Kalila berdiri di depan pintu berwarna putih. Cukup lama dia menunggu sampai pintu itu benar-benar terbuka dengan lebar. Begitu pintu terbuka, dia mematung menatap sang pemilik rumah.
“La?” Byan tercenung menatap tamunya.
Namun, Kalila terus saja merengut, air mata pun tak henti-hentinya membasahi pipi. “By,” gumamnya.
“Lu kenapa, La?” Byan mendekatkan wajahnya dan mengernyit.
Kalila tergemap dengan air mata yang terus tumpah, seseorang yang dia sayang baru saja menghancurkan hatinya. “By.” Kalila menghambur memeluk Byan, hingga Byan terkesiap. Namun, perlahan tangan Byan terangkat, lalu dia mengusap punggung Kalila dengan lembut.
Kalila terus saja terisak, tanpa bisa menjawab pertanyaan Byan. Pria itu segera mengajak Kalila masuk. “Lu duduk dulu, gue ambilin air,” ucapnya, kemudian dia melenggang pergi menuju dapur.
Byan mengambilkan segelas air putih dan membawakan sekotak tisu. “Minum dulu.” Dia menganjurkan gelas tinggi berisi air putih itu pada Kalila dan meletakkan tisu di meja. Kemudian Byan duduk di sebelahnya.
“Bilang sama gue, La, lu kenapa?” tanya Byan. Sebenarnya Byan sudah menduga, ini pasti soal Arlon. Prediksi Byan selalu benar, kalau bukan Arlon, siapa lagi, pria yang berani menyakiti sahabatnya.
Kalila memaut selembar tisu dan menyeka air matanya, lalu dia mengeluarkan lendir yang menghalangi rongga hidungnya untuk menghirup udara.
Byan hanya bisa menatap kejadian ini sebagai sebuah pemandangan indah, hanya padanya Kalila tak pernah menyembunyikan siapa dirinya, wanita itu selalu tampil apa adanya tanpa takut akan sebuah penolakan, begitupun sebaliknya.
Kalila menegakkan tubuhnya, kemudian menoleh menatap Byan. “By--” Kalila menarik napas, dia berharap akan mengatakan ini tanpa diiringi isakan, “Si Arlon selingkuhin gue,” ucapnya dengan getaran suara yang membuat Byan ikut tersayat.
“Hah?” Sudah Byan duga, akhirnya kebobrokan Arlon terbongkar dengan sendirinya. Dia tidak perlu susah payah memisahkan Kalila dengan pria b******k itu.
Kalila mengangguk. Napasnya naik turun. “Gue--” Isakan berhasil menguasainya. Byan tahu, kesedihan yang bercampur emosi membuat Kalila kesulitan mengungkapkan isi hatinya. “Lu tenangin diri dulu deh, kalau abis tenang, lu cerita sama gue.”
Kalila mengangguk dan membenamkan wajahnya di bahu Byan. Pria itu tercenung menatap puncak kepala Kalila yang sangat dekat dengan dagunya. Wanita itu terus meluapkan kesedihannya dalam bentuk air mata, hingga tak terasa baju abu misty Byan basah oleh air matanya.
“Si Arlon nggak pantes lu tangisin kayak gini.”
Sesaat Kalila terdiam sembari mendongak, dia menatap pria yang kini sedang memperhatikannya. Dia kemudian mengendus ingusnya sendiri. “By, tadi gue ke apartemen si Arlon."
Meski Kalila tak melanjutkan perkataannya, namun hatinya mengatakan kalau dia datang karena rindu telah mengantarkannya, tapi karena teringat dengan pengkhianatan pria brengs*k itu, dia pun akhirnya mengeluarkan kalimat cacian. "Najis!”
Wanita yang kini tampak berantakan dan tak secantik sebelum dia mendatangi Arlon itu pun segera menegakkan tubuhnya. “Rencananya By, gue mau abisin waktu seharian ini sama dia. Gue juga mau bilang, bentar lagi gue resign.”
Byan tak memotong apa yang sedang Kalila utarakan, dia hanya menanggapi dengan anggukan saja.
“Lo tahu, ‘kan, gue pegang kunci cadangan apartemen si Bajing*n.”
Byan kembali mengangguk.
“Sialan, By, " teriak Kalila. "Si b******k ke luar dari kamar mandi--” Air mata kembali menguasai dirinya, rasanya sulit sekali berdamai dengan rasa sakit, “barengan sama Aimra.”
“Apa?” Byan terperanjat. “Si Amira?”
Kalila mengangguk bersamaan dengan air mata yang terus-menerus turun. Dadanya sesak bukan main. Sesaat dia memang merasa perselingkuhan Arlon terjadi karena dirinya yang kurang bisa membagi waktu, sesaat dia juga menyesalkan karena telah meminta Arlon untuk mempekerjakan Amira sebagai karyawan di kantor Arlon.
Byan ikut merasakan kemarahan Kalila. “Dengar, La.” Byan mengarahkan bahu Kalila agar tubuh wanita itu tegak dan menghadap padanya. “Lu harus banyak-banyak bersyukur, karena Tuhan tunjukin ini lebih cepat.”
Kalila tergemap menatap Byan, sementara air mata sudah mulai mereda.
“La, rasa sayang lu sama cowok brengs*k kayak Arlon nggak akan merubah apa-apa. Dia tetap aja cowok bej*t.”
Kalila tercenung mendengar perkataan Byan. Sahabatnya itu memang ada benarnya, lebih baik memang dia lupakan rasa sayang, cinta atau apapun itu. Karena Arlon memang tidak pantas mendapatkan semua itu darinya.
“Memang lu mau, nikah sama pria tukang selingkuh? Lu mau besarin anak sendirian, sementara bapaknya asik naena sama cewek lain, mau, hmm?” Ada emosi dari setiap kata yang Byan ucapkan, hingga Kalila merasa Byan tengah memurkai kebodohannya.
Kalila kemudian menggelengkan kepala.
“Bela aja terus perasaan lu,” cibir Byan. “Emang rumah tangga cukup dengan cinta. Apa lu nggak mau cari yang setia?" Kayak gue, La. Bisik Byan dalam hati.
"Gue udah putusin Arlon, By," Gumam Byan.
Napas Byan sedikit berat, lantaran menahan emosi yang baru saja keluar dan mungkin itu membuat Kalila merasa takut padanya. “Sorry, La, gue emosi,” sesalnya.
“Nggak apa-apa, By. Gue emang lagi butuh lo,” ucap Kalila.
Tiba-tiba hati Byan terasa hangat mendengar kalau Kalila butuh dirinya, meski dia juga harus kecewa lantaran Kalila datang padanya di saat sedih seperti ini dan selama dua tahun terakhir ini wanita itu menghabiskan sisa bahagianya dengan Arlon.
“Maksudnya gue butuh nasehat lo, By.” Kalila meralat ucapannya. Dia hanya tidak ingin sahabatnya itu berpikir kalau dia mendatanginya hanya di saat ada masalah saja.
“Maaf karena gue datang pas lagi lagi ada masalah kayak gini,” imbuh Kalila.
Byan mencoba tersenyum, meski sebenarnya hatinya ikut terkoyak.
“Gue ikut tidur di sini, ya, By.”
“Tidur aja, biasanya juga nggak pernah izin.”
Kalila tersenyum, mungkin memang hanya Byan-lah, satu-satunya pria yang mengerti dirinya. “Tapi, gue laper, By.”
Byan menghela napas. “Ngerepotin,” dengkusnya seraya bangkit.
Meski begitu, Kalila tetap bahagia, Byan orangnya memang seperti itu, tapi sebenarnya dia tidak pernah merasa direpotkan, Kalila tahu itu. Dia mengikuti Byan ke dapur.
“Tadi, gue sarapan ketoprak. Sekarang belum masak, La,” ucap Byan sembari membuka kulkas.
Memang sudah beberapa minggu ini Byan tinggal sendiri, orang tua dan adiknya tinggal di Jerman. Setiap hari pembantu datang merapikan dan memasakkan makanan untuknya. Namun, hanya dari pukul tujuh pagi sampai delapan malam.
“Pembantu gue hari minggu libur. Kasihan dia kalau kerja terus, dia juga butuh me time bareng keluarganya,” ucap Byan sembari menuangkan s**u ke dalam gelas.
Kalila terenyuh. Byan memang sangat baik dan pengertian. Siapapun perempuan yang akan bersanding dengan Byan pasti akan sangat beruntung. Mungkin jika itu terjadi, Kalila akan sangat iri pada calon istri Byan nanti.
“Lu sama sekali belum makan?” tanya Byan.
“Udah.”
“Sedih bikin lu cepat laper, ya?” goda Byan sembari mendaratkan bok*ng di sebelah wanita itu.
“Makan angin, By. Gue, ‘kan niatnya mau makan sama--” Kalila terdiam sejenak. “sama cowok brengs*k itu.”
Byan hanya menggelengkan kepala. Dia kemudian berdiri. lalu mengambil roti dan selai kacang kesukaan Kalila. “Gue bikinin roti, ya.”
“By,” panggil Kalila pelan. Byan menoleh sekilas, dia sibuk mengoles selai pada permukaan roti. “Kenapa lo baik banget sama gue?”
“Ya karena sa--” Byan kemudian menoleh, “sahabat, ‘kan?”
Kalila mendesah. “Gue kira sayang.”
“Ya sayang dong, La,” ucap Byan sembari mendekatkan piring berisi sandwich roti selai kacang yang sudah dipotong-potong menjadi empat bagian itu pada kalila.
Kalila langsung melahap roti itu. Dia tak ingin memikirkan makna sayang yang diucapkan Byan padanya. Mungkin hanya sayang platonik, sayang dari sahabat, atau sayang dari kakak ke adik.Bahkan ungkapan seperti itu sudah terlalu sering Kalila dengar dari mulut Byan.
“Lo abis ini mau kemana, By?”
“Rencananya gue mau nongkrong sama anak motor.”
“Ikut dong, By,” rengek Kalila.
“Nggak ah,” tolaknya cepat. “Mereka pasti tahu lu siapa . Nggak, gue nggak mau bawa manekin,” ledek Byan.
Kalila kembali merengek sembari melahap sisa roti, hingga membuat mulutnya penuh. Meski begitu, dia merasa berharga dengan perhatian yang Byan berikan. Keposesifan Byan padanya adalah bukti nyata kalau sebenarnya Byan terlalu menganggapnya ada.
“Gue punya film baru, kita nonton aja,” bujuk Byan.
Seperti anak kecil, anggukan Kalila terlalu manis. Membuat Byan ingin sekali menggigit hidung bangir wanita itu. Namun, Byan hanya bisa tersenyum karena keinginannya terlalu absurd.
Byan kemudian bangkit. Terlalu lama di depan Kalila membuatnya sulit berkonsentrasi, Kalila memang racun yang dikirimkan Tuhan untuk meracuni pikiran seluruh laki-laki penikmat majalah Bad Boy.
“Lo mau ke mana?” tanya Kalila.
“Gue mau siapin laptop, kita, ‘kan mau nonton,” jawab Byan.
Kalila mengangguk lagi, sementara mulutnya penuh terisi potongan roti. “Gue abisin dulu ini, By.”
“Susunya diminum, La. Gue udah siapin, jangan sampai nggak diabisin.”
“Kalau nggak abis, buat lo aja, By.”
"Dari kecil, gue selalu aja kebagian sisa dari lu, La," ungkap Byan. "Kali-kali kasih gue yang baru dong."
Kalila tersenyum mendengar keluhan Byan. Beberapa menit kemudian dia mengikuti Byan ke kamarnya, akhir pekan yang sudah tidak pernah Kalila lakukan adalah menonton di kamar Byan.
Byan sudah duduk di atas ranjang, sementara laptop ada di depannya. “Film apa?” tanya Kalila seraya duduk.
“Lu lihat aja,” pinta Byan seraya bangkit. “Gue ambil cemilan dulu, kemaren abis beli keripik singkong.” Byan kemudian berlalu dari kamarnya dan meninggalkan Kalila sendirian.
Pembukaan film tersebut terlalu lama. Ah sudah Kalila duga, Byan memberinya film bollywood. Kalila menghela napas. “By, gue males nonton film bucin,” teriak Kalila.
“Nggak bucin kok,” ucap Byan yang baru saja kembali. Dia kemudian meletakan setoples keripik singkong di lantai. Lalu, dia duduk di sebelah Kalila.
Kalila mulai tegang saat melihat seorang wanita menjerit ketakutan masuk ke dalam kamar dan mengunci pintu. “Ini film apa, By?” bisiknya ikut ketakutan.
Byan hanya menyunggingkan senyum saat melihat Kalila menutup mulutnya sama seperti tokoh perempuan yang dia tonton dalam film ghost tersebut. Sesaat kemudian Kalila menjerit saat melihat tangan hantu bersimbah darah mencengkram wanita yang diketahui bernama Barkha.
“Kok horor sih By?”
“Film baru yang gue punya cuma itu.”
“Ya udah, ah,” Kalila bangkit, “gue balik aja.”
Byan menahan tangan Kalila. “Lu nggak mau temenin gue nonton? Gue tinggal sendirian loh, La.”
“Ogah.” Kalila segera menepis tangan Byan. “Gue balik.”
Byan tersenyum, itulah cara halus mengusir Kalila dari kamarnya. Wanita itu kini sudah pulang lewat pintu kamar Byan yang mengarah ke balkon kamar Kalila.
“Hati-hati, La, jangan lihat ke bawah ranjang.”
Kalila mendelik menatap Byan.