Part 2
"Jangan pernah kamu bawa keluar rumah anak i***t ini lagi. Kamu paham!! kalo tidak kamu dengar akan ku buang anak i***t ini ke panti asuhan "
Ucapan mas Wisnu Masih terngiang di telinga ku. Aku tak habis fikir pada sikap mas Wisnu kenapa juga dia harus marah jika orang-orang tau keadaan anak kami.
Raka memang tidak sempurna bahkan jauh dari kata sempurna. Banyak kekurangan yang di miliki anak ku itu.
namun apa salah jika Raka bisa merasakan sedikit rasa bahagia?
Apa salah jika Raka juga bisa jalan-jalan keluar rumah ?
Apa salah jika Raka mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari ayah kandung nya sendiri?
Ingin rasanya aku utarakan semua pertanyaan itu pada mas Wisnu, namun urung ku lakukan.
Aku takut itu akan membuat mas Wisnu murka.
Belakangan dia begitu sensitif tentang hal apa pun yang berkaitan dengan Raka.
Anakku bukan i***t, seperti kata dia dan kata mareka.
Aku bangga dan bersyukur dengan Anakku yang istimewa.
Meski seringkali aku harus berurai air mata menahan pedihnya hati karena lontaran tajam yang menghujam soal anakku, tak pernah terbesit sedikitpun dalam kepalaku untuk membuang dia seperti suruhan suamiku.
Aku, adalah Ibunya.
Aku menyayangi dia.
Aku mensyukuri kehadirannya, karena dia adalah belahan jiwaku.
Dia Anakku.
Meski suami ku tidak beranggapan demikian, aku tak peduli.
Kepala ku begitu sakit, rasa mual pun turut datang.
Ah mungkin kah magh ku kumat.
Mengingat belakangan makan ku tidak teratur akibat rasa sedih akan sikap mas Wisnu pada anak ku.
Aku putuskan membeli obat magh ke warung sebelah. Tak apalah Raka ku tinggalkan sebentar toh warung nya juga dekat fikir ku.
"Bu pro**** nya satu ya" minta ku sekalian aku juga membeli beberapa alat dapur yang sudah habis.
Aku ingat pagi tadi mas Wisnu meminta ku membuat sambalado bulat. Jika tak aku buatkan pasti mas Wisnu akan sangat murka, dan Raka lah yang akan jadi sasaran nya.
"Neng sepertinya udah lama kamu gak beli p*mbalut. Lagi isi ya neng ?" Tiba-tiba Bu Wiwin bertanya sekaligus mengingatkan ku tentang tamu bulanan ku yang belum datang dua bulan ini.
Warung Bu Wiwin memang langganan ku, aku selalu belanja padanya dari yang receh hingga belanja bulanan yang tersedia di situ.
Tak heran memang jika dia hapal belanjaan ku. Bu Wiwin orang yang sangat baik, dia juga tau keadaan anak ku dan tabiat suami ku.
Hanya padanya lah aku bercerita menumpahkan segala keluh kesah di hati.
" Saya lupa Bu, mungkin akibat banyak fikiran jadi telat bu. Tapi saya belum isi lho Bu " seloroh ku padanya. Dengan keadaan warung yang sepi saat itu kami bisa ngoceh sebentar.
"Cobalah cek neng, siapa tau benar.
Mudah-mudahan saja suami mu bisa kembali seperti dulu lagi."
"Amin. Mudah-mudahan ya bu. Ya udah sekalian soda nya satu bu.
Jadi berapa semua Bu?"
Benar kata Bu Wiwin tak ada salahnya untuk ngecek dahulu. Setelah aku membayar belanjaanku, aku bergegas pulang. Mengingat Raka tadi ku tinggalkan kan sendiri.
Aku takut terjadi sesuatu pada anakku itu.
Aku melihat keadaan Raka baik-baik saja, Raka masih tertidur lelap di kamar nya.
Aku merogoh tas belanjaan ku mencari soda yang ku beli tadi.
Aku gegas membawa nya ke kamar mandi guna untuk memastikan keadaan ku.
Apotik lumayan jauh dari rumah kami, aku takut meninggalkan Raka sendirian. Jadi tak apalah aku pakai soda dulu.
Aku tak tau harus bagaimana menggambarkan perasaan ku saat ini.
Aku menangis sejadi-jadinya di kamar mandi. Aku terus menatap wadah air s*ni ku.
Aku benar-benar sedang isi.
Bagaimana nanti aku merawat anakku?
Bagaimana jika mas Wisnu marah?
Pertanyaan demi pertanyaan itu terus terngiang di telinga ku.
Aku benar-benar dilema.
Satu sisi aku bersyukur karena Allah memberi kami kepercayaan lagi.
Namun di sisi lain aku takut jika anak ini sama seperti Raka juga.
Aku tak tega.
Aku tak tau berapa lama aku di kamar mandi hingga aku mendengar teriakkan Raka.
Aku bergegas menghampiri nya.
Aku tersenyum melihat Raka memain kan tangan nya. Kadang ia tertawa sendiri.
Ia menyadari kehadiran ku. Di luar dugaan Raka anak autis ku memanggil ku.
"Amma "
Meski tak jelas aku sangat bersyukur. Aku sangat bahagia bahkan sampai meneteskan air mata.aku tak mampu menggambarkan rasa bahagia ku. Anakku sudah ada kemajuan. Aku bertekad dalam hati akan membimbing anak ku.
Meski mas Wisnu melarang Raka bersekolah di SDLB tak apalah pikir ku. Toh aku juga bisa melatih nya sedikit-sedikit.
Raka mengambil air mata ku yang akan jatuh ke lantai dengan ujung jari nya. Lalu Raka melihat ku dan tertawa.
Aku memeluk nya.
Mungkin saja dengan kehadiran anak ini bisa merubah mas Wisnu.
Tapi aku belum siap melihat reaksi nya.
Aku benar-benar dilema.
•~~°~~•