#7 : Memori Yang Terlupa

727 Words
ANTIDEPRESAN merupakan teman yang setia. Aku bahkan lebih sering menemuinya akhir-akhir ini dan butiran kecil di dalam botol itu sama sekali tidak mengeluh. Sejak pertemuan pertama dan keduaku dengan detektif bernama Dante, kupikir hidupku menjadi lebih tidak tenang daripada sebelumnya. Jika kemarin aku sudah pasrah, kini aku seolah memiliki harapan. Kutemukan lubang cahaya menyilaukan yang tanpa aba-aba memberiku secercah keinginan. Aku ingin bebas, atau sembuh, jika bisa tentu keduanya. Dan Dante hadir, bak pelayan restoran bintang lima yang menawarkan hal mewah tersebut. Terdengar ambigu, tapi mendadak perasaanku menjadi yakin. Pikiran-pikiran dilematis antara mendengarkan pria yang baru kutemui atau mengikuti takdir yang sudah ada terus berpacu cepat di kepala. Mereka terus berputar dan berulang, menciptakan sensasi mual bercampur kepanikan yang memperparah kondisiku. Tubuhku belakangan ini sering tremor, terutama saat membayangkan masa-masa bercahaya jika aku bisa terbebas dari semua tuduhan pembunuhan yang diberikan oleh keluarga Ethan. Menyenangkan, pikirku. Aku tentu akan menemukan kedamaian. Namun di saat yang sama, batinku menolak. Bipolar dan trauma yang kumiliki, tak akan membiarkanku semudah itu. Aku bahkan tidak bisa meyakinkan diriku apakah aku benar-benar melihat pelakunya atau semua rentetan kronologi yang tragis itu hanyalah imajinasiku saja. Delusi membuatku sulit membedakan antara yang nyata dengan yang tidak. Belum lagi serangan panik dan manik depresi yang mendukungku untuk berada dalam situasi silut. Kuputuskan untuk bangun, menyudahi adegan tidur yang bahkan tidak dapat kulakukan dengan benar. Mataku terbuka lebar, menatap ruangan gelap yang hanya disinari cahaya dari bulan purnama di luar sana. Ranjangku yang sempit berada tepat di samping jendela yang langsung menghadap ke taman. Kubiarkan tirainya terbuka sekarang, langit-langit tampak dipenuhi bintang. Indah, aku sangat suka suasana malam. Namun semenjak kematian Ethan, aku sungguh berpikir bahwa gelap hanya akan membawa kematian pada semua orang. Aku terpaku di sana, menatap awan kelabu yang bergerak beriringan dengan langit yang sama gelapnya. Mungkin akan turun hujan, pikirku. Sampai kemudian netraku menangkap pemandangan aneh dari bawah sana, di taman, dekat dengan salah satu kursi panjang yang menghadap ke utara. Seorang pria bertopi hitam tampak berjalan terburu-terburu. Jika aku tidak salah lihat, tubuhnya yang kuperkirakan lebih tinggi daripada aku itu baru saja meninggalkan ruang terapi dan berjalan cepat menuju parkiran. "Dia tidak terlihat seperti penjaga," kataku pelan. Karena tentu saja berbulan-bulan tinggal di tempat ini membuatku mudah mengenali wajah para dokter, perawat bahkan penjaga. Dan pria itu, jelas bukan bagian dari rumah sakit ini. Ia terlalu normal untuk disebut sebagai pasien. Gerakannya teratur dan tubuhnya berjalan ke satu arah, sangat berbeda dengan para penghuni rumah sakit yang mungkin akan memilih berjalan sambil melompat kecil, berteriak dan berputar-putar sampai mereka merasa pusing kemudian jatuh ke tanah dengan tawa mereka yang keras. Pria itu jelas telah melakukan sesuatu dan berusaha pergi, kabur lebih tepatnya. Namun satu-satunya yang membuatku berjengit dan membulatkan mata adalah saat tubuhnya sempat berbalik dan kutemukan simbol terkutuk itu di sana. Di belakang jaketnya. Sebuah simbol mawar merah besar. Gambar yang sama dengan kulihat di malam kematian Ethan. Pembunuh itu ada di sini, bersamaku. Buru-buru aku menutup tirai, bersembunyi di dalam selimut dan ketakutan yang tiada berkesudahan. Tubuhku bergetar hebat, rasa-rasanya aku mau muntah sekarang. Namun kuputuskan untuk bertahan di sana. Aku tidak berani bergerak. Bahkan untuk mengambil obat dari nakas pun aku tidak berani. Tanpa sadar mataku berderai mata, aku menangis karena terlalu takut. Aku juga yakin wajahku akan terlihat sangat pucat jika aku bercermin sekarang. Namun jelas ini bukanlah saat yang tepat untuk melihat pantulan diriku di dalam benda persegi yang menempel di dinding kamarku. "Pria itu ...," Bagaimana dia bisa berada di sini? Kenapa harus di tempat ini? Dari sekian banyak tempat, mengapa pembunuh itu harus ada di tempat yang sama denganku. Dan apa yang sudah dilakukannya di ruang terapi. Aku sangat penasaran. Intuisiku tidak pernah salah. Namun kali ini, aku akan berpura-pura tidak tahu dan menutup mulutku seperti sebelumnya. Aku akan membiarkan diriku berada dalam tempat yang aman sekarang. Jangan sampai pembunuh itu tahu bahwa aku melihatnya. Karena dalam ketakutan ini, dalam tubuh yang terus mengeluarkan keringat dan air mata ini, aku telah membulatkan tekad, bahwa aku akan mengungkap siapa pelakunya dan hidup bebas dalam kedamaian yang kuciptakan. Aku bukan pembunuh dan tentu saja, aku harus membuktikannya sendiri. Ini bukan lagi soal kepercayaan orang lain terhadapku, tetapi ini adalah bukti bahwa aku telah siap berperang dengan kelemahanku sendiri;masa lalu. "Aku harus menemui Dante," lirihku sebelum aku benar-benar memejamkan mata karena sesak yang terus menjalar di dada. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD