia menjebakku? Tamatlah kamu Nara, mahkotamu akan direnggut oleh om-om. "Ap- apa?! Tidur sama Om?" Mataku melebar. Akhirnya pria yang kupikir dingin ini, m***m juga. Padahal aku sudah mulai menikmati sikap dinginnya. Tak perlu melayani sebagai istri, atau merengek minta diperhatikan. Aku bebas menjalani hidup, mengunggah kenarsisanku seperti biasa. Pamer barang-barang branded, makanan mewah dan sederet kehidupan yang menunjukkan bahwa Nara adalah seorang gadis berkelas. Aku juga bebas pergi ke mana pun, hanya di waktu-waktu tertentu standby di rumah. Atau bersiap kalau sewaktu-waktu harus menemani Om Saga pesta dan bertemu klien yang banyak maunya. Tadinya hidup yang kupikir akan seperti berada di neraka ternyata benar-benar seperti nereka, sebab pintu siksaan sudah dibuka oleh Om Saga untukku. Yah, karena aku harus menuntaskan 'kemauannya' sebagai pria, berbanding terbalik dengan fakta sementara selama sebulan ini. "Kamu pikir ada makan siang yang gratis? Don't forget. No free lunch, Miss Nara!" tekannya. Tak ada yang bisa kulakukan selain melongo mendengar setiap ucapan Om Saga. Haiss. Ceroboh sekali, sih. Kenapa tak kuperiksa dulu, isi berkas-berkas itu? "Maaf aku masih sibuk, hubungi aku saat sudah siap," ucapnya lagi tanpa beban, sambil mengangkat tangan kiri, dan melihat angka di arlojinya. Detik kemudian langkahnya terayun meninggalkanku. Aku masih terperangah. Kesal dan bingung sekaligus. Ah, malu juga. Seorang pria membahas hal begituan dengan Princess Nara. "Huhhh." Aku mendesah panjang, memukul kepala. Merutuki kebodohan sendiri dalam hati. Ish, jadi nyesel aku nikah sama dia! Tapi kalau nggak nikah sama dia, gimana nasib Papaku, perusahaan dan nasibku? Uang endorse mana cukup buat menggerakkan roda perekonomian keluarga kami? Mana saingan banyak. Followersku naiknya juga lamban. Coba aja kemarin nggak post foto Om Saga, mana bisa naik drastis kaya sekarang. Yah, walau terlihat kaya, kenyataannya tanggungan Papa sangat banyak. Dia saja yang enggan bercerita. Sampai aku tahu sendiri dari Bibi, pengasuhku sejak kecil, kalau ternyata Papa selama ini bangkrut. Papa pasti dilema, tapi menyimpan harga dirinya dengan tak memberi tahuku alasan sebenarnya. Satu-satunya jalan bangkit adalah menikahkanku dengan Om Sagara. Pria yang kebetulan baru resmi bercerai dengan mantan istrinya. Aku tak tahu soal pernikahan lamanya, dan lagi kehidupan pria itu sangat misterius. Mereka menutup rapat dari media. Aku sendiri bahkan tak tahu siapa istrinya dulu. Yang aneh, kenapa sekarang keberadaanku sebagai istri keduanya di publish? Apa pria itu mau balas dendam dan memanas-manasi istrinya yang dulu? Ah, apa pentingnya buatku memikirkan itu, sih? Sekarang yang penting bagaimana agar uang 5 juta dollar pindah ke rekeningku? "Oya ...!" kujentikkan tangan sambil berseru senang. Aku terpikirkan sesuatu. Katanya, Bibi mendengar saat menghidangkan kudapan untuk Papi Banyu yang mengobrol dengan Papa, pria itulah yang memintaku pada Papa jadi menantunya. Kalau begitu bukankah, seharusnya aku bisa meminta uang padanya? Tapi ... apa itu gak memalukan? Baru sebulan jadi mantu, dan kami belum akrab, lalu ujug-ujug minta duit. Kesannya jadi Nara itu matre banget. Kasihan pula Papa pasti akan merasa malu. Hufftt ... ini membuatku frustasi. Jadi jalan satu-satunya aku memang harus tidur dengan Om Saga?! Apa aku siap?! Arghhhh ... aku benar-benar gila! Ini membuatku frustasi! Kenapa suamiku setua dia! Coba aja kalau masih kinyis-kinyis kaya Oppa Jongsuk pasti aku juga gak bakal mikir panjang mau tidur bareng apa nggak. Mana dia duda. Entah, kenapa bawaannya geli bayangin dia bekas orang? Iya kalau istrinya dulu bisa merawat diri, higienis luar dalam. Kalau ternyata dia seorang yang doyan gonta-ganti pasangan gimana? Orang kaya kan gaya hidupnya gitu. Yah, kecuali aku. ____________ Untuk menghilangkan stress, aku pun pergi ke Mall hanya dengan memegang uang 10 juta. Cukuplah buat jajan dan nongkrong sendiri. Tempat ini, selalu ramai, tapi tak ada yang mengenalku. Maybe. Aku suka nongkrong walau sendiri sejak belum jadi selebgram. Berharap bisa menghilangkan kesepian dalam diri, karena meninggalnya Mama. Yah, walau kadang ritual ini sering terganggu oleh sepupu gresekku. "Aku duduk sendiri, yah beginilah kalau punya suami orang sibuk, mana bisa berduaan?" Menikmati kudapan yang sudah kupesan. Saat notif chat terdengar dari ponsel yang ada di saku, aku pun segera merogohnya. Mataku menyipit. Pesan itu datang dari Mina. Dia adalah manager, sekaligus PJ di Princess Nara's Team. Gadis berkulit hitam manis itu mengirimkan sebuah link. Mataku menyipit melihatnya. Apa ini link postingan Mak Lampir Mrs. Queen yang julid ke aku? Dia pasti kepanasan saat tahu aku menikah dengan CEO terkaya ketiga di negeri ini. Saat kuklik tautan, rupanya dugaanku benar. Ada yang kepanasan. Bukan dia tapi aku. Karena melihat sebuah tas Made Prancis bertengger manis di pelukannya. Aku memandanginya sambil menyedot es kopi latte dalam cup. "Ya Tuhan, Mrs. Queen benar-benar kaya. Aku penasaran seperti apa Mr. Kingnya?" "Ya Allah. Betapa cantiknya dia." Nelangsa dan turut berduka cita ... hanya itu yang bisa kuucapkan untuk diri sendiri. Saat menatapnya lama-lama semakin kesal rasanya, dan semakin aku menyadari sesuatu. Mataku gagal fokus kala melihat cincin yang melingkar di jari manis Mrs. Queen. Kenapa mirip sekali dengan cincin yang sekarang tersemat di jariku. Cincin yang terbuat dari emas putih dan berlian di tengahnya. Aku sampai menaruh jariku di sisi ponsel. "Mirip sekali. Bukan hanya mirip tapi sama persis. Aku pikir Om Saga akan membelikan sesuatu yang tidak ada duanya untuk istrinya. Ck dasar orang kaya pelit!" "Tapi ...." Kepalaku sampai meneleng memikirkan ini. "Kenapa sangat kebetulan, suami Mr. Queen memiliki selera yang sama dengan Om Saga. Apa jangan-jangan ...." "Ah, mikir apa aku, sih?" Kugelengkan kepala, menepis pikiran toxic dalam benak. Kusesap lagi minuman dalam cup. "Dooor!" Seseorang tiba-tiba mengagetkanku. "Eh, copot!" ceplosku. "Uhuk uhuk." Bukan hanya keceplosan hal memalukan. Aku bahkan tersedak. "Kamu nggak papa?" Alvin tiba-tiba nongol di depanku menyerahkan sebuah tissue. "Sorry sorry aku bercanda!" "Kebiasaan, deh! Beraninya ngagetin istri Sultan! Gak takut didenda!" dengkusku sebal. Ini anak emang kebiasaan. Mentang-mentang dekat, jadi suka ngerjain. Pria itu tertawa. "Habis nggak jomblo nggak punya suami, sama aja! Masih suka ngelamun sendiri. Ntar kalo kesurupan gimana?" "Bodo!" sahutku sebal. Kumanyunkan bibir lalu mencebik sambil melirik sinis sekilas ke arahnya. Ingin dia tahu kalau aku sedang sangat kesal. Pemuda itu kemudian duduk di kursi di sampingku tanpa rasa bersalah. Lalu nyomot pizza yang kupesan khusus, dan menelannya begitu saja. "Eh, siapa bilang boleh makan punyaku?" protesku padanya. "Aku kan sayang sama kamu, mana rela lihat kamu sendirian gini? Ck. Emang ya, suamimu itu nggak bersyukur. Istrinya dibiarin lepas sendiri," ucapnya dengan mulut penuh. "Ck. Udah deh. Mending kamu nikah dan berhenti rayu aku. Jangan sampe orang ngira, Princes Nara yang terhormat berselingkuh dari suaminya." "Hahaha. Kamu mikirin itu?" Alvin terbahak. "Kenapa sekarang kamu sadar kalau aku ini juga seorang pria yang harus diperhitungkan?" "Ckck." Aku hanya mendecak. Alvin mana bisa dilawan kalau sudah nyerocos. "Ngemeng-ngemeng itu kenapa wajah kamu ditekuk-tekuk gitu?" "Frustasi gue." "Heleh. Udah kaya makin kaya. Masih frustasi juga." "Iyalah gimana gak frustasi, suami minta tidur bareng." "Apa?!" Alvin yang terkejut nyemburkan minuman ke wajahku. "Huh. Sabar Nara sabar ....." Aku meniup kesal sambil meraih tisue. Sialan bener ini anak. Sudah makanan di makan, minuman diminum, sekarang pakai nyemprot wajah cantikku. "Sorry, sorry." Dilap tisue ke wajahku. Lalu ia mematung melihat kerudung depanku yang basah. Pria itu menatap agak lama, seperti tengah berpikir bagaimana mengelapnya. "Kamu ngapain?" Kusilangkan tangan di d**a. "Jangan kelewatan, oke!?" Alvin nyengir. Entah, apa yang ada dalam otaknya. Yang jelas selama bertahun-tahun bersamaku, dia tak pernah kurang aja. Dan bahkan selalu menjagaku. Pemuda tampan dengan manik mata kecoklatan itu kemudian kembali bicara. "Apa kamu frustasi karena belum pernah melakukannya?" "Iya, itu salah satunya." Aku mendesah. "Kalau begitu, biar aku yang ngajarin kamu, gimana?" bisiknya lagi lebih pelan dari sebelumnya. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD