2. Menolak Lupa Malam Berdarah

690 Words
“Yang membuat laporan siapa Pak? Bisa kita bicarakan di sini saja? Saya nggak mau pers sampai tahu saya berurusan dengan polisi. Bisa-bisa reputasi saya sebagai DJ hancur di depan para fans saya.” Sayup-sayup aku mendengar suara Thomas dari pintu apartemennya di lantai empat yang tidak jauh dari lift tempatku baru saja keluar dengan tergesa-gesa. Aku langsung berlari kencang meraih gagang pintu yang setengah terbuka dan melemparkan tubuhku menimpa Thomas. Kupeluk erat tubuh Thomas. Syukurlah dia tidak terluka. Kekhawatiranku akan Thomas hampir saja merebut nyawaku sendiri. Aku kebut-kebutan di jalanan demi sampai secepatnya di tempat ini. Lagi-lagi demi memastikan kondisinya baik-baik saja. “Sayang... kamu nggak papa?” tanyaku masih dipenuhi kecemasan. Kuperiksa wajah, kepala dan lengan Thomas dan tidak menemukan bekas luka apapun. Hanya sedikit memar di tulang pipi. “Aku nggak papa, Sayang. Cuma goresan kecil di sini.” Thomas menunjuk telapak tangan kanannya. “Cuma kena pecahan kaca kok.” Thomas menunjukkan goresan kecil, persis sayatan pisau ketika memotong bawang. Sama sekali bukan luka parah seperti dalam ingatanku. Lagipula posisi luka yang ditunjukkan Thomas letaknya di ujung jari telunjuk tangan kanannya, sementara dalam ingatanku luka itu seharusnya berada di antara siku dan pergelangan tangan. Kalau bukan lengan Thomas yang bersimbah darah tadi malam, lalu lengan siapa?   ***   Sementara aku terduduk di kursi ruang makan sambil merunutkan ingatan yang semrawut di kepala, Thomas mengantarkan petugas kepolisian yang baru saja mengintrogasinya meninggalkan apartemennya. Pihak kepolisian dan Thomas sepakat untuk menutup kasus ini saja. Polisi ternyata datang karena panggilan dari pihak keamanan apartemen yang sempat melihat seorang laki-laki keluar meninggalkan kediaman Thomas dengan tubuh bersimbah darah. Entahlah siapa pria yang terluka itu. Thomas juga mengaku tidak mengenalnya. Ada yang tidak beres. Meskipun kepalaku masih sempoyongan seperti tujuh ekor burung menari berputar-putar diatasnya, tapi aku masih bisa ingat jelas betapa banyaknya darah yang bersimbah di lantai tadi malam. Aku hampir saja memecahkan kepalaku sendiri karena tanpa sadar berdiri dari bawah kolong meja demi membantu korban yang berdarah itu namun justru berakhir pingsan karena kerasnya benturan menghantam kepalaku saat beradu dengan langit-langit meja. Yang bisa kuingat jelas adalah ketika setengah jam sebelum tengah malam aku menyelinap keluar rumah dan tiba di Kelab tepat tengah malam. Thomas sibuk menari-narikan jemari seirama dengan gestur tubuhnya di depan turn table sementara aku tanpa sengaja menabrak tubuh Hansel, rekan satu kantorku, di dekat lantai dansa. “Lho, bukannya kamu bilang janjian sama temen?” tanyaku saat dia menopang tubuhku yang hampir ambruk dengan kaki beralaskan heels setinggi sebelas senti. “Iya. Janjiannya di sini.” Jawabnya santai. Sesantai kepribadiannya yang selama ini kukenal. “Kamu jadi ngancam Thomas buat nikahin kamu?” “Ya harus jadilah.” Hansel Pradipta adalah teman pertama dan satu-satunya yang kupunya sejak bergabung di perusahaan asuransi tempatku bekerja sekarang. Kepribadiannya persis air, selalu bisa disesuaikan dengan tempatnya. Dia bisa bertansformasi persis seperti anak tujuh tahun demi bisa membuat Anand, putra Bu Ningsih sang manager HRD, tenang menunggui ibunya meeting. Dia juga bisa bertransformasi persis pengacara, demi meladeni curhat Tya yang sedang sibuk menyelesaikan kasus perceraian dengan suaminya. Dan dia juga bisa bertransformasi layaknya psikolog handal saat mewawancarai calon pekerja yang melamar di perusahaan kami. Itu sebabnya aku menjadi dekat dengannya. Dia selalu bisa menyesuaikan diri sesuai kebutuhan. Jadi jangan heran kalau aku selalu curhat dengannya. Termasuk tentang hubunganku dengan Thomas yang masih ditutupi dari keluargaku. Juga tentang mandat Mama yang akan menikahkanku di usia 25 tahun. “Kalau dia masih belum siap berkomitmen gimana?” tanya Hansel lagi saat kami memilih untuk duduk di dekat meja bartender. “Aku akan bersedia dijodohkan oleh orangtuaku.” Mata Hansel terbelalak lebar. Dia mungkin kaget mendengar istilah jodoh-jodohan di era yang sudah secanggih ini, “Kamu yakin?” tanya Hansel hati-hati. Aku hanya bisa mengangkat bahu. “Kenapa kamu nggak menikah denganku aja, Maureen?” Persis di akhir pertanyaan itulah aku menenggak minuman pertama malam itu. Tidak tanggung-tanggung aku mengandaskan isi satu botol bir sekaligus. Dan setelahnya semuanya kabur. Satu-satunya yang kuingat adalah aku sempat terjatuh beberapa kali dari tempat dudukku dan dibantu Hansel untuk duduk dengan benar. Sisanya entahlah.   “Ngelamunin apa sih, Sayang? Dahi kamu sampai keriting gitu.” tanya Thomas sekembalinya mengantarkan para polisi. Bukannya menjawab pertanyaan, aku malah balik bertanya, “Sayang, kamu yang antar aku pulang tadi malam?” Thomas diam cukup lama, tapi kemudian dengan hati-hati mulai bersuara, “Kamu nggak ingat apa-apa?” Aku menggelengkan kepala. “Kalau kamu tidak ingat ya sudahlah. Mungkin lebih baik kita lupakan saja kejadian tadi malam.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD