Chapter 02

1108 Words
Dengan tergesa-gesa, Thalia bersiap untuk interview di Wijaya's Corp. Gadis itu masih menggunakan pakaian yang sama seperti waktu ia melamar pekerjaan. Thalia sudah berada di depan meja resepsionis sambil meremas tangannya sendiri. "Thalia, mari saya antar." Suara Intan membuyarkan lamunannya dan membuatnya semakin gugup. "Em.. Eh iya, Mbak," jawab Thalia gugup. Thalia mengikuti langkah Intan yang beberapa jengkal di depannya. Demi menghilangkan kegugupan, Thalia membuka pembicaraan saat sudah berada di dalam lift khusus karyawan. "Mbak, kok panggilan saya cepat ya? Padahal, katanya kemarin gak ada yang kosong?" "Emergency," jawab Intan sambil tersenyum tipis. "Ayo!" Intan menarik lengan Thalia begitu pintu lift terbuka. Tak ada percakapan di antara keduanya. Hanya suara hak sepatu Intan yang beradu dengan marmer yang memenuhi pendengaran mereka. "Ini kan bukan ruangan HRD?" batin Thalia saat berhadapan dengan pintu kaca yang cukup besar. "Permisi, Pak!" Intan masuk ke ruangan tersebut diikuti Thalia di belakangnya. "What the ..." Thalia menutup mulutnya tak percaya. Saat ini, ia berada di ruangan sang CEO dan kesadaran Thalia belum sepenuhnya terkumpul akibat keterkejutannya tadi. "Mbak, bukannya harusnya interview itu sama HRD ya?" bisik Thalia pada Intan berada di depannya. "Rileks, Thalia," ujar Intan coba menenangkan. "Pak, ini Thalia yang melamar kemarin," ucap Intan pada sang CEO sopan. Mau tidak mau Thalia muncul dari balik punggung Intan. Sang CEO hanya mengangguk tak memperhatikan dan masih sibuk dengan dokumen-dokumen yang menggunung diatas mejanya. "Kalau begitu saya permisi." Intan membungkuk sopan dan berbalik. Thalia menatap Intan meminta bantuan. Namun, Intan membalasnya dengan senyuman yang berarti 'semangat'. Gadis itu mengembuskan napasnya kasar. "Silakan duduk, saya selesaikan ini dulu," ucap Rayhan dengan nada datar. Thalia menjawabnya dengan anggukan yang tentu saya Rayhan tidak tahu hal itu. "Menyelesaikan itu? Mau nunggu sampai kapan?" batin Thalia sambil melirik ngeri pada dokumen yang menumpuk. "Ehem... Thalia Anandita?" Dehaman dan panggilan Rayhan mengejutkan Thalia yang pikirannya sudah melayang entah kemana. Bahkan, gadis itu sudah hampir mengantuk. "I.. Iya, saya, Pak," jawab Thalia gugup dan hampir melompat dari tempat duduknya. Rayhan terkekeh melihat tingkah Thalia yang benar-benar tidak bisa menyembunyikan rasa groginya. "Ma.. Maaf, Pak. Ke.. Kenapa saya?" Thalia memberanikan diri bertanya meski dengan nada yang terbata-bata. Rayhan semakin geli melihat kegusaran gadis yang tengah duduk di depannya ini. "Ah iya, Thalia," "Panggil saja Lia, Pak!" sanggah Thalia. "Oh baik, Lia. Kamu tau kenapa kamu di ruangan saya sekarang?" tanya Rayhan menatap lurus ke arah Thalia. Gadis itu hanya menggeleng. "Oke, jadi kamu akan jadi sekertaris saya!" ungkap Rayhan tanpa basa-basi. "APA?!" teriak Thalia tak tertahan. "Pak, saya samasekali belum berpengalaman. Bapak tahu kan? Saya baru saja lulus," Thalia berbicara panjang sambil menahan gemuruh di dadanya. "Sabar, Lia sabar," "Tapi, Pak. Saya benar-benar gak bisa, ini di luar kemampuan saya," sanggah Thalia lagi. "Saya aja yakin sama kemampuan kamu, kok kamu sendiri malah pesimis gitu?" tanya Rayhan dengan nada santai. "Bos gila, dia nyuruh orang gak liat-liat apa? Mana santai banget gitu!" batin Thalia berkecamuk. "Tapi," Sebelum Thalia mengomel kembali, Rayhan memotong pembicaraan gadis itu. "Saya bingung, sekertaris saya akan melahirkan dan saya pikir dia hanya mengambil cuti. Tapi ternyata, ia mengajukan surat pengunduran diri. Saya takut keteteran," ungkap Rayhan dengan wajah agak murung dan tidak sesantai sebelumnya. "Tapi," lagi-lagi Thalia ingin protes. "Saya rasa kamu mampu, ya walaupun harus banyak belajar. Nanti biar saya yang turun tangan mengarahkan kamu," putus Rayhan. Thalia menunduk lemas, ia bukan tak bersyukur, tapi apakah ia akan sanggup mengerjakan sesuatu yang berada jauh diluar kemampuan dirinya? "Tapi kalau nanti pekerjaan Bapak kacau gara-gara ketidak pahaman saya?" Thalia belum menyerah untuk menyanggah kata-kata Rayhan. "Banyak protes ya kamu!" Rayhan menatap Thalia gemas. Gadis muda di depannya ini ternyata lebih bawel dari yang ia kira. Meski sebelumnya Thalia terlihat sangat gugup. Namun ternyata, ia bukan gadis yang pendiam seperti yang di duga Rayhan sebelumnya. "Oke, keputusan saya sudah final. Kamu mulai kerja besok! Ah lebih tepatnya mengenal lebih jauh pekerjaan kamu!" Suara Rayhan terdengar mengintimidasi. Thalia melebarkan mulutnya tak percaya dengan apa yang di ucapkan sang CEO. "Pak," Thalia memasang wajah memelas. Hal itu membuat Thalia tampak semakin cute di mata Rayhan. Ia lebih terlihat seperti anak yang tengah merengek pada ayahnya karena uang jajannya di potong. "Kamu tuh lucu banget. Lagi negosiasi apa minta uang jajan sama saya?" tanya Rayhan sambil terkekeh. Bukannya membalas, Thalia malah mengerucutkan bibirnya. Persis seperti anak gadis yang merajuk pada ayahnya. "Pipi kamu gemesin banget sih!" Rayhan mempraktekkan bagaimana pipi Thalia yang mengembang. "Bapak nih, malah godain saya," rajuk Thalia lagi. "Godain apa? Cara menggoda saya beda ya!" Rayhan menyeringai. "Am.bi.gu." tekan Thalia. "Lagian kamu kayak anak kecil!" "Back to topic, Pak. Ini interview macam apa sih? Bukannya ini tugas HRD ya?" "Karena kamu spesial, jadi, saya yang interview kamu langsung!" jawab Rayhan sambil membenarkan letak dasinya. "Martabak kali," cibir Thalia. "Iya, martabak manis! Kayak kamu! Nanti saya makan." Rayhan mengarahkan tangannya ke wajah Thalia. Gadis itu memalingkan wajahnya. "Haduh, apa semua CEO benar-benar semesum di cerita romance?" Thalia mengusap wajahnya. "Kok bengong?" Rayhan tak bisa menahan tawanya lagi. "Tuh kan? Dia ketawa? Gila! Jangan-jangan dia sedang merencanakan sesuatu yang buruk, dan nanti pas aku jadi sekertarisnya..." Thalia bergidik memikirkan hal tersebut. "Perasaan di sini gak ada hantu deh. Kok kamu bergidik gitu?" Melihat kegusaran Thalia, Rayhan malah semakin gencar menggodanya. "Em.. Apa? Eh.. Jadi bagaimana, Pak? Apa Bapak tidak punya urusan lain sampai bicara yang tidak penting sama saya seperti ini?" sindir Thalia dengan nada kesal. Rayhan berhenti tertawa dan menatap Thalia serius. Dan tentu saja, hal itu membuat Thalia gusar. Apakah benar CEOnya ini akan berbuat macam-macam? Thalia menggelengkan kepalanya. Mengenyahkan semua pikiran-pikiran buruk dari kepalanya. "Kamu kenapa geleng-geleng? Kan saya belum bicara apa-apa." Tatapan Rayhan berubah heran. "Ah nggak," jawab Thalia kikuk. "Besok kamu datang jam delapan dan mulai kerja. Ingat, berpakaian rapi dan jangan pakai flat shoes. Agar lebih formal dan menambah tinggi badan kamu." Memang tinggi badan Thalia hanya 160 sentimeter. Jika ia bersama dengan Rayhan yang mempunyai tinggi 187 sentimeter akan terlihat jauh sekali. Terlebih mereka pasti akan banyak menghabiskan banyak waktu berdua dan Thalia harus berada di dekat Rayhan. "Bilang aja saya pendek!" Thalia mencebikkan bibirnya. "Kamu lho yang bilang." "Situ aja yang ketinggian!" "Ini proporsional ya!" jawab Rayhan tak mau kalah. "Terserah! Jadi saya boleh permisi sekarang?" tanya Thalia to the point. "Oke! Tapi jangan lupa besok!" Rayhan mengedipkan sebelah matanya. Ia tak bermaksud menggoda, namun melihat Thalia merajuk membuatnya senang. Gadis itu telihat sangat lucu dengan pipi chubby dan ekspresinya. Thalia membalasnya dengan delikan tajam dan meninggalkan ruangan Rayhan dengan menghentakkan kakinya agak keras. Lagi-lagi Rayhan tertawa menyaksikan hal tersebut. "She's very cute!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD